Bolehkah? Pertanyaan itu selalu menabrak batok kepalaku disetiap saat dalam kontemplasi panjang. Dalam perenunganku juga, aku seakan berhadapan dengan Guru, panggilan akrab ayahku Saminja upa. Ya, Saminja nama ayahku, Upa nama kakekku.
Bolehkah aku bicara denganmu guru, walaupun itu hanya dalam bayang dan anganku. Karena kamu adalah ayah yang tetap dalam jiwaku, kamu tetap ayahku sekaligus guruku yang mengajarkan tentang pentingnya prinsip, "CINIKI DALLEKANU CINIKI RIBOKOANNU", arti dari Bahasa Makassar ke Bahasa Indonesia, "LIHATLAH DEPANMU LIHATLAH BELAKANGMU".
Bolehkah kamu ayah menjadi cahaya bintang dilangit yang jauh? Ku tahu, hadirmu ayah walaupun tak berwujud dalam fatomorgana yang tak ku tahu. Bila malam ini diam dan hening, seakan ada dirimu ayah yang bicara dalam bisu. Tatkala bulan tersenyum sendu, tanpa terasa serangkai bayang dirimu yang sederhana, berwibawa, dan tersenyum. Walaupun kutahu, itu hanya bayang dalam anganku. Itu ekspresi dekapan rinduku padamu ayah. Karena kutahu, dirimu ayah sudah jauh dan tidak akan pernah datang berwujud.
Bolehkah ayah, kamu hadir dalam mimpiku menjelaskan wasiat penting yang ingin sekali kamu sampaikan padaku, sehari sebelum berpindah dari alam dunia ke alam kubur. Kamu menginginkan aku untuk segera pulang kekampung demi tersampainya suatu wasiat.
Bolehkah ayah, aku berjanji? Ayah, aku berjanji akan meneruskan perjuanganmu, akan berusaha menyebut namamu dalam setiap barisan do'aku , disetiap usaha ku, dan selalu menjaga wasiat mu semasa hidup mengenai,
"TEAKO PA'BENGI NIA AMPI'RUI KUBURANGKU", arti dari Bahasa Makassar ke Bahasa Indonesia, "JANGAN BIARKAN KUBURANKU ADA YANG MELUDAHI".