Rabu, 13 April 2011

etika bisnis

Etika Bisnis Islam
Oleh:supardi Ak 7
Pendahuluan
“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! nggak
momo lagi”. Demikian sebuah pernyataan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh
tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda
Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut
biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama
”Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi
menampilkan produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara
sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disuguhkan oleh iklan obat
sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu.
Tayangan sinetron di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi rating
sebagian besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan
menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil
masyarakat kita. Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang
atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara
menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah
bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi
kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak orang yang menekuninya bahkan bangga
dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang
didominasi oleh kegiatan bisnis ini (Sony Keraf:2000).
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut
mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain faktor organisatoris
manajerial, ilmiah teknologis, dan politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan
sosial, bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial,
bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua
faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis
melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen (K. Bertens:
2000)
Etika bisnis
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau
justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan
khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi
etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan
fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini
secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk
mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia
bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan
manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan
bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang
dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat
tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan
keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari
atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau
moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat
mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke
arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan
secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah
laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus
hartman:1998)
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi
kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku
tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara
moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang
produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya
memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah
tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan
(expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.
Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan
pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan
sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara
konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan
dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika
bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?
Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang
kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata
kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek
bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.
Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,
integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan
mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan
(stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam
sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam
melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,
merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah
Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik &
kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta,
hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia.
Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan
moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan
hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai
landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi,
menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi
penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat
kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997)
Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari
kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai
didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk
melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam
tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam
bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi
dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan
sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para
pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada
setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan
berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang
berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan
atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)
Etika Bisnis Islami
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980
an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan
agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian
besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang
menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al
Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang
mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan
dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat
strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat
pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di
dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai
tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi
diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya,
dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak
mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis
yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran
(QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena
sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam
menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya
dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat
dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak
ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”
(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka
kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi
orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal
apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga
perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat” (Hadits).
Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus
komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang
diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu
melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak
halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau
semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe
tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,
suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba
yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS:
Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis
yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk
dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –
35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan
berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat
tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta
dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian
kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair
Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka
dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang
yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh
penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai
cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk
memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar.
Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan
harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka
kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat
menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan
percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran
ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda
”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang
dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang
dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan
oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang
artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan
di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun
produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya
dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk
mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan
pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam
sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak
dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus
dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan
rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan
derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara
menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
Etika Pemasaran
Dalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam
Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan
horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah
menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam etika marketing:
1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product
guarantee.
2. Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan
(petunjuk).
3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci
tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.
Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab
marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka
dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang
kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
�� Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.
�� Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman
dalam penyajian.
Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu
diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta
ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang
kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.
Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini
dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan
penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi
dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah
kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”.
(QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan,
data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan
fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh dibanding
penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali
memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang
akan dibelinya.
Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki.
Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan
thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat
kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus
memenuhi tiga unsur :
�� Materi yang halal
�� Proses pengolahan yang bersih (Higienis)
�� Penyajian yang Islami
Etika Marketing dapat dijabarkan dalam diagram berikut :
Sumber : Islamic Business Strategy for Entrepreneurship, Tim Multitama Communication, 2007
Perusahaan Menjual
Al-Qur’an Al-Hadits
Menjamin
Kriteria
Penggunaan
Konsumen Sehat, Cerdas, Muttaqin
Menjelaskan
Kegunaan
Produksi
Dalam proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya
menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya
mempromosikan barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik
sales promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau
mendapati seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang
janggal pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :
”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang
tersebut jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;
”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah
mendatangkan rezeki.” (Hadits).
Dengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik
minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan
produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang
serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.
Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang
harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak
barang dan lain-lain.
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah
profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor
syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil
syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan
kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).
Daftar Pustaka
Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia.
Fritzche David J, 1997, Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw
Hill Companies, Inc.
Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press.
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Tim Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship,
Zikrul Media Intelektual.
K. Bertens, 2000. Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.
Muhammad Dawabah Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha
Muslim, Zikrul Media Intelektual.
Stewart David, 1966, Business Ethic, McGraw Hill Companies, Inc.