Sabtu, 03 Januari 2015

PENGERTIAN AMAL JARIAH DAN DOSA JARIAH

Assallamu’allaikum mass n’ miss sadayana.
Sering kita mendengar sebuah kata yaitu amal jariah.
Amal jariah dalam bahasa arab
berarti amal yang mengalir. Definisinya adalah,
perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang
melakukannya, meskipun ia telah berada di akhirat.
Pahala dari amal perbuatan tersebut terus mengalir kepadanya selama orang yang hidup mengikuti atau memanfaatkan hasil amal perbuatannya ketika di dunia.
Di sinilah kelebihan amal jariah dibanding amal-amal lain yang hanya diberi balasan sekali dalam satu perbuatan.
Kata ‘amal’ dapat diterapkan pada semua perbuatan lahiriah, seperti melaksanakan shalat, membayar zakat,menunaikan ibadah haji, dan kegiatan-kegiatan sosial.
Dapat juga diterapkan pada perbuatan batiniah, seperti niat, beriman kepada Allah SWT, bersabar menahan penderitaan, tabah menghadapi ujian, dan sebagainya.
Berdiam diri tidak melaksanakan perbuatan yang dilarang Allah SWT juga dapat disebut amal. Kata ” jariah” diibaratkan dengan air yang secara terus-menerus mengalir dari sumbernya tanpa habis-habisnya.
Dalil yang populer sebagai dasar keberadaan amal jariah ialah hadist dari Abu Hurairah yang menerangkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala)
amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu
sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Ketiga amal jariah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Sedekah jariah, yaitu harta yang diwakafkan.
Dalam hukum Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan terhadap suatu harta (tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan). Kemudian manfaat dari harta itu diberikan untuk kepentingan umat Islam.
2. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan
kepada orang lain dan orang lain tersebut
memanfaatkannya untuk kemaslahatan hidup baik secara individu maupun secara bersama. Selama ilmu yang diajarkan itu dimanfaatkan oleh orang, selama itu pula pahalanya mengalir kepada yang mengajarkannya di akhirat.
3. Anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
Anak yang saleh ialah anak yang baik-baik. Tidak hanya anak, tetapi masuk juga dalam kategori ini keturunannya seperti cucu dan seterusnya.
Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya meninggal dunia ialah ilmu yang disebarluaskannya, anak
soleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibina, rumah yang dibina untuk penginapan orang yang sedang
dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang ramai, dan harta yang disedekahkannya “(Hadist Riwaya Ibnu Majah).
Yuk, sekarang kita kupas lebih detail.
1. Ilmu yang di sebarluaskan :
Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat,baik melalui pendidikan formal (seperti sekolah,universitas) dan pendidikan tidak formal seperti perbincangan ilmiah, tazkirah di masjid-masjid, ceramah umum, program dakwah dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini
adalah menulis buku-buku yang berguna , menulis kitab-
kitab agama dan menyebarkan bahan-bahan pendidikan
Islam melalui artikel-artikel tazkira samaada di facebook atau blog.
2. Anak soleh yang ditinggalkan :
Yaitu mendidik anak menjadi anak yang soleh. Anak yang soleh
akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadist ini, kebaikan yang diperbuat oleh anak soleh pahalanya sampai kepada orang tua yang
mendidiknya yang telah meninggal dunia tanpa mengurangi nilai atau pahala yang diterima oleh anak-anak tadi.
Doa anak yang soleh kepada orang tuanya
mustajab di sisi Allah SWT.
3. Mushaf (kitab-kitab agama) yang diwariskannya :
Mewariskan kitab suci al-Quran, kitab tafsir al-Quran,mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan
masyarakatnya. Selagi kitab-kitab tersebut
digunakan sebagai bahan bacaan dan rujukan maka orang yang mewakafkan akan mendapat pahala yang berterusan.
Jadi jika mass n’ miss punya buku-buku islami atau yg bermanfaat dan kebetulan sudah jarang dibaca dan masih dalam kondisi baik,alangkah baiknya jika disumbangkan di perpustakaan masjid.Kebiasaan masyarakat kita adalah sering membuat buku yasin disaat peringatan seribu hari meninggalnya anggota keluarga untuk disumbangkan kepada anggota jamaah yasin…dan menurut masshar itu juga bagus dan bermanfaat.
4. Masjid yang dibina :
Membangun masjid. Perkara ini selaras dengan sabda Nabi SAW yang bermaksud, “Barangsiapa yang membangunkan sebuah masjid kerana Allah walau sekecil
apa pun, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga” (Hadis Riwayat Bukhari dan
Muslim).
Orang yang membina masjid tersebut akan menerima pahala seperti pahala orang yang mengerjakan amal ibadah di masjid tersebut. Termasuk juga mewakafkan
tanah untuk pembinaan masjid.
5. Rumah yang dibina untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan :
Membangun rumah musafir atau pondok bagi orang-orang yang bermusafir untuk kebaikan adalah suatu amalan sangat di tuntut. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk beristirahat  sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk
maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membinanya ( bukan bisnis hotel lho ya ).
6. Sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang ramai:
Mengalirkan air secara baik dan bersih ke tempat-tempat orang yang memerlukannya atau menggali perigi ditempat yang sering dilalui atau didiami orang ramai.
Setelah orang yang mengalirkan air itu meninggal dunia dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia
mendapat pahala yang terus mengalir.
Semakin ramai orang yang memanfaatkannya semakin banyak ia menerima pahala di akhirat. Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa membina sebuah telaga lalu diminum oleh jin atau burung yang kehausan, maka Allah akan memberinya pahala kelak di hari kiamat.” (Hadist Riwaya Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).
7. Harta yang disedekahkannya :
Menyedekahkan sebahagian harta. Sedekah yang diberikan secara ikhlas akan mendatangkan pahala yang
berlipat ganda. Selain daripada harta yang diberikan sebagai sedekah, termasuk juga mewakafkan tanah untuk pembangunan pendidikan Islam, rumah anak yatim, tanah perkuburan dan rumah oarng-orang
tua(panti jompo).Selagi tanah tersebut digunakan untuk kebaikan maka pahalanya akan berterusan kepada pemberi tanah wakaf tersebut.
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sedekah itu benar-benar dapat memadamkan panas kubur bagi pelakunya, sesungguhnya orang mukmin kelak di hari
kiamat hanyalah bernaung dalam naungan sedekahnya(Hadis Riwayat Al-Tabrani).
Jadi, Sedekah dapat di jadikan sebagai pemberi syafaat bagi pelakunya . Di dalam kubur ia mendapatkan kesejukan
berkat sedekahnya dan terhindar dari panasnya kubur.
Demikian pula di hari kiamat, ia akan mendapatkan naungan dari amal sedekahnya, padahal ketika itu
kebanyakan manusia berada di dalam kepanasan yang tiada taranya.
Dalam hadist lain di sebutkan bahwa
sedekah itu dapat menolak kemurkaan Allah.
Inilah sebenarnya yang Islam kehendaki,yaitu yang kaya membantu mereka yang miskin. Barulah bermakna dan bermanfaat segala harta dunia yang dimiliki.
Apalah artinya harta melimpah kalau kita tidak sedekah.
Rasulullah SAW sepanjang hayat sangat
menjunjung tinggi sikap dermawan yang tidak bakhil dengan menyumbangkan hartanya ke jalan kebaikan.
Dengan kenyataan yang juga berbentuk satu motivasi bagi umatnya, baginda rosul  berpesan kepada kita: “Tangan
yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan yang di atas suka memberi dan tangan yang
di bawah suka meminta.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Teruskan beramal jariah kerana inilah jenis amalan yang berterusan umpama air sungai yang mengalir kepada mukmin yang melakukannya samasa mereka
masih hidup di dunia ataupun ketika telah meninggal dunia.
Adakah dosa jariah ???
Mass miss sekalian, pertanyaan ini pernah terlontar dari penanya kepada salah satu ustadz di talk show televisi.
Dan dari ustadz menjawab, ” ada “.
Seperti di awal saya sampaikan bahwasanya kata jariah sendiri artinya mengalir.
Jadi apapun itu baik kebaikan maupun keburukan tentu ada balasannya.
Untuk dosa jariah sendiri maksudnya bagaimana ?
Nah, anda tentu pernah dan sering mendengar kisah – kisah orang dahulu melalui buku-buku sejarah islam.
Disitu banyak dikisahkan ,sebagai contoh saja tentang fir’aun .
Oya…fir’aun sendiri adalah gelar bagi raja-raja mesir saat itu.kalau di china dikenal dengan istilah dinasti..dan pada saat kisah nabi musa yg bertahta adalah menepthan ( mudah-mudahan tidak salah nyebut ).
Kita sudah tahu bahwa fir’aun membangun piramide untuk sembahyang (menyembah dewa-dewa) dan juga untuk kuburnya ssndiri..nah jika semenjak Fir’aun meninggal dan banyak orang sembahyang disitu  dan meneruskan tradisinya bagaimana..tentunya ini adalah dosa yg akan berkelanjutan …sekarang tinggal pilih ,bangun masjid apa tempat maksiat???
Satu lagi yg akan saya singgung adalah tradisi.
Siapa yang memulai ritual sesajen ,minta pada penunggu pohon angker misalnya atau sesajen nglarung di laut kidul misalnya…itu jelas perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan..
Barang siapa sekarang masih melakukan itu dan melaksanakan tradisi itu maka ia akan mendapatkan dosa jariah atau dosa yg terus mengalir padanya.
Jadi jika mass n’ miss semua suka mencoba hal yg aneh- aneh ,mulai sekarang dipikir-pikir dulu deh,.
Bertentangan dengan hukum agama atau tidak..takutnya akan menjadi dosa jariah.
Jadi hati-hati yaa…
Boleh lah kita membuat tradisi sendiri dalam keluarga kita, yg baik- baik juga banyak kog..misalnya tiap tahun patungan ikut Qurban, atau tiap ulang tahun merayakannya bersama anak yatim dan sekalian bersedekah…dan lain sebagainya.
Apa bedanya amal jariah dan shodaqoh
Shodaqoh/sedekah dlm arti sempit maknanya adl zakat.Sebagaimana dlm QS at-Taubah: 60 tentang 8 golongan yang berhak menerima zakat.
Juga hadits sbb :
ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺣﺐٍّ ﻭﻻ ﺛﻤﺮٍ ﺻﺪﻗﺔٌ ﺣﺘّﻰ ﻳﺒﻠﻎَ ﺧﻤﺴﺔَ ﺃﻭﺳُﻖٍ
Tdk ada kewajiban zakat pd biji2an dan kurma hingga mencapai 5 wasaq (HR Muslim).
Sedangkan sedekah dlm arti luas, meliputi :
– berbuat adil thd 2 pihak
– menolong org keatas kendaraannya
– ucapan2 yg baik (kalimah thoyibah)
– setiap langkah menuju tempat sholat
– menyingkirkan gangguan di jalanan (HR Muslim)
Jadi bisa digaris bawahi bahwa perbedaan yang mendasar adalah :
– kalau amal jariah pahalanya terus mengalir selagi masih ada orang yang memanfaatkannya.
– sedangkan sedekah pahalanya hanya sekali saat itu saja ( itu arti mudahnya ).
image
Demikian yang dapat masshar berikan sedikit ilmu yg saya dapat untuk dibagi ke mass miss sekalian.
Mudah-mudahan bermanfaat
Keep istiqomah
Jika ada kata atau kalimat yang salah mohon dikoreksi, pedoman saya ” sampaikanlah walau hanya satu ayat

Kreatif Memilih Khutbah

Begitu banyak khatib yang mengawali khutbahnya dengan menggunakan pengantar yang dihiasi dengan sajak, syair, atau puisi yang berlebih-lebihan. Fenomena ini tentu menyimpang dari tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengawali khutbahnya. Dalam praktiknya, ketika memulai khutbah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membukanya dengan menggunakan khutbah hajah. Ibnu Qudamah menjelaskan, “Seorang khatib dianjurkan mengawali khutbahnya dengan mengucapkan tahmid (puja dan pujian kepada Allah, pen.) sebelum menyampaikan pesan khutbah. Sebab, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah, mencotohkan seperti itu.” Contoh khutbah hajah adalah sebagai berikut:
إِنَّ الحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وُنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمْداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا}
أما بعد
Selanjutnya, beliau menyampaikan isi pesan khutbah.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa melihat takhrij khutbah hHajah ini dalam artikel berjudul Khutbah Al-Hajah, karya Syekh Al-Albani.
Catatan:
Dalam banyak kasus, seringkali para khatib membumbui khutbah hajah ini dengan menambahkan beberapa ungkapan tanpa dilandasi dalil, seperti ungkapan, “Wanastahdiihi” dan “Wanatuubu ilaihi”. Padahal, bagi orang yang mencintai sunah, akan merasa cukup dan puas dengan apa yang telah ditetapkan dalam sunah.
Sumber: 33 Kesalahan Khotib Jumat, Su’ud bin Malluh bin Sulthan Al-’Unazi, Pustaka at-Tazkia, 2006

Hukum Berbicara Ketika Khotbah Jumat

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rab semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketika menghadiri shalat Jumat di masjid, tentu ada adab yang harus diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam berkhotbah.

Berbagai Hadis yang Menunjukkan Larangan

Dalam hadis riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jumat, kemudian (di saat khotbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jumat saat ini dan Jumat sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ
Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khotbah Jumat, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen.). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumat baginya (artinya: ibadah Jumatnya tidak sempurna, pen.).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadis ini dha’if kata Syaikh Al-Albani)
Dari Salman Al Farisi radhiallahu‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى
Apabila seseorang mandi pada hari Jumat, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang (melangkahi pundak orang), kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhotbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jumat yang satu dan Jumat lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, ‘Diamlah, khotib sedang berkhotbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Kalam Ulama

An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak mendapatkan keutamaan ibadah Jumat. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ibadah Jumatnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Fathul Bari, 2: 414).
Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khotbah Jumat.” (Syarh Al-Bukhari, 4: 138, Asy-Syamilah)
Yang dimaksudkan “tidak ada Jumat baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para fuqoha bersepakat bahwa shalat Jumat orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

“Ngobrol” Ketika Imam Berkhotbah, Haram ataukah Makruh?

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhotbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.
Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i rahimahullah memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al-Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahumullah serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khotbah.
Dalam hadis disebutkan, “Ketika imam berkhotbah”. Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhotbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)

Memperingatkan Orang Lain Saat Khotbah Cukup dengan Isyarat

Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”
Pernyataan di atas didukung dengan hadis Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796).  Hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhotbah hanya dengan isyarat.

Menjawab Salam Orang Lain Saat Khotbah

Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhotbah. Balasannya cukup dengan isyarat (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata, “Menjawab salam saat khotbah tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khotbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. … Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam sedang berkhotbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepala. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)

Menjawab Salam Khotib

Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).
Dalam kitab Al-Inshof (4: 56, Asy-Syamilah), salah satu kitab fikih Madzhab Hambali disebutkan,
رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ
“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jamaah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jamaah kaum muslimin.”
Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jahr, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,
أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض
“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy-Syamilah)

Menjawab Kumandang Adzan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).
Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah  memberi salam kepada jamaah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadis ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”
Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal doa dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’raf: 205)
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 55)

Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu’anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al-Albani mengatakan hadis ini shahih).
Dalam Asnal Matholib salah satu fikih syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” ulama syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.
Ulama hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana doa.
Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhotbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)

Menjawab Orang yang Bersin

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab salam dan menjawab bersin saat khotbah Jumat? Apa juga hukum menyodorkan tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhotbah?”
Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhotbah tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram. Karena seorang muslim (yaitu jamaah) tidaklah diperintahkan untuk mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan, maka demikian pula dengan balasannya.
Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhotbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.
Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat khotbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy-Syamilah)

Berbicara dengan Khotib

Berbicara dengan khotib saat khotbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata,
أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ
Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhotbah Jumat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdoa agar hujan dihentikan.
Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
Sulaik Al-Ghothofani datang pada hari Jumat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhotbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khotbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jumat dan imam berkhotbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).
Demikian bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhotbah Jumat. Intinya, asal obrolan saat khotbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Doa Khutbah Jumat

1. Berdoa untuk kaum muslimin ketika khotbah kedua
Ulama berselisih pendapat tentang hukum berdoa bagi kaum muslimin ketika khotbah kedua.
  • Pendapat pertama, hukum berdoa ketika khotbah adalah sunah. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah –dalam salah satu pendapat mereka–, dan pendapat Hanabilah.
  • Pendapat kedua, berdoa ketika khotbah merupakan rukun khotbah kedua. Karena itu, wajib untuk berdoa pada khotbah kedua. Ini adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam Mazhab Syafi’iyah.
Insya Allah, pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa berdoa saat khotbah kedua itu hukumnya dianjurkan, bukan termasuk rukun. Semua ulama sepakat bahwa mendoakan kebaikan kepada kaum muslimin termasuk sesuatu yang disyariatkan.
Syekh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, “Hendaknya doa ketika khotbah adalah doa yang penting bagi kaum muslimim, seperti: kemenangan untuk Islam dan kaum muslimin, serta kekalahan bagi orang kafir.” (Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 3:21)
Di antara dalil bahwa berdoa pada kesempatan ini hukumnya dianjurkan adalah:
  • Hadis dari Samurah bin Jundab radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampunan untuk kaum mukminin-mukminat dan muslimin-muslimat setiap hari Jumat. (H.r. Al-Bazzar dan Thabrani. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya layyin karena dalam sanadnya ada Yusuf bin Khalid As-Samti, dan dia termasuk perawi dhaif)
  • Waktu berkhotbah termasuk waktu yang mustajab, sehingga dianjurkan untuk memanfaatkan waktu ini untuk berdoa.
Teks doa
Doa pertama:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
Ya Allah, ampunilah kaum mukminin laki-laki dan wanita, kaum muslimin laki-laki dan wanita, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sesungguhnya, Engkau adalah Dzat yang Maha Mendengar, Mahadekat, Dzat yang mengabulkan doa.”
Keterangan:
Teks doa ini tidak ada dalilnya dalam Alquran maupun hadis. Karena itu, boleh divariasikan. Yang penting, mengandung doa permohonan ampunan untuk kaum mukminin laki-laki dan wanita.
Doa kedua:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu sebelum kami, dan janganlah Engkau membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Keterangan:
Teks doa ini merupakan firman Allah di surat Al-Hasyr, ayat 10.
2. Mendoakan kebaikan untuk pemimpin secara umum
Mendoakan kebaikan bagi penguasa kaum muslimin secara umum dalam khotbah Jumat termasuk amalan yang dianjurkan. Imam An-Nawawi mengatakan, “Mendoakan kebaikan untuk penguasa kaum muslimin dan pemimpin mereka, agar mendapatkan kebaikan, kemudahan dalam menegakkan kebenaran serta keadilan, dan semacamnya termasuk doa yang dianjurkan menurut kesepakatan ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4:521)
Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, “Andaikan saya memiliki satu doa yang pasti dikabulkan, niscaya saya berikan doa itu untuk kebaikan pemimpin yang adil, karena ketika pemimpin baik maka itu akan memberikan kebaikan kepada kaum muslimin.” (Al-Furu’, 2:120). Beliau juga mengatakan, “Aku doakan pemimpin agar mendapatkan taufik dan petunjuk menuju jalan yang lurus.” (Al-Furu’, 2:120)
Imam Al-Barbahari mengatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mendoakan keburukan untuk pemimpinnya, ketahuilah, dia adalah pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah). Sebaliknya, jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasanya, ketahuilah, dia termasuk ahlus sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah, no. 107)
Kemudian, beliau mengutip perkataan Fudhail bin ‘Iyadh; beliau mengatakan, “Andaikan aku memiliki satu doa yang pasti dikabulkan, aku tidak akan menggunakan doa itu kecuali untuk kebaikan penguasa.” Beliau ditanya, “Wahai Abu Ali (kun-yah Fudhail), mohon jelaskan kepada kami perkataan Anda.” Beliau menjawab, “Jika aku gunakan doa yang baik ini untuk kepentingan diriku maka manfaatnya tidak meluas. Namun, jika aku gunakan untuk kebaikan penguasa, kemudian dia menjadi baik, seluruh masyarakat dan negara akan menjadi baik.” Karena itu, kita diperintah untuk mendoakan kebaikan bagi penguasa, dan kita tidak boleh mendoakan keburukan bagi mereka, meskipun mereka berbuat jahat dan zalim, karena kejahatan dan kezaliman mereka akan menimpa diri mereka sendiri, sedangkan kebaikan mereka akan memberikan dampak baik untuk dirinya dan kaum muslimin. (Syarhus Sunnah, no. 107)
Teks doa
Doa pertama:
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ

Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum muslimin sebagai orang yang baik, di mana pun mereka berada.”
Keterangan:
Doa ini merupakan doa Syekh Shaleh Al-Fauzan dalam khotbah beliau.
Doa kedua:
اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى طَاعَتِكَ وَاهْدِهِمْ سَوَاءَ السَّبِيْلِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْهُمْ الْفِتَنَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemimpin kami untuk menempuh jalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Ya Allah, bantulah meraka dalam melakukan ketaatan kepada-Mu dan berilah mereka petunjuk ke jalan yang lurus. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari setiap fitnah dan masalah, baik yang tampak jelas maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Doa ketiga:
اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah, berilah kami keamanan di negeri kami, jadikanlah pemimpin kami dan penguasa kami orang yang baik. Jadikanlah loyalitas kami untuk orang yang takut kepada-Mu, bertakwa kepada-Mu, dan mengikuti ridha-Mu, yaa Rabbal ‘alamin. Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemimpin kami untuk menempuh jalan petunjuk-Mu, jadikanlah sikap dan perbuatan mereka sesuai ridha-Mu, dan berikanlah teman dekat yang baik untuk mereka, yaa Rabbal ‘alamin.”
Keterangan:
Doa ini termasuk salah satu doa Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin pada salah satu khotbah Jumat beliau.
Selain doa-doa di atas, khatib juga bisa menambahkan doa-doa yang lainnya, baik yang ada dalam Alquran maupun As-Sunnah. Di antaranya:
a. Doa agar mendapatkan keturunan yang baik
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
b. Doa untuk kebaikan dunia dan akhirat
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa neraka.”
c. Doa mohon ampunan atas sikap yang melampui batas
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِيْ أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan segala tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami atas kaum yang kafir.”
d. Doa memohon ampunan untuk orang tua dan seluruh kaum muslimin
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِنَا مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Wahai Rabb kami, ampunilah kami, orang tua kami, dan setiap orang yang masuk ke rumah kami dengan beriman, juga semua laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman.”
Catatan:
Doa khatib ketika berkhotbah adalah doa jama’i, yang diaminkan oleh sebagian makmum. Karena itu, hindari penggunaan kata ganti “aku” atau “-ku”, karena doa dengan kata ganti “aku” berarti doa untuk kepentingan pribadi, padahal makmum mengaminkannya. Sebagian ulama menganggap tindakan ini sebagai bentuk pengkhianatan kepada makmum.
Contoh yang sering terjadi, doa memohonkan ampunan untuk diri sendiri dan orang tua:
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, serta berilah rahmat kepada keduanya, sebagaimana mereka mendidikku di waktu kecil.”
Doa ini tidak boleh dibaca pada saat doa jemaah, termasuk ketika khotbah. Karena doa ini kembali untuk kepentingan khatib sendiri. Yang benar, kata ganti “aku” diubah menjadi “kami”, sehingga teks doanya adalah:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا
Ya Allah, ampunilah kami dan kedua orang tua kami, serta berilah rahmat kepada keduanya, sebagaimana mereka mendidik kami di waktu kecil.”

Teks Pengantar Khotbah



إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا  أَمَّا بَعْدُ
Status Riwayat
Pengantar khotbah di atas diriwayatkan dari enam sahabat. Mereka adalah: Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Nubaith bin Syarith, dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Dalam hal ini, kami hanya menyebutkan riwayat Ibnu Mas’ud.
عن أبي عبيدة بن عبد الله عن أبيه قال : عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ [ فِيْ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ ] : إنَّ الْحَمْدُ لِلّهِ….الخ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah … –sebagaimana lafal di atas– ….” (H.r. Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Hakim, Daud Ath-Thayalisi, Imam Ahmad, dan Abu Ya ‘la; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)
Keterangan Umum
Pengantar khotbah di atas disebut sebagai “khutbatul hajah“. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “hajah” pada hadis ini adalah ‘akad nikah’, karena pada acara inilah, umumnya seseorang membaca khutbatul hajah, yang umumnya tidak dibaca pada kesempatan yang lain.
Hanya saja, yang zahir, hadis ini bersifat umum untuk semua hajat dan kepentingan, baik kepentingan akad nikah maupun lainnya. Karena itu, selayaknya seseorang menggunakan pengantar khotbah ini untuk menyampaikan kepentingannya dan semua rencana hidupnya. Demikian keterangan dari Imam Muhammad As-Sindi dalam Hasyiyah (catatan kaki) untuk Sunan Nasa’i, 3:105.
Setelah mengutip pendapat di atas, Syekh Al-Albani memberi komentar, “Pemaknaan ini (‘hajah’ dimaknai dengan ‘nikah’) adalah pemaknaan yang lemah, bahkan keliru, karena adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikannya selain saat akad nikah.” (Khutbatul Hajah, hlm. 31)
Kapan Khotbah ini Diucapkan?
Hadis di atas menunjukkan bahwa pengantar khotbah ini diucapkan ketika ada hajat dan kebutuhan yang hendak disampaikan. Di antaranya adalah ketika hendak melakukan akad nikah atau menyampaikan khotbah jumat. Terdapat keterangan lain, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut,
قَالَ شُعْبَة : قُلْتُ لِأَبِـي إِسحَاق : هَذِهِ فِي خُطبَةِ النِّكَاحِ أَوْ فِي غَيْرِهَا ؟ قَالَ: فِـي كُلِّ حَاجَةٍ
Syu’bah bertanya kepada gurunya, Abu Ishaq, “Apakah ini khusus untuk khotbah nikah atau boleh dibaca pada kesempatatan lain?” Jawab Abu Ishaq, “Diucapkan pada setiap acara yang penting.” (Sunan Al-Kubra, karya Al-Baihaqi, no. 13604)
Syu’bah bin Hajjaj adalah salah satu perawi hadis yang menyebutkan tentang khutbatul hajah.
Cara Baca
Untuk lafal “إن الـحَمْد لِلّهِ” ada beberapa cara baca:
  1. Huruf nun pada kata “ إن ” ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat fathah, sehingga dibaca “إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ”.
  2. Huruf nun pada kata “ إن ” ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat dhammah, sehingga dibaca “إنَّ الـحَمْدُ لِلّهِ”. Hal ini sebagaimana keterangan Mula Ali Qari dalam kitab Mirqah Al-Mashabih.
  3. Huruf nun pada kata “ إن ” tidak ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat dhammah, sehingga dibaca “إِنِ الـحَمْدُ لِلّهِ”. Ini sebagaimana keterangan Al-Jazari dalam Tashih Al-Mashabih.
Semua keterangan di atas disarikan dari ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 6:108.
Makna “Amma Ba’du”
Kata “أَمَّا بَعْدُ” sering kita dengarkan setiap kali seseorang menyampaikan pengantar khotbah. Bisa juga diungkapkan dengan: “وَبَعْدُ” . Keduanya bermakna sama, yaitu: “adapun selanjutnya”.
Kalimat ini disebut “فَصْلُ الخِطَابِ” (kalimat pemisah). Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu bahwa beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali mengucapkan ‘amma ba’du’ adalah Nabi Daud ‘alaihis salam, dan itu adalah fashlal khitab.” (Al-Awail Ibni Abi Ashim, no. 188; Al-Awail Ath-Thabrani, no. 40)
Allah berfirman,
وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَاب
“Kami kuatkan kerajaannya serta Kami berikan ilmu dan fashlul khitab.” (Q.s. Shad: 20)
Kalimat ini digunakan untuk memisahkan mukadimah dengan isi dan tema khotbah. Ini merupakan bagian dari perhatian seseorang terhadap ceramah yang disampaikan. Demikian keterangan Syekh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’, 1:7.
Anjuran Para Ulama
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, dalam mukadimah kitab beliau, Musykilul Atsar, “Saya mulai kitab ini dengan pembukaan ketika menyampaikan hajat, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari berbagai jalur, yang akan kami sebutkan –insya Allah– sebagai berikut. Innal hamda lillah ….” (Musykilul Atsar, 1:3)
Syekh Muhammad Hayat As-Sindi mengatakan, “Selayaknya, seseorang menggunakan pengantar khotbah ini untuk menyampaikan kepentingannya dan semua rencana hidupnya….” (Hasyiyah untuk Sunan Nasa’i, 3:105)
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Khutbatul hajah termasuk hal yang dianjurkan untuk disampaikan pada awal semua akad, seperti: jual beli, akad nikah, atau yang lainnya.” (Hasyiyah As-Sindi untuk Sunan Nasa’i, 3:105)
Setelah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas, Syekh Al-Albani memberi komentar, “Keterangan ulama yang menganjurkan pengucapan khotbah ini dalam jual beli atau semacamnya adalah pendapat yang lemah, karena inti akad jual beli dan semacamnya adalah ijab qabul …. Karena para sahabat yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga manusia zaman sekarang ini pun, sering melakukan akad tanpa diiringi dengan perkataan tertentu, namun menggunakan gerakan yang menunjukkan keinginan adanya akad …. (Khutbatul Hajah, hlm. 32)
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, seseorang yang bergelar muhadditsul ‘ashr (ahli hadis abad ini), menulis buku khusus tentang khutbatul hajah. Beliau berharap, buku ini bisa menjadi motivasi bagi banyak orang untuk menghidupkan kembali sunah pembukaan khotbah yang hampir hilang. Di akhir buku Khutbatul Hajah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan, “Sesungguhnya, tujuan menulis risalah (buku kecil) ini adalah menyebarkan sunah yang hampir sudah biasa ditinggalkan banyak orang. Karenanya, aku tujukan kepada seluruh khatib, da’i, mudarris (pengajar), dan yang lainnya agar betul-betul menghafalnya, menggunakannya untuk membuka khotbah-khotbah dan ceramah mereka. Semoga Allah mewujudkan keinginan mereka dengan sebab khutbatul hajah.” (Khutbatul Hajah, hlm. 33)
Mukadimah Lainnya untuk Khotbah
Selain khutbatul hajah di atas, masih banyak bentuk mukadimah khotbah lainnya. Hanya saja, mukadimah tersebut tidak berlandaskan dalil, dan hanya merupakan kreasi dari para da’i serta penceramah ketika hendak menyampaikan khotbahnya.
Bagi Anda yang hendak menggunakan pengantar khotbah yang tidak ada dalilnya, hendaknya tidak menggunakan pengantar khotbah yang berlebihan, dipaksa-paksakan agar bersajak, dan mengandung pujian yang berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, untuk lebih aman, sebaiknya kita gunakan pengantar khotbah yang pernah disampaikan oleh para ulama dalam buku-buku mereka. Berikut ini beberapa pengantar khotbah yang sering digunakan oleh da’i.
Mukadimah Singkat
Mukadimah 1:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini; dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk jikalau Allah tidak memberi petunjuk kepada kami. Sesungguhnya, telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran. Diserukan kepada mereka, “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan amalan yang dahulu kamu kerjakan.”
Keterangan:
Mukaddimah ini merupakan surat al-A’raf, ayat 43. Pujian disampaikan oleh penghuni surga, ketika mereka telah melihat kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka.
Mukadimah 2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang memiliki segala perbendaharaan langit dan bumi, serta bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di surat Saba, ayat pertama.
Mukadimah 3:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Keterangan:
Mukadimah ini merupakan surat Fathir, ayat 34.
Mukadimah 4:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada hamba-Nya, dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di surat Al-Kahfi, ayat pertama.
Mukadimah 5:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di ayat pertama, surat Al-An’am.
Mukadimah 6:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan-Nya kita meminta pertolongan dalam segala urusan dunia dan akhirat. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia, keluarganya, dan semua sahabatnya …. Amma ba’du ….
Mukadimah 7:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam tercurah untuk Rasulullah, para keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang tunduk lagi taat kepada beliau. Amma ba’du ….
Mukadimah 8:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia, keluarganya, dan semua sahabatnya …. Amma ba’du ….
Mukadimah 9:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصَحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَومِ الدِّينِ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah untuk seorang nabi dan rasul yang paling mulia, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’du ….
Mukadimah 10:
الْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُولِهِ الْـمُصْطَفَى، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji hanya bagi Allah, dan cukup Dia. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan-Nya yang terpilih, keluarganya, sahabatnya, dan setiap orang yang menempuh jalan hidayah. Amma ba’du ….
Mukadimah 11:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ فِي كُلِّ زَمَانٍ فَتْرَةً مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الْأَذَى، يُـحْيَونَ بِكِتَابِ اللهِ الـمَوْتَى وَيُبَصِّرُونَ بِنُورِ اللهِ أَهْلَ الْعَمَى، فَكَمْ مِنْ قَتِيْلٍ لِإِبْلِيْسَ قَدْ أَحْيَوْهُ وَكَمْ مِنْ ضَالٍّ تَائِهٍ قَدْ هَدَوْهُ فَمَا أَحْسَنَ أَثَرِهُم عَلَى النَّاسِ وَأَقْبَحَ أَثَرِ النَّاسِ عَلَيْهِمْ. يُنْفَوْنَ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَـحْرِيفَ الغَالِّينَ وَانْتِحَالَ الـمُبْطِلِينَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِينَ الَّذِيْنَ عَقَدُوا أُلُوِيَّةَ البِدْعَةِ وَأَطْلَقُوا عِقَالَ الفِتْنَةِ فَهُمْ مَخْتَلِفُونَ فِي الكِتَابِ مُخَالِفُونَ لِلْكِتَابِ مُجْمِعُونَ عَلَى مُفَارَقَةِ الكِتَابِ يَقُولُونَ عَلَى اللهِ وَفِي اللهِ وَفِي كِتَابِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَتَكَلَّمُونَ بِالـمُتَشَابِهِ مِنَ الكَلَامِ وَيُـخْدِعُونَ جُهَّالَ النَّاسِ بِمَا يُشْبِهُونَ عَلَيْهِمْ فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ فِتَنِ الْمُضِلِّينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji itu hanya menjadi hak Allah. Dialah Dzat yang memunculkan para ulama yang masih saja tersisa di setiap zaman yang mengalami kekosongan rasul. Para ulama tersebut mendakwahi orang yang tersesat kepada hidayah, dan mereka bersabar atas berbagai gangguan. Dengan kitab Allah, mereka hidupkan orang-orang yang hatinya sudah mati. Mereka perlihatkan cahaya Allah kepada orang yang buta mata hatinya. Betapa banyak korban iblis yang berhasil mereka selamatkan. Betapa banyak orang yang tersesat dan bingung berhasil mereka tunjuki jalan yang benar. Betapa bagus pengaruh mereka di tengah-tengah manusia dan betapa jelek balasan manusia terhadap mereka. Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna Alquran yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan serta pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Yaitu, orang-orang yang memasang tali bid’ah dan mengencangkan ikatan fitnah. Mereka memperdebatkan kitabullah, menyelisihi Alquran, dan sepakat untuk keluar dari aturan Alquran. Mereka berbicara atas nama Allah, tentang Allah, dan tentang kitabullah, tanpa dalil. Mereka membicarakan tentang hal yang rancu dan menipu manusia-manusia bodoh dengan kerancuan berpikir yang mereka sebarkan. Kami berlindung kepada Allah dari ujian karena orang-orang yang sesat. Amma ba’du ….
Keterangan:
Mukadimah di atas merupakan mukadimah yang disampaikan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya, Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah. Banyak ulama yang mengutip pengantar beliau untuk dijadikan pembukaan khotbah atau pun ceramah yang bertajuk “Kesesatan dan Jalan Menyimpang”.