Kongres organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di
Indonesia sudah berlalu. Hubungan dengan kekuasaan, turunnya pamor di kalangan
mahasiswa, lemahnya khittah keIslaman serta perannya di masa mendatang masih
saja jadi sorotan.
Keluar dari kejenuhan atas segala perbincangan itu, kami
sajikan nukilan tentang HMI dari otobiografi Deliar Noer, mantan Ketua Umum PB
HMI 1953-1955 yang juga seorang doktor ilmu politik pertama di Indonesia.
Otobiografi yang detil itu, sehingga terkesan kuat ketelitian dan ketekunan
penulisnya, berjudul "Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa" (Mizan,
1996). Mudah-mudahan bisa memberi gambaran segar tentang masa lalu HMI.
Keterlibatanku dalam Himpunan Mahasiswa Islam sebenarnya
merupakan perkembangan biasa saja, apalagi pada permulaannya. Bukankah aku
semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan segala yang berbau Islam? Ketika di
MULO aku mengajak kawan-kawan untuk memberikan sumbangan guna membantu para
mukimin di Mekkah. Ketika itu aku juga menjadi anggota aktif Persatuan Pemuda
Islam.
Di samping memperbanyak bacaan, aku sengaja ingin aktif
bersama orang-orang seiman; tempatnya ketika itu adalah Himpunan Mahasiswa
Islam.
Suatu
rapat diadakan di rumah sekolah Muhammadiyah di Kramat bulan Maret 1950. Tentu
Pak Broto dari Muhammdiyah dan aku pergi menghadirinya. Aku berkenalan dengan
kawan-kawan yang pada umumnya lebih tua dariku. Ada Pak Broto yang kusebut
tadi, adapula Syarif Usman yang beberapa tulisannya telah pernah aku baca dalam
Pedoman Masyarakat sebelum Perang Dunia II. Disepakati untuk mendirikan cabang
HMI Jakarta, dengan ketua AS Broto. Aku diusulkan Kamil untuk menjadi
sekretaris, disertai pengantarnya tentang pengalamanku di berbagai organisasi
pelajar, baik di Medan maupun di Jakarta. Kamil memang termasuk kawan yang
sering mempromosikan aku. Dan aneh juga, kupikir, yang hadir menyetujui; aku
juga tak menolak. Bukankah sudah kukatakan, aku ingin dekat dengan Tuhan,
dengan kawan-kawan seiman, dengan maksud agar imanku kokoh, dan tidak lagi
bertanya-tanya seperti yang kurasakan selama itu.
Tetapi pada tahun berikutnya, ketika jumlah anggota HMI yang
terdaftar masih saja seperti tahun sebelumnya (15 orang), aku terpilih sebagai
ketua cabang. Broto ikhlas sekali tampaknya dalam menyerahkan pimpinan cabang
ini kepadaku sehingga ia pun membantu benar dalam memajukan HMI di bawah
pimpinanku. Hubungan kami berkawan memang termasuk erat. Jauh sesudahnya,
ketika aku menjadi Rektor IKIP Jakarta, hubunganku dengannya berlanjut mesra.
Kongres
Darurat di Yogyakarta
Dalam tahun itu juga bulan Desember, kami pergi ke
Yogyakarta mewakili HMI Cabang Jakarta menghadiri kongres darurat HMI. Kami
terdiri dari tiga orang: Broto, Usuluddin Hutagalung dan aku. Ketika itu HMI
sudah membuka cabang di beberapa kota lain, termasuk Yogyakarta tempat berdinya
HMI dan sampai permulaan tahun 1950 masih merupakan tempat kedudukan pimpinan
pusat organisasi ini. Kemudian juga Bandung, Surabaya dan tentu saja Jakarta.
Perkembangan ini menghendaki konsolidasi organisasi, di samping perlunya kejelasan
tentang personalia dan struktur pimpinan pusat sendiri.
Dalam masa revolusi mulanya Achmad Tirtosudiro yang ketua,
tetapi ia segera masuk resimen mahasiswa (malah kudengar kemudian ia jadi
komandannya) dan akhirnya, menurut kabar ketika itu, itu ia tetap di Angkatan
Darat. Wakilnya Mintaredja, tetapi setelah aksi militer Belanda kedua, wakilnya
ini pindah ke Bandung. Hutagalung sendiri pada waktu revolusi sudah menjadi
anggota pengurus pusat, tetapi ia juga pindah ke Jakarta setelah aksi militer Belanda
itu. Ada Asmin Nasution dan Dahlan Ranuwihardjo yang di Jakarta, tetapi tetap
belum jelas amat bagaimana sebenarnya pimpinan pusat itu. Keduanya memang duduk
di dalam kepengurusan pusat, namun susunannya dibentuk oleh orang-orang pusat
itu sendiri tanpa persetujuan cabang-cabang yang sudah beberapa buah. Apakah,
umpamanya Lafran Pane, yang dalam masa revolusi juga turut dalam pimpinan
pusat, mengetahui segala macam perkembangan ini? Kami di Jakarta tahu bahwa
perkembangan itu diikuti juga oleh Lafran, karena ada juga di Jakarta berbicara
sesama anggota pimpinan pusat itu.
Kongres darurat diperlukan tampaknya, dan tempatnya lebih
tepat di Yogyakarta. Sungguh pun demikian aku sendiri tidak merasa perlu status
kongres itu ditekankan; konperensi atu pertemuan antara cabang dengan pimpinan
pusat sudah memadai. Tetapi Dahlan sendiri mempunyai pendapat lain, dan ini
dikemukankannya dalam pertemuan di Yogya itu. Ia merasa perlu adanya kongres,
walau darurat, agar keputusan lebih mantap. Aku tidak bersikukuh dengan
pendirianku, karena yang perlu ialah kesepakatan, bukan status suatu pertemuan.
Agaknya Dahlan sendiri merasa perlu status kongres ini, agar kedudukannya di
pimpinan pusat dikukuhkan oleh kongres tersebut. Dan inilah yang terjadi.
Ketika itu Dahlan Ranuwiharjo memang sudah menjadi ketua
umum pilihan sesama anggota pimpinan pusat, dan dialah yang memimpin kongres.
Lagi pun Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu
federasi organisasi mahasiswa ekstern seluruh Indonesia, akan mengadakan
kongresnya di Yogyakarta yang tentu juga akan diikutsertai oleh HMI. Ini
berarti HMI akan mengirimkan delegasinya, dan sebaiknya delegasi ini terdiri
dari orang pusat dan orang cabang. Ketika itu wilayah belum dikenal dalam HMI.
Maka aku pun berangkatlah ke Yogyakarta dengan kereta api
sebagai utusan HMI Jakarta, bersama Broto dan Hutagalung. Seperti kukatakan,
kawan yang akhir ini sebenarnya sudah duduk juga di pimpinan pusat, dan oleh
sebab itu ia lebih banyak sebagai orang pusat. Sebelum berangkat, kami di
cabang mengadakan lebih dahulu rapat khusus untuk membekali delegasi ke
Yogyakarta. Namun bekal ini tak banyak, oleh karena pada umumnya kami di cabang
belum banyak mengenal HMI dan belum juga banyak mengenal organisasi mahasiswa.
Cabang Jakarta ketika itu pun lebih banyak terdiri dari rekan-rekan mahasiswa
di Universitas Nasional dan Universitas Islam Djakarta (namanya ketika itu
masih Perguruan Tinggi Islam Djakarta); seorang dua saja dari Universitas
Indonesia. Pengalaman berkongres kami pun belum ada, sungguh pun ada juga
keyakinan kami bahwa kongres hanya merupakan rapat anggota suatu cabang.
Di Yogyakarta aku menginap di rumah yang papan namanya masih
bertanda Mr. Mohammad Roem, karena dahulunya memang Pak Roem tinggal di rumah
itu. Letaknya di Gondokusuman. Rumah ini juga tempat Dahlan Ranuwihardho
tinggal (atau menginap) serta juga seorang kemenakan lain Pak Roem, kakak dari
Dahlan, yaitu Arismunandar. Aris ini pada masa Jepang sekelas denganku di SMPT
Jakarta. Ia masih mengingatku, tetapi mungkin karena bukan mahasiswa melainkan
seorang yang sudah bekerja penuh (ia mempunyai bengkel sepeda) ia tak banyak
bicara denganku. Namun ia gembira dengan kedatanganku.
Broto dan Hutagalung menginap di rumah Anton Timur Djaelani,
di daerah Kota Baru juga. Timur atau Anton, tokoh Pelajar Islam Indonesia
(PII), walau pun ketika itu ia sudah menjadi mahasiswa. Aku sering ke sana
menjumpai Broto dan Hutagalung, sambil berkenalan juga untuk pertama kali
dengan tuan rumah.
Seperti kukatakan, kongres HMI kami disebut kongres darurat.
Wakil Bandung, Sdr. Achamd Sadali yang kemudian terkenal sebagai tokoh seni
rupa di Institut Teknologi Bandung, dan wakil Yogyakarta , dipimpin oleh Sdr.
Daldiri yang kemudian menjadi dokter dan profesor tenar di Surabaya, bersama
seorang dua temannya hadir. Tak lama kemudian Daldiri mendirikan cabang di
Surabaya. Ia sendiri mengatasnamakan kawan-kawan di Surabaya dalam menghadiri
kongres HMI itu.
Kongres darurat ini antara lain memilih ketua umum Pengurus
Besar. Seperti kukatakan, Dahlan kelihatannya ingin dikukuhkan dalam kongres,
walau pun yang sifatnya darurat. Memang kedudukan Pengurus Besar, apalagi ketua
umumnya, akan lebih kuat bila ia dipilih oleh suatu kongres, walau pun kongres
itu sifatnya darurat dan dihadiri oleh hanya beberapa orang, tanpa tata tertib
yang jelas pula, kecuali tata tertib menurut rapat biasa seperti yang kami
lakukan di Yogya itu.
Lafran Pane hadir juga sebagai orang dari Yogyakarta, walau
kehadirannya tidak terus-menerus. Aku segera menangkap kesan bahwa ia kurang
serasi dalam berbagi hal dengan Dahlan. Yang akhir ini, umpamanya,
menyarakankan agar kongres mengambil keputusan untuk mendesak pemerintah
mengadakan kursus atau kuliah bahasa Belanda, terutama bagi mahasiswa Fakultas
Hukum yang memang memerlukan pengetahuan bahasa Belanda ini untuk studi sebagai
ahli hukum. Hukum Indonesia ketika itu, agaknya juga sampai kini, masih sangat
dipengaruhi oleh pengertian-pengertian hukum asal Belanda, malah kitab
undang-undangnya masih berbahasa Belanda. Lafran menolaknya, dan dengan keras
pula. Dua hal ia kemukakan sebagai alasan: perlunya kita berusaha lebih
mandiri, dan kedua, karena bahasa Belanda termasuk bahasa yang sulit, dan oleh
sebab itu akan menyulitkan para mahasiswa saja. Ia lebih suka agar segala
bahasa Belanda di dalam hukum diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia dan
ini bisa dipercepat, katanya.
Kalau sekiranya masalah itu dibatasi pada perbedaan pendapat
tentang sesuatu hal, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi kesanku tadi, kekurangserasian
antara kedua tokoh mahasiswa Islam ini mengherankan aku juga. Apalagi
seharusnya memberi kesan yang lebih positif terutama bagi kami yang baru
mengenal HMI itu.
Kongres HMI itu juga memutuskan untuk mempergiat penyebaran
organisasi ini ke kota-kota universitas yang belum mengenalnya. Malah ada
semacam anjuran agar HMI mendapat pendukung lebih besar di universitas umum.
Masalahnya, perguruan tinggi Islam sudah jelas Islamnya, dan oleh sebab itu
para mahasiswanya sudah boleh dikatakan sejalan saja dengan HMI dalam aspirasi
dan penjabarannya.
Ada
pula diputuskan untuk membuat logo HMI yang akan menghias bendera, dan
dijadikan insinye serta dalam rangka penggunaan kalung kepengurusan. Soal logo
ini diserahkan ke Cabang Bandung yang memang mempunyai orang-orang dari bidang
senirupa. Achmad Sadali tampak sekali antusias dengan hal ini. Cabang Jakarta
sendiri mendapat tugas dari kongres untuk mengkaji ulang Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga sehingga pada kongres berikut akan dapat diadakan perubahan-perubahan.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini memang telah perlu dirombak; ia
berasal dari tahun 1947.
Kongres juga membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan
kongres PPMI yang akan dihadapi oleh HMI Yogyakarta itu juga. Bukankah sudah kukatakan
bahwa kami dari HMI dapat menghadapi kongres PPPMI? Dahlan memang sudah aktif
di PPMI yang sampai kongres di Yogya itu diketuai oleh Subroto dari Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Menarik juga mengingat bahwa Subroto ini
kemudian menjadi menteri dalam kabinet Soeharto, dan kemudian menjadi
sekretaris jenderal organisasi minyak sedunia, OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries).
Kongres
PPMI
Di kongres PPMI aku mulai mengenal gerakan mahasiswa pada
tingkat nasional. Aku termasuk dalam delegasi HMI di kongres itu, bersama
Dahlan (yang sebenarnya memang sudah di PPMI), Broto dan Hutagalung. Ada juga
kawan dari HMI Yogyakarta yang hadir, seperti juga Lafran yang sesekali muncul
dalam forum PPMI. Tetapi masalah-masalah di PPMI tidak merupakan isu yang
terlalu diperdebatkan, kecuali tentang International Union of Students (Gerakan
Mahasiswa Internasional) yang merupakan gerakan kiri. Sampai masa-masa akhir
aku aktif di HMI (1955 dan sebagian 1956 walau pun secara resmi tidak aktif
duduk lagi sebagai anggota pengurus) hubungan PPMI dengan IUS ini tetap saja
menjadi bahan perdebatan.
Sesekali aku, Hutagalung dan Broto berbicara bergantian.
Kesanku ialah bahwa utusan-utusan dari organisasi mahasiswa lain, baik dari
Yogya mau pun dari Jakarta, tetapi juga dari Surabaya, Bandung dan Bogor,
melihat HMI sebagai organisasi yang diperhitungkan. Kalau ada orang HMI yang
bicara di depan kongres itu, delegasi lain pada umumnya memperhatikan. Peran
HMI seperti itu tentu merupakan lanjutan dari perannya semasa revolusi, karena
PPMI juga dibentuk di masa revolusi itu. Peran ini tampaknya lebih meningkat
pada tahun-tahun berikutnya. Aku merasa bangga juga dengan peran HMI seperti
ini. Apalagi dalam kongres di Yogyakarta itu Dahlan Ranuwihardjo terpilih sebagai
ketua PPMI.
Menjadi
Ketua Umum PB HMI
Pada permulaan September 1953 dalam Kongres HMI se-Indonesia
di Jakarta aku terpilih sebagai ketua umum pengurus besar. Ketika itu aku
mengetuai delegasi HMI Jakarta sungguhpun aku bukan lagi ketua cabang. Oesodo
yang ketua cabang, dan yang pada masa aku mengetuai cabang menjadi wakil ketua,
menjadi wakil ketua delegasi. Ia memang sangat mendukung aku dalam posisi yang
sangat memungkinkan aku terpromosikan. Aku mengenang ia sebagai orang baik dan
lurus, bukan karena ia mempercayaiku melainkan karena memang demikianlah sifat
orangnya.
Dalam kongres ada beberapa cabang baru yang muncul: Medan
(yang pendirian cabangnya turut kupelopori ketika aku datang ke sana tahun
1952) dan Makassar. Kawan-kawan yang tinggal di asrama Pegangsaan Timur dan
jalan Bunga sibuk membantu, bukan saja dalam rangka sidang-sidang, resepsi dan
sebagainya, melainkan juga karena kongres disibukkan pula dengan acara
pertandingan olah raga dan deklamasi sajak.
Sidang kami adakan di asrama Pegangsaan Timur, olah raga di
halamannya, sedangkan perlombaan sajak di Lembaga Mikrobiologi, juga di
Pegangsaan Timur, dan akhirnya resepsi di aula UI di Salemba. Para peserta
menginap di asrama Jalan Bunga, asrama Pegangsaan Timur, dan satu orang puteri
dari Bandung dan dua dari Yogyakarta di rumah Pak Samsoeridjal, walikota
Jakarta.
Sidang-sidang kami kadang-kadang hangat juga. Kupikir,
Cabang Jakarta (itu berarti aku karena aku yang menyuarakan pendapat cabang
tersebut) terlalu keras menghadapi kerja dan kebijaksanaan pengurus besar. Ada
berbagai penyesalan yang kami sampaikan dalam hubungan dengan pengurus besar:
rangkapan ketua umum pengurus besar dengan kedudukan di organisasi lain
(seperti Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia di mana ketua umum PB HMI
juga menjadi ketua umum PPMI); dalam rangka ini Dahlan Ranuwihardjo pernah
bepergian lama ke luar negeri, dengan akibat berkurangnya perhatian pada
kegiatan pokok di HMI; kecenderungan berpolitik pada sebagian kalangan PB HMI
(Dahlan memang secara pribadi besar perhatiannya terhadap bidang politik)
sehingga tertinggal dalam usaha peningkatan kemahasiswaan. Termasuk di dalamnya
permintaan ketua umum PB kepada Bung Karno untuk menjelaskan masalah
"Negara Nasional dan Negara Islam".
Seperti kukatakan di atas, kesempatan ini dipergunakan
presiden -- yang mempunyai kedudukan konstitusional -- untuk menyampaikannya ke
tengah masyarakat yang bisa mempengaruhi massa. Ini akan merugikan kalangan
Islam karena Bung Karno sudah diketahui lama, akan menolak negara Islam.
Ketika itu isu negara Islam (atau negara berdasar Islam)
sedang dipopulerkan oleh partai-partai Islam (praktis pada permulaan 1950-an
sampai menjelang pemilihan umum 1955 udara politik Indonesia dipenuhi oleh
kampanye tak resmi tentang sifat negara yang hendak dibangun di Indonesia ini).
Namun, perlu pula dicatat segera bahwa perbedaan pendapat
seperti ini tidak mempengaruhi kongres dan hubungan antara cabang Jakarta
dengan PB, serta hubungan pribadi pihak-pihak bersangkutan. Memang benar,
suara-suara yang kadang-kadang keras diperdengarkan itu menyeramkan juga, namun
selesai sidang, ataupun bila menghadapi acara lain, suasana pun sudah berubah
pula.
Aku sendiri mencatat dalam hubungan ini betapa perdebatan di
dalam lingkungan partai Islam, terutama Masjumi baik yang kudengar dari
beberapa tokoh, maupun yang kubaca dari berbagai notulen rapat yang kemudian
kuperoleh kemudian dari beberapa tokoh itu, memang bisa sangat menghangat.
Tapi seusai rapat atau sidang, hubungan antara mereka yang
berdebat itu pulih seperti biasa kembali. Tidak pula ada yang menyampaikan isi
perdebatan itu kepada orang lain, kecuali yang dipercaya; dan tentu tidak pada
kalangan pemerintahan. Masalah perdebatan seperti itu adalah masalah dalam partai
atau organisasi.
Kongres menyetujui logo yang direncanakan oleh Cabang
Bandung sesuai keputusan kongres darurat tahun 1951. Masalah logo ini berkaitan
dengan atribut HMI dalam bentuk lencana, bendera, stempel dan kartu anggota.
Ada kesalahpahaman antara Cabang Jakarta dan Cabang Bandung dalam rangka
keputusan kongres darurat tentang logo ini.
Kami melihat keputusan kongres darurat meminta cabang
Bandung merencanakan logo tadi bukan dalam pengertian secara mutlak, yaitu
bahwa rencana yang dibuat oleh Cabang Bandung harus diterima secara otomatis.
Oleh sebab itu menjelang kongres di Jakarta, kami di Jakarta pun meminta
Budiman, pelukis yang seorang lagi yang tidak turut pameran setahun sebelumnya
di Gedung Proklamasi, untuk membuat rencana logo itu. Hasilnya kami kemukakan
ke sidang kongres.
Hal ini ditanggapi oleh Cabang Bandung, terutama Achmad
Sadali yang ketua cabang, dengan emosi tinggi, karena merasa bahwa yang hanya
berhak merencanakan logo itu adalah Cabang Bandung, sesuai kongres darurat
1951.
Achmad
Sadali sampai mengancam akan keluar dari HMI bila rencana logo Cabang Jakarta
ikut dipertimbangakan oleh kongres, dan rencana dari Bandung tidak diterima.
Kurasa reaksinya ini terlalu berlebihan. Kongres seperti di
Jakarta, menurut aku, bisa saja memilih rencana yang ada walau yang dari
Bandung dipertimbangkan secara serius. Lagipun kalau hanya rencana Bandung yang
dibicarakan, kemudian kongres menolaknya, bukankah bisa, malah perlu, dicari
rencana logo yang lain? Tetapi pemikiranku ini tidak kulanjutkan, dan setelah
ancaman dari Cabang Bandung itu dilontarkan, kami dari Jakarta pun diam-diam
saja. Kongres menerima rencana logo Cabang Bandung tersebut.
Kongres tentu mendengar laporan dari pengurus besar, dan
dari cabang-cabang. Laporan pengurus besar yang hangat dibicarakan adalah
sehubungan dengan pidato Bung Karno tentang "Negara Nasional dan Negara
Islam" seperti yang telah kuceritakan di atas. Beberapa cabang lain, di
samping Jakarta, Medan, Makassar, juga kurang menyetujui inisiatif Ketua Umum
PB yang mengundang Bung Karno dalam rangka menerangkan masalah negara tersebut.
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI,
sesuai tugas yang diberikan kongres darurat di Yogyakarta (1951), dikemukakan
oleh Cabang Jakarta. Berbulan-bulan lamanya suatu komisi khusus yang dibentuk
cabang Jakarta mempersiapkan hal ini yang dipimpin oleh Suhariman yang dibantu
dengan tekun oleh Ahmad Bustami. Keduanya memang dikenal di kalangan HMI
Jakarta sebagai tenaga-tenaga yang serius dan tekun. Aku pun bergembira bahwa
jerih payah seperti ini membuahkan hasil yang baik dalam kongres. Memang AD/ART
yang berasal dari tahun 1947 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan.
Suatu bagian baru, Bahagian Keputerian, diputuskan oleh
kongres untuk dibentuk, baik pada tingkat pusat maupun tingkat cabang.
Keputusan ini berdasar usul Cabang Yogyakarta. Umumnya kami di Jakarta tidak
merasa perlu mengadakan bagian khusus ini, karena selama ini keperluan anggota
puteri HMI terpenuhi secara otomatis tanpa adanya bagian khusus. Anggota puteri
bisa ikut bersama dalam kegiatan apa pun juga. Ada kecenderungan, demikian
pemikiran kami, kalau bagian keputerian dibentuk para anggota puteri akan
terpisah kegiatannya dari kegiatan putera. Atau masing-masing akan melaksanakan
kegiatan seakan-akan untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Kemungkinan lain ialah bahwa kepengurusan HMI secara umum
akan terdiri semata-mata atas anggota putera, dan hanya bagian puteri saja yang
akan diisi oleh bagian puteri. Padalah kegiatan kaderisasi, penerangan, penerbitan,
studi secara umum, kesenian, pendek kata segala segi hidup ini praktis
dilakukan bersama, baik puteri maupun putera.
Namun demikian, delegasi HMI Jakarta tidak mempersoalkan
amat pembentukan bagian puteri ini. Memang diakui juga bahwa ada hal-hal khusus
yang dihadapi kalangan puteri, yang berbeda dengan kalangan putera. Kami hanya
berharap bahwa bagian puteri ini hanya menghadapi hal-hal khusus tersebut, dan
dalam hal-hal yang lain yang bersifat umum kegiatan dilakukan bersama.
Tentu
hal ini menyangkut pula soal pergaulan, dalam pendidikan, agaknya ini juga
menyangkut soal pembauran segregasi. Tetapi kami pikir, kedewasaan lebih
memungkinkan pembatasan yang terpelihara. Tampaknya hal seperti ini masih harus
kita hadapi zaman sekarang.
Tentu kongres peduli terhadap kedudukan ummat Islam di
negeri ini. Pada umumnya mahasiswa yang bergabung dalam HMI mendambakan
cita-cita Islam tegak di tengah masyarakat dan bangsa kita. Salah satu
sarananya ialah turut serta dalam pemilihan umum, hal yang oleh kongres
diputuskan juga mahasiswa Islam hendaklah "turut aktif dalam pemilihan
umum".
Dalam rangka ini HMI menjaga supaya kedudukannya di tengah
perpolitikan Islam tidak memihak ke salah satu partai Islam yang ada.
Pengalamanku di Cabang Jakarta, dan kemudian sebagai ketua umum PB menunjukkan
bahwa keinginan kami adalah supaya partai-partai Islam itu bersatu kembali.
Maka kami pun menghubungi semua pimpinan partai bersangkutan secara berkala.
Dalam rangka Islam atau non-Islam, kami memang tidak netral, dalam rangka sikap
terhadap partai-partai Islam, kami netral. Oleh sebab itu kongres juga
memutuskan agar di antara partai-partai Islam tadi terdapat semacam gentleman's
agreement dalam menghadapi pemilihan umum, maksudnya agar tidak
serang-menyerang, dan kalau mungkin saling memperkuat. Seperti ternyata
kemudian, harapan seperti ini tinggal harapan belaka.
Kongres juga menyatakan simpati terhadap perjuangan rakyat
Maroko, Tunisia dan Aljazair yang ketika itu sedang berusaha mencapai
kemerdekaan penuh mereka dari Perancis.
Ketua kongres yang dipilih oleh kongres adalah Mashud yang
Ketua HMI cabang Yogyakarta. Mashud ini sebelumnya juga adalah Senat Mahasiswa
Gadjah Mada dan aktif dalam kesebelasan universitas tersebut. Aku senang
bergaul dengannya malah sampai aku berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar,
dan kemudian kembali ke tanah air, berangkat lagi ke Australia tahun 1975, kami
tetap berhubungan. Setelah ia menikah diperkenalkannya istrinya ketika mereka
ke Jakarta kepadaku dengan mendatangiku di rumah "lajang" Pegangsaan
Barat. Oleh sebab itu sesudah aku kembali dari Australia 1985, dan kuundang ia
dan istrinya ke rumah bersama kawan lain, aku termenung mendengar lewat telepon
(istrinya menelepon istriku) bahwa ia telah meninggal dunia. Jalan kami agak
berbeda di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi persaudaraan kami rasanya tambah
erat saja. Aku merasa kehilangan benar-benar.
Seorang kawan lain juga yang juga setelah menikah membawa
istrinya berkenalan denganku di Pegangsaan Barat adalah ketua Cabang HMI
Jakarta 1950-51, AS Broto. Dahulu dalam tahun 1950-an itu, arti kunjungan kawan
dengan istrinya ke rumahku, padahal aku sendiri belum berumah tangga, kurang
kufahami secara dalam. Aku melihatnya sebagai cermin keakraban pergaulan
belaka. Tetapi setelah berumah tangga, aku menyadari sangat hal ini, karena
istri kita tidak kita bawa ke setiap rumah kawan untuk diperkenalkan, kita
memilih-milih dalam hal ini. Dan akupun tambah berterima kasih saja atas
kunjungan Mashud dan Broto dengan istrinya masing-masing itu ke rumahku.
Kedudukanku sebagai Ketua Umum PB HMI tentu menuntut
kesibukan khusus yang bertambah pula. Apalagi suasana tanah air ketika itu
menghangat terus, dan ini berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Di samping itu,
perlu pula diperhatikan bahwa aku bekerja pula mencari nafkah, sebagai anggota
redaksi bahasa Inggris di kantor berita PIA.
Penyusunan
anggota pengurus besar tidak sukar amat. Dahlan yang juga mede-formateur
bersama Wartomo (ia ini sekretaris kongres), mengusulkan agar Wartomo dijadikan
wakil ketua. Aku sebenarnya tidak berkeberatan, apalagi kulihat Wartomo memang
serius, dan punya pengalaman dalam organisasi walaupun dalam PII. Tetapi dia
juga menjadi anggota PB PII ketika itu, dan ini menyebabkan aku tak bisa
menerima usul Dahlan. Kepada Wartomo sendiri hal ini kukemukakan pula, setelah
sibuk mencari aku usulkan agar Usuluddin Hutagalung menjadi wakil ketua. Baik
Dahlan dan Wartomo menyetujuinya.
Usuluddin ini orangnya besar, umurnya lebih tua dari kami.
seperti sudah kukatakan ia sudah turut aktif dalam PB waktu revolusi di
Yogyakarta. Jadi sebenarnya ia "stok lama". Tetapi begitulah tidak
mudah mencari orang untuk kedudukan ini. Aku masih ingat betapa kami di cabang,
untuk mendapatkan calon ketua harus mendatangi beberapa mahasiswa yang senior yang
belum menjadi anggota HMI, tetapi yang diketahui ke-Islamannya dengan
menawarkan kedudukan ketua itu. Tampaknya kesulitan itu dijumpai lagi dalam
mencari wakil ketua untuk PB.
Hutagalung bersedia, dan dengan demikian salah satu
kesukaran teratasi. Ia studi di fakultas hukum UI. Untuk kedudukan lain dalam
rangka PB itu, tidak sesukar mencari wakil ketua.
Gunadirdja (dari Sinologi), Harmaini (Ekonomi), Bintoro
Tjokroamidjojo (Ekonomi) kuajak masuk dalam PB sebagai sekretaris. tetapi
belakangan Bintoro merasa terlalu sibuk, sehingga kedudukannnya digantikan oleh
mulanya Zaini Bahri (kalau tak salah dari UID) dan kemudian oleh Hasbullah
(Ekonomi). Bintoro sendiri tetap menangani urusan perguruan tinggi dan
kemahasiswaan. Kelihatannya memang ia menyukai bidang ini. Wasul (Ekonomi) yang
pernah bendahari di cabang, kuminta untuk duduk di PB dalam kedudukan yang
sama. Belakangan ia dibantu oleh Muchsin (dari Hukum), juga yang bekerja sama
denganku di cabang. Pembantu umum mulanya hanya Anas Karim, seorang mayor yang
kuliah di Sinologi, belakangan pembantu umum ini ditambah lagi dengan Ismail
Hasan Metareum (Hukum), sedangkan Bintoro dibantu oleh Djoko Sanyoto (Ekonomi).
Ismail Hasan Metareum, seperti kuceritakan di atas, sering
ke rumahku di Pegangsaan Barat, berbincang panjang-panjang, dan sering makan
siang bersamaku. Ismail peduli benar dengan sikap orang HMI yang menurutnya ada
yang kurang dapat sesuai dengan tuntutan Islam. Aku mengakui ini, tetapi
kukatakan bahwa dengan pergaulan kebiasaan kawan-kawan seperti itu bisa
berubah.
Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan seperti itu bisa
berubah. Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan dari berbagai macam daerah,
dengan segala macam pembawaan dan kebiasaan, serta sosialisasi yang beragam,
akan dapat memperlihatkan hasil final sekaligus. Kelemahan manusia juga harus
diakui, walaupun tidak berarti dibiarkan. Ismail tampaknya memahami ini, dan
akhirnya ia bersedia masuk sebagai anggota HMI. Aku pun senang dengan
keberadaannya dalam lingkungan kami. Karena ia memang ingin memberikan
sumbangannya kepada kami di HMI, kuajak ia masuk dalam pengurus, mulanya di
cabang, kemudian di pengurus besar. Aku juga berbesar hati kemudian ketika ia
menjadi Ketua Umum PB.
Aku sangat berterima kasih kepada semua kawan yang duduk dalam
PB bersamaku. Terlebih pula karena agak lama juga aku sakit, dari bulan
Nopember 1953 sampai Pebruari 1954. Tak kusangka sama sekali aku terbaring
seperti itu.
Dalam
bulan Desember 1953 organisasi-organisasi pemuda Islam (termasuk Gerakan Pemuda
Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshor, Fatayat Nahdhatul Ulama,
Pemuda Al-Irsyad, Perti, Pemuda PSII, Pemuda Al-Jamiatul Washliyah, Pelajar
Islam Indonesia (PII) dan HMI) mengadakan kongres untuk menggalang persatuan
pemuda Islam umumnya. Sidang-sidang diadakan di gedung Adhuc Stat, kantor
Bappenas sekarang.
Kongres memutuskan untuk membentuk suatu federasi
Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia. HMI
dipercayakan untuk memimpin panitia politik dari federasi, tetapi sebagaimana
dapat diduga panitia ini tidak dapat berjalan dengan baik. Penyakit di kalangan
partai-partai Islam tidak mengecualikan pemudanya, sehingga kian lama ide
federasi ini kian kabur. Rapat panitia politik pun akhirnya tidak dapat
berjalan oleh karena undangan banyak tidak dipenuhi oleh para anggota sehingga
quorum sering tidak tercapai.
Suatu
Konperensi Pemuda Islam internasional diselenggarakan di Karachi ketika aku
berbaring di rumah sakit. Konperensi ini pun kurang berhasil, terbukti dengan
terpilihnya presidennya dari Indonesia, Harsono Tjokroaminoto, yang sudah tidak
pemuda lagi. Akibatnya, konperensi itu sekali itu saja diselenggarakan. Tetapi
hal ini agaknya merupakan kesalahan pihak Indonesia juga. Kelemahan kita dalam
rangka ini antara lain kurangnya dana yang dapat digunakan untuk mengembangkan
organisasi dunia ini.
Kongres
yang di Jakarta ditutup oleh Presiden Soekarno. Sambutan dari pihak peserta
kongres disampaikan oleh Anton Timur Djaelani dari PII. Kongres memutuskan
hal-hal biasa: persatuan ummat Islam, kutukan terhadap Perancis yang ingin
terus menjajah Aljazair, dan persatuan dunia Islam. Cita-cita memang boleh
tinggi, sayang usaha pelaksanaannya kurang kuat mengiring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar