Uang digunakan untuk menghasilkan uang
Pedagang sejati tidak takut pada persaingan dan kerugian.
Orang Cina menentang konsep zero sum game dalam perdagangan. Perdagangan sebaiknya memberikan manfaat kepada semua pihak, baik sesama pedagang, pesaing, ataupun pelanggan. Perdagangan hanya akan berkembang maju seandainya situasi win win dapat diwujudkan dalam suatu kegiatan dagang.
Orang Cina menentang konsep zero sum game dalam perdagangan. Perdagangan sebaiknya memberikan manfaat kepada semua pihak, baik sesama pedagang, pesaing, ataupun pelanggan. Perdagangan hanya akan berkembang maju seandainya situasi win win dapat diwujudkan dalam suatu kegiatan dagang.
Konsep perdagangan orang Cina tidak sama dengan konsep berdagang orang Melayu. Orang Cina tidak suka „makan“ atau mencari untung sendiri. Mereka tidak dianjurkan meraup semua keuntungan dan kekayaan.
Sebaliknya jika perlu, mereka berbagi semua keuntungan yang diperoleh
dengan pedagang lain. Pedagang tidak boleh mementingkan diri sendiri.
Sebab, tidak ada pedagang yang dapat hidup seorang diri. Mereka
bergantung pada pedagang lain untuk mendapatkan bahan, pelanggan dan
keterampilan. Konsep ini penting untuk menjamin keberhasilan suatu
perdagangan. Namun sayangnya, orang Melayu gagal menerjemahkan konsep
ini dalam bidang perdagangan. Akibatnya terjadi persaingan negatif yang
akhirnya secara keseluruhan akan menghancurkan perdagangan orang Melayu.
Sering
kali terjadi, pedagang Melayu berdagang barang yang sama di kawasan
yang sama. Jika satu toko menjual tomyam (sup asam pedas), semua toko
akan menjual makanan yang sama. Jika ada yang menjual kue, keesokan
harinya akan bermunculan toko-toko lain yang menjual kue. Hal ini
seolah-olah menjadi suatu budaya dan tren di kalangan pedagang Melayu di
mana pun mereka membuka perdagangan. Konsep perdagangan seperti ini
tidak menguntungkan dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Akhirnya, bukan saja semua pedagang tidak mendapat untung, bahkan
semuanya terpaksa gulung tikar ataupun berganti jenis perdagangan.
Keadaan ini juga terjadi pada bulan puasa. Pada saat itu, akan muncul
banyak pedagang seperti jamur pada musim hujan. Mereka berdagang hanya
untuk mendapatkan keuntungan pada waktu yang singkat dan akan
beristirahat ketika bulan Ramadhan berakhir. Perdagangan ala mee maggi
(seperti makanan mie maggi) ini tidak akan menjadikan pedagang tersebut
berhasil dalam bidang perdagangan . Banyak yang muncul secara tiba-tiba
dan hilang secara tiba-tiba juga.
Pedagang seperti fungus atau
jamur ini tidak memiliki tempat dalam dunia perdagangan orang Cina.
Golongan ini tidak layak disebut sebagai pedagang dan pengusaha yang
seharusnya menunjukkan kesungguhan dan komitmen yang tinggi agar terus
berdagang tanpa mengenal musim. Orang Cina tidak suka berdagang secara
musiman meskipun ada di antara mereka yang mengusahakan perdagangannya
secara kecil-kecilan. Berdagang kecil-kecilan itu lebih baik daripada
berdagang musiman karena pedagang itu memiliki peluang untuk berkembang.
Pedagang musiman bukan saja tidak berkembang, melainkan akan menghadapi
masalah modal dan likuiditas (ketersediaan dana yang siap dicairkan)
untuk memulai kegiatan berdagangnya. Mereka berdagang untuk mendapatkan
uang saku dan uang belanja. Padahal, tujuan utama dalam perdagangan
adalah keuntungan. Uang digunakan untuk menghasilkan uang .
Uang digunakan untuk melakukan investasi dan menambah modal kerja. Uang
tidak seharusnya dibelanjakan untuk hal lain, apalagi jika uang itu
merupakan keuntungan dari perdagangan.
Sudah
menjadi hal yang biasa di kalangan pedagang Melayu, mereka tidak
mempunyai uang kecil (receh) untuk digunakan sebagai uang kembalian
kepada pelanggan. Untung yang mereka dapat hari ini akan digunakan untuk
membeli barang dagangan. Mereka berpikir bahwa hasil pendapatan yang
diperoleh hari ini adalah modal kerja. Seorang pedagang harus mempunyai
sedikit modal sebagai modal kerja untuk perdagangan. Bagi yang berdagang
makanan, mereka perlu menyediakan sejumlah uang receh sebagai modal
untuk uang kembalian. Pedagang Cina dan India jarang menghadapi masalah
uang kembalian ini. Namun, masalah ini sering dialami oleh kebanyakan
pedagang Melayu sehingga mempengaruhi kepercayaan pelanggan pada mereka.
Pedagang harus berusaha menumbuhkan rasa percaya kepada pelanggan
dengan memberikan pelayanan yang terbaik.
Secara psikologis,
pelanggan menginginkan pelayanan yang cepat, efisien, dan cermat.
Pedagang tidak boleh mengeluh di hadapan pelanggan apalagi menunjukkan
emosi yang negatif, seperti marah, bosan, menunjukkan rasa tidak senang,
dsb. Jangan sekali-kali menghardik pelanggan karena mereka membayar
bukan untuk mendapatkan kata-kata yang tidak enak didengar. Dalam
perdagangan setiap pedagang harus berpegang pada konsep „pelanggan
adalah partner“. Merekalah yang membuat laku dagangan kita dan mereka
juga yang akan menentukan maju mundurnya suatu perdagangan. Konsep ini
dipegang oleh orang Cina dan dilaksanakan dalam segala kegiatan dagang
mereka. Pedagang harus berkompromi dengan pelanggan. Mereka juga harus
bersikap fleksibel dalam kegiatan usahanya untuk memuaskan hati
pelanggan.
Sebab itulah, pedagang Cina membolehkan terjadinya
tawar-menawar. Meskipun proses ini memakan waktu dan mengurangi
keuntungan, hal ini dapat mengembirakan hati pelanggan. Pelanggan yang
gembira akan datang lagi. Jangan berharap pelanggan yang marah, tidak
puas hati, dan merasa dipermalukan akan datang lagi kepada pedagang yang
bersikap kurang baik padanya. Banyak orang yang suka berurusan dagang
dengan pedagang Cina. Orang Cina selalu dipilih untuk
pekerjaan-pekerjaan, seperti bertukang, memasang listrik, memperbaiki
kendaraan, membangun, dan merenovasi bangunan. Salah satu faktornya
adalah, karena orang Cina lebih diyakini dan dipercaya. Meskipun
bayarannya mungkin lebih mahal sedikit, setidaknya mereka dapat memenuhi
apa yang diinginkan pelanggan. Itulah yang membedakan pedagang Cina
dengan pedagang Melayu.