Rabu, 01 April 2020

SEJARAH BIRINGBULU


Abad Tumanurung.

Berbicara tentang Sejarah Biringbulu, tidaklah terlepas dari Sejarah Kerajaan Gowa. Kecamatan Biringbulu terbentuk dari hasil pemekaran Kecamatan induk Tompobulu, pada masa kerajaan silam hingga kini tetap merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Gowa. Biringbulu kini merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Gowa sebelah tenggara.

Ketika Kerajaan Gowa diperintahkan oleh Tumanurung Bainea sebagai Raja Gowa pertama (1320), maka wilayah kerajaan Gowa saat itu hanya terbatas pada 9 daerah kecil yang disebut Kasuwiang.

Kesembilan daerah kecil itu kemudian lebih dikenal dengan nama Kasuwiang Salapanga.
Kesembilan kasuwiang dimaksud adalah : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Jeknek, Bisei, Kalling dan Sero.[1]
Masing-masing Kasuwiang memiliki pemerintahan tersendiri, namun mereka terikat dalam suatu persekutuan yang dikoordinir oleh seorang pemimpin yang dituakan yang disebut Paccallaya sebagai ketua dewan legislatif.

Dari wilayah Gowa yang disebutkan pada masa Tumanurunga, nampak bahwa, belum ada daerah Biringbulu atau salah satu daerah kecil lainnya yang disebutkan dalam Kasuwiang Salapang. Ini menandakan, bahwa Biringbulu dan daerah kerajaan kecil lainnya sekitar itu belum bergabung dalam kerajaan Gowa pada saat itu.
Kondisi negeri Kasuwiang tetap utuh hingga masa pemerintahan Raja Gowa V, Karangpang ri Gowa (1420-1445).

Pemerintahan Tumanurunga, tak hanya ada di Gowa. Di beberapa daerah perkampungan di Biringbulu, maupun di Kecamatan induk Tompobulu, warga setempat juga mengenal Tumanurung sebagai raja pertama yang memerintah di negerinya.         

Seperti halnya di Kampung Garentong Desa Rappoala Kecamatan Tompobulu, di puncak gunung desa itu terdapat dua buah batu Tumanurung. Batu yang satu diyakini sebagai tempat turungnya Batara Gowa dan yang satu lagi istrinya bernama Nasiah Karaeng Bau.

Menurut informasi dari salah seorang tokoh masyarakat setempat, bahwa Batara Gowa ini merupakan Tumanurung yang muncul bersamaan dengan proses terjadinya Butta Gowa. Dari situlah, tanah Gowa mulai dibentuk hingga menyebar ke daerah sekitarnya. Itulah sebabnya, kawasan sekitar itu dikenal dengan nama Butta Towa (negeri yang usianya paling tua).

Demikian halnya Biringbulu, ada beberapa kerajaan kecil yang dulunya diperintah oleh seorang tokoh bernama Dampang. Ketika warga kelompok itu melakukan perang saudara, maka datanglah Tumanurung yang dianggap sebagai tokoh kharismatik. Tokoh Tumanurung itu turun di Ponceng (sekarang berubah menjadi Pencong). Tumanurung itulah yang membangun kerajaan Pencong hingga membuat masyarakatnya sejahtera.

Di Lauwa, juga ada sosok pemimpin Tumanurung yang diyakini berasal dari kayangan, masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Batara Lauwa. Jejak kehadiran Tumanurung di Lauwa, kini masih bisa dibuktikan dengan adanya sebuah bekas kaki dan tangan yang ada pada sebuah batu di bukit Karaeng Daeng ri Moncong.

Demikian masyarakat lainnya di Kecamatan Biringbulu, juga mengenal adanya Tumanurunga, yang hingga kini dikenal dengan Patanna Pa’rasangang (pemilik negeri). Makamnya atau tempat Tumanurung disayang (lenyap) setiap saat didatangi pesiarah dengan membawa persembahan (pa’rappo).

Sebelum Gowa melakukan ekspansi ke wilayah kerajaan sekitarnya, sudah ada beberapa kerajaan tetangga yang berdiri. Di bagian tenggara, ada dua kerajaan besar, namanya kerajaan Datara dan Garing yang sangat besar pengaruhnya bagi daerah sekitarnya.

Konon, ketika pertama kali kedua kerajaan ini berdiri, masing-masing memiliki Tumanurung. Di Kerajaan Garing rajanya bernama Tanikobbika Nammikki (belum dicolek sudah kaget). Ini pertanda bahwa pemimpin pertamanya itu adalah perempuan atau ratu. Demikian pula di Datara, Tumanurungnya disebut Labba Simboleng (si sanggul lebar) juga seorang perempuan.

Kedatangan kedua Tumanurung ini, masing-masing membawa benda pusaka. Tumanurung di Garing membawa Baju Rante (Baju Rantai) yang hingga kini masih tetap dilestarikan oleh pewarisnya. Sedangkan sanggul lebar yang dibawa oleh Labba Simboleng, tak lain adalah sebuah mahkota yang mirip Salokoa.

Namun mahkota dimaksud kini sudah tidak ada lagi. Sisa senjata peninggalan berupa Baddili (bedil) yang kini masih tersimpang di Datara.
Kerajaan Datara saat itu meliputi Datara, Lauwa, Malakaji, Rappoala, Lembaya, Batu Ma’lonro, Sapaya dan beberapa daerah sekitar Lompobattang.

Mengenai nama Tompobulu sebenarnya bukanlah nama baru yang muncul setelah paskah kemerdekaan, tetapi dulunya adalah sebuah perkampungan kecil yang ada di puncak gunung yang paling tinggi di Tonrorita.

Tompobulu Tonrorita merupakan wilayah pegunungan yang paling tinggi. Di puncak gunung itu terdapat sebuah lubang berukuran 60x60 cm yang ditutupi batu. Bila batu itu dibuka, angin yang bertiup di puncak gunung itu akan berhembus sampai kedasar gua.

Menurut catatan sejarah dari mantan Camat Tompobulu, H. Mansyur Naro pada tahun 1974 menjelaskan, bahwa di Tompobulu pada awalnya merupakan sebuah kerajaan kecil yang berdiri sendiri sampai tahun 1640 M. Wilayah kerajaan itu terbentuk, karena adanya persekutuan dari empat pemerintahan kecil daerah itu yang disebut Baku Appaka (empat pemerintahan adat) terdiri dari Arung Ponceng dari Pencong, I Bara Dg. Merela dari Datara, Kampung Badienglolo di Lauwa dan TAU TOWA dari  SANRANGAN .

Dengan demikian, Lauwa yang sekarang menjadi Ibukota Kecamatan Biringbulu, dulunya merupakan salah satu anggota Baku Appaka, yang merupakan anggota legislatif dari kerajaan Datara.     

[1] Abd. Razak Dg. Patunru, Sejarah Gowa, 1963, Hal. 1

Sumber : Buku Sejarah Biringbulu yang disusun oleh Zainuddin Tika, dkk.