Sabtu, 07 Maret 2015

KONSEP BISNIS ORANG CINA

Uang digunakan untuk menghasilkan uang
   Pedagang sejati tidak takut pada persaingan dan kerugian.
Orang Cina menentang konsep zero sum game dalam perdagangan. Perdagangan sebaiknya memberikan manfaat kepada semua pihak, baik sesama pedagang, pesaing, ataupun pelanggan. Perdagangan hanya akan berkembang maju seandainya situasi win win dapat diwujudkan dalam suatu kegiatan dagang.
    Konsep perdagangan orang Cina tidak sama dengan konsep berdagang orang Melayu. Orang Cina tidak suka „makan“ atau mencari untung sendiri. Mereka tidak dianjurkan meraup semua keuntungan dan kekayaan. Sebaliknya jika perlu, mereka berbagi semua keuntungan yang diperoleh dengan pedagang lain. Pedagang tidak boleh mementingkan diri sendiri. Sebab, tidak ada pedagang yang dapat hidup seorang diri. Mereka bergantung pada pedagang lain untuk mendapatkan bahan, pelanggan dan keterampilan. Konsep ini penting untuk menjamin keberhasilan suatu perdagangan. Namun sayangnya, orang Melayu gagal menerjemahkan konsep ini dalam bidang perdagangan. Akibatnya terjadi persaingan negatif yang akhirnya secara keseluruhan akan menghancurkan perdagangan orang Melayu.
    Sering kali terjadi, pedagang Melayu berdagang barang yang sama di kawasan yang sama. Jika satu toko menjual tomyam (sup asam pedas), semua toko akan menjual makanan yang sama. Jika ada yang menjual kue, keesokan harinya akan bermunculan toko-toko lain yang menjual kue. Hal ini seolah-olah menjadi suatu budaya dan tren di kalangan pedagang Melayu di mana pun mereka membuka perdagangan. Konsep perdagangan seperti ini tidak menguntungkan dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Akhirnya, bukan saja semua pedagang tidak mendapat untung, bahkan semuanya terpaksa gulung tikar ataupun berganti jenis perdagangan. Keadaan ini juga terjadi pada bulan puasa. Pada saat itu, akan muncul banyak pedagang seperti jamur pada musim hujan. Mereka berdagang hanya untuk mendapatkan keuntungan pada waktu yang singkat dan akan beristirahat ketika bulan Ramadhan berakhir. Perdagangan ala mee maggi (seperti makanan mie maggi) ini tidak akan menjadikan pedagang tersebut berhasil dalam bidang perdagangan . Banyak yang muncul secara tiba-tiba dan hilang secara tiba-tiba juga.
   Pedagang seperti fungus atau jamur ini tidak memiliki tempat dalam dunia perdagangan orang Cina. Golongan ini tidak layak disebut sebagai pedagang dan pengusaha yang seharusnya menunjukkan kesungguhan dan komitmen yang tinggi agar terus berdagang tanpa mengenal musim. Orang Cina tidak suka berdagang secara musiman meskipun ada di antara mereka yang mengusahakan perdagangannya secara kecil-kecilan. Berdagang kecil-kecilan itu lebih baik daripada berdagang musiman karena pedagang itu memiliki peluang untuk berkembang. Pedagang musiman bukan saja tidak berkembang, melainkan akan menghadapi masalah modal dan likuiditas (ketersediaan dana yang siap dicairkan) untuk memulai kegiatan berdagangnya. Mereka berdagang untuk mendapatkan uang saku dan uang belanja. Padahal, tujuan utama dalam perdagangan adalah keuntungan. Uang digunakan untuk menghasilkan uang . Uang digunakan untuk melakukan investasi dan menambah modal kerja. Uang tidak seharusnya dibelanjakan untuk hal lain, apalagi jika uang itu merupakan keuntungan dari perdagangan.
    Sudah menjadi hal yang biasa di kalangan pedagang Melayu, mereka tidak mempunyai uang kecil (receh) untuk digunakan sebagai uang kembalian kepada pelanggan. Untung yang mereka dapat hari ini akan digunakan untuk membeli barang dagangan. Mereka berpikir bahwa hasil pendapatan yang diperoleh hari ini adalah modal kerja. Seorang pedagang harus mempunyai sedikit modal sebagai modal kerja untuk perdagangan. Bagi yang berdagang makanan, mereka perlu menyediakan sejumlah uang receh sebagai modal untuk uang kembalian. Pedagang Cina dan India jarang menghadapi masalah uang kembalian ini. Namun, masalah ini sering dialami oleh kebanyakan pedagang Melayu sehingga mempengaruhi kepercayaan pelanggan pada mereka. Pedagang harus berusaha menumbuhkan rasa percaya kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik.
    Secara psikologis, pelanggan menginginkan pelayanan yang cepat, efisien, dan cermat. Pedagang tidak boleh mengeluh di hadapan pelanggan apalagi menunjukkan emosi yang negatif, seperti marah, bosan, menunjukkan rasa tidak senang, dsb. Jangan sekali-kali menghardik pelanggan karena mereka membayar bukan untuk mendapatkan kata-kata yang tidak enak didengar. Dalam perdagangan setiap pedagang harus berpegang pada konsep „pelanggan adalah partner“. Merekalah yang membuat laku dagangan kita dan mereka juga yang akan menentukan maju mundurnya suatu perdagangan. Konsep ini dipegang oleh orang Cina dan dilaksanakan dalam segala kegiatan dagang mereka. Pedagang harus berkompromi dengan pelanggan. Mereka juga harus bersikap fleksibel dalam kegiatan usahanya untuk memuaskan hati pelanggan.
  Sebab itulah, pedagang Cina membolehkan terjadinya tawar-menawar. Meskipun proses ini memakan waktu dan mengurangi keuntungan, hal ini dapat mengembirakan hati pelanggan. Pelanggan yang gembira akan datang lagi. Jangan berharap pelanggan yang marah, tidak puas hati, dan merasa dipermalukan akan datang lagi kepada pedagang yang bersikap kurang baik padanya. Banyak orang yang suka berurusan dagang dengan pedagang Cina. Orang Cina selalu dipilih untuk pekerjaan-pekerjaan, seperti bertukang, memasang listrik, memperbaiki kendaraan, membangun, dan merenovasi bangunan. Salah satu faktornya adalah, karena orang Cina lebih diyakini dan dipercaya. Meskipun bayarannya mungkin lebih mahal sedikit, setidaknya mereka dapat memenuhi apa yang diinginkan pelanggan. Itulah yang membedakan pedagang Cina dengan pedagang Melayu.