Jumat, 09 September 2011

falsafah orang makassar nasli

FALSAFAH SIRIK NA PACCE

Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Falsafah Sirik

Berbagai pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya)

Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 telah merumuskan : Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat)

Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati)
Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”)

Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kupul kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)

Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.

Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi :
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudika, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan).
“Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan)

Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya)

Salah satu contoh orang Makassar yang merantau karena sirk yakni Karaeng Aji di Pahang. Dia merantau pada abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil menjadi Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bernama Tun Abdul Razak berhasil menjadi Perdana Menteri Malaysia)
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.

Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndajkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri)

Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditgakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, mnyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna bokona lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.

Istilah Pacce

Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya)

Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.

Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).

FALSAFAH “SIPAKATAU”

Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”) (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.

Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata)

Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

falsafah orang makassar nasli

FALSAFAH SIRIK NA PACCE

Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Falsafah Sirik

Berbagai pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya)

Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 telah merumuskan : Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat)

Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati)
Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”)

Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kupul kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)

Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.

Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi :
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudika, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan).
“Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan)

Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya)

Salah satu contoh orang Makassar yang merantau karena sirk yakni Karaeng Aji di Pahang. Dia merantau pada abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil menjadi Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bernama Tun Abdul Razak berhasil menjadi Perdana Menteri Malaysia)
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.

Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndajkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri)

Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditgakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, mnyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna bokona lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.

Istilah Pacce

Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya)

Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.

Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).

FALSAFAH “SIPAKATAU”

Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”) (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.

Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata)

Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

falsafah orang makassar

Ada Sebuah Kebiasaan yang dipegang oleh masyarakat Bugis-Makassar (org Sul-Sel) yang mungkin sudah menjadi adat kebiasaan para orang tua ketika melepas anaknya pergi merantau: (kyk saya donk hehehehehe)
dan orang tua saya pun mengatakan HAL ini kepada saya………..

Beliau Berkata:
Nak kalo dikampungnya ko orang kamu HARUS JAGA 3 Hal: (wah dlm hati Ceramah lagi….)
1. Jaga Bicaramu
2. Jaga BUTO nu
3. Jaga Dirimu (sebenarnya ada BADIKnya bapak tapi jangan meko bawa ki yg ada mo kau pake)
Pokoknya Ini semua 3 UJUNG kau Harus Jaga Baik-baik…kalo tidak bisa-bisa hancur ko di tempatmu nanti
saya menjawab hanya dengan tersenyum :)

Dalam Hati saya berfikir “Baru kali ini BIG BOSS bicara PORNOGRAFI sama Saya….
Apakah itu???? yang ke 2. jaga BUTO nu yg artinya KEMALUAN/Alat kelamin mu.

Saya awalnya mengira ini hanya nasehat biasa ternyata setelah saya baca di sebuah Artikel ini merupakan FALSAFAH 3 Ujung (Tallu Cappa) Bugis-Makassar, Yaitu:
1. Ujung LIDAH (Cappa Lila)
2. Ujung Kemaluan (Cappa Buto)
3. Ujung Badik (Cappa Badi’)

Kedengarannya memang sangat FULGAR dan SADIS tapi bila diteliti (kyk prof. Aja) ini sangat bagus….

Dahulu orang BUGIS-MAKASSAR dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah menggunakan tiga HAL ini:
1. Ujung Lidah : kita dalam menyelesaikan Masalah Harus dengan jalan Diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu
2. Ujung Kemaluan : Bila cara 1 gagal maka bisa dilakukan dengan mengadakan perkawinan antara kedua pihak yang bertikai agar diharapkan dengan adanya perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih.
3. Ujung Badik : dan bila kedua cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk mempertahankan HARGA DIRI dan menunjukkan KEBERANIAN.

Dan bukan hanya dalam penyelesaian PERKARA atau masalah saja di butuhkan Falsafah ini, tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian…
1. Ujung lidah: yang bisa diartikan sebagai kecerdasan..cerdas disini bukan Cerdas karna mendapatkan gelar S.3….S.4…S.5…Tapi kecerdasan dalam segala HAL…membedakan baik-buruk contohnya…
2. Ujung Kemaluan: yang bisa di artikan NEPOTISME (kyk KKN aja hahahahahaha) yah kalo bisa cari jodoh bangsawanlah hahahahahahahaha :D tapi jodoh sapa yang tau ya???? kt cm bisa usaha aja…..
3. Ujung Badik: Dalam pergaulan pasti ada yang namanya Cek-Cok permusuhan nah disini fungsi Ujung yang terakhir yaitu HARGA DIRI. Dalam adat Bugi-Makassar HARGA DIRI adalah HARGA MATI yang Harus dibayar meskipun dengan NYAWA…Bial tidak Salah hajar bleh hahahahahahahahaha :D

peneliti La Galigo, Prof Dr Nurhayati juga berpendapat : Menurutnya, orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan dapat diterima masyarakat setempat. Dikisahkan, tiga pangeran Kerajaan Gowa, Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo diutus Kerajaan Gowa belajar di Kerajaan Siam, Thailand.

Sayangnya, keberadaan mereka di Siam tidak tepat. Pasalnya, perang tengah berkecamuk antara tentara Prancis dengan prajurit Siam. Sejarah mencatat, salah satu pangeran, Daeng Mangalle ikut angkat senjata dalam perang itu.

Namun dalam perang ini, Daeng Mangalle gugur. Mengenai gugurnya Daeng Mangalle dan prajurit Bugis-Makassar, seorang pendeta Prancis membuat catatan yang menurutnya hampir-hampir tidak masuk di akal.

Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, dia baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Bugis-Makassar. Saat itu, seorang prajurit Bugis-Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Prancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet yang bertubi-tubi.

Dalam keadaan sekarat, seorang tentara Prancis menendang-nendang kepala prajurit itu. Tiba-tiba saja, menurut catatan pendeta itu, prajurit Bugis-Makassar ini bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir.

Pendeta ini mengatakan, tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian, kata Nurhayati.
Nasib yang lebih mujur dialami dua saudara Daeng Mangalle, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Mereka berhasil meloloskan diri dari perang dan menuju Kerajaan Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV. Malah, keduanya mendapat kehormatan dari Raja Louis XIV sebagai anak angkat.

orang batak yang enakut

Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”

Oleh : Robert Manurung

Keras, kasar, tanpa kompromi; begitulah stereotip orang Batak di mata etnis lain di Indonesia. Selain menimbulkan citra yang sangat negatif, stereotip tersebut juga mencuatkan kesan : orang Batak sangat pemberani, bahkan garang. Namun, penilaian itu ditertawakan oleh seorang sahabatku asal Sulawesi, puluhan tahun silam. Dia bilang : Orang Batak penakut! .

Dulu, aku menyangkal habis-habisan, dan bahkan marah. Aku sodorkan contoh demi contoh, fakta demi fakta, untuk membuktikan kebalikannya, bahwa sejatinya orang Batak pemberani. Tapi, tetap saja dia pada pendapatnya : orang Batak Penakut!

Darahku langsung mendidih. Lalu, dengan kemarahan yang meluap, aku berkata,”Jaga mulut kau kawan, Jangan sembarangan menghina suku aku. Apa matamu buta ? Apa tak bisa kau lihat begitu banyak orang Batak yang jadi jenderal, bahkan menjadi Panglima ABRI?”

Tanpa memperdulikan kemarahanku, dia menjawab sambil tersenyum penuh pengertian, yang membuat darah mudaku kian mendidih,”Itu membuktikan bahwa orang Batak pintar, bukan pemberani. Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”

Sahabatku itu berasal dari Sangir, sebuah daerah di Sulawesi Utara yang penduduknya terkenal pemberani, tukang berkelahi, dan nekat. Dia sendiri, harus kuakui, memang benar-benar seorang pemberani—lebih berani dibanding aku; biarpun ukuran tubuhnya kecil saja.

Entah sudah berapa kali dia sendirian mendatangi orang-orang yang dianggapnya telah menghinanya, lalu menantangnya berkelahi. Kepadaku, dia membanggakan kenekatannya itu sebagai bukti keberanian. Aku bilang padanya, itu sikap yang kurang beradab; ketidakmampuan berdialog dan menyelesaikan masalah secara elegan.

“Kalian orang Batak itu selalu merasa pemberani, sangat menjaga martabat dan harga diri. Bullshit. Kalian penakut! Kalian hanya berani sampai batas menggertak, tapi kalau yang digertak berani melawan kalian akan berdiplomasi atau mundur,”ujar kawanku itu sembari menandaskan,”Kalian takut mati, makanya tidak berani berperang. Kalian memang cerdik menutupinya dengan persuasi, membujuk; dan bahkan membunglon. Dan kalau semua cara itu gagal, kalian akan menyingkir atau lari.”

Aku tak bisa menyanggah lagi ketika dia membandingkan militansi dan kewiraan orang Batak/ orang Sumatera dan Menado/ orang Sulawesi saat bersama-sama melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an.

“Kolonel Simbolon dan semua pemberontak di Sumatera hanya bertahan selama tiga bulan. Cuma sebulan kontak senjata, karena yang dua bulan lagi sibuk diplomasi lantaran takut digebuk oleh Bung Karno. Sedangkan Kawilarang dan Muzakkar di Sulawesi masih terus berontak sampai tiga tahun kemudian.”

* * *

Ucapan sahabatku itu sangat membekas dalam benakku. Membuatku jadi obsesif. Benarkah orang Batak penakut ?

Sebelum pendapatnya itu menyusup seperti virus dan menggerogoti kebanggaanku sebagai orang Batak, gambaranku mengenai manusia Batak adalah serba maskulin dan macho : pemberani atau bravado, jugul (keras kepala), parhata sada (tanpa kompromi, harus seperti maunya), tahan menderita dalam jangka panjang demi meraih cita-cita, sanggup hidup soliter di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tak bersahabat, bersedia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, berani berinisiatif dan mengambil keputusan yang inkonvensional saat terjadi krisis, ngotot dalam menjaga martabat dan harga diri, selalu yakin bakal menang dalam setiap kompetisi (over confident, dan cenderung underestimate terhadap kompetitor), dan secara umum merasa superior (megalomania) terhadap etnis lain.

Berdasarkan pengalamanku selama periode singkat tinggal di Tapanuli; saat sekolah dasar; yang lalu kubandingkan dengan pengalamanku sejak SMP hingga dewasa di Jakarta; menurutku orang Batak lebih jantan, gentleman dan fair ketimbang etnis lain. Semasa SD di Tapanuli aku sangat sering berkelahi, tapi waktu SMP di Jakarta aku tak berani lagi berkelahi. Pasalnya, di Jakarta orang suka keroyokan dan main belakang, sebaliknya di Tapanuli orang menantang secara terbuka, berduel satu lawan satu, dan mematuhi aturan main.

Gambaran itulah yang aku sodorkan ketika pada suatu hari di tahun 90-an berdebat dengan Brigjen Soemarno Soedarsono, yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lemhanas. Belajar dari pengalaman menyakitkan ketika aku kalah telak dalam perdebatan dengan sahabatku seperti aku tuturkan di atas, aku langsung menyodorkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak pemberani.

Lihat, kataku kepada Soemarno, dari perang gerilya Sisingamaradja XII di hutan Tele dan Dairi sampai Operasi Woyla di Bangkok yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan, orang Batak tak pernah alpa membuktikan wataknya sebagai etnis pemberani. Bahkan, seniman yang berperangai lembut seperti Cornel Simanjuntak ikut bertempur dalam perjuangan kemerdekaan. Pada sebuah pertempuran di Jakarta, Cornel diterjang peluru pasukan Belanda, lalu menjalani perawatan berbulan-bulan, mati sebagai pahlawan, dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta.

Orang Batak tidak hanya berani bertempur secara fisik, tapi juga secara mental dan bahkan hingga batas kesadaran eksistensinya. Lihat, kataku lagi kepada Wakil Gubernur Lemhanas itu, meskipun Cornel sangat mencintai Tano Batak, namun tak jadi soal baginya dikubur di mana saja. Kerelaan ini bersumber dari ujaran yag menjadi pegangan bagi semua orang Batak yang akan merantau : Dang mardia imbar tano hamatean. ‘Tak ada bedanya dikubur di mana saja’

Orang Batak juga berani melompati rintangan di perbatasan kotak-kotak agama, dibuktikan oleh arsitek F Silaban yang dengan penuh dedikasi merancang bangun Masjid Istiqlal. Mana ada orang Indonesia dari suku lain yang telah mencapai pencerahan setinggi itu ? (Bersambung)

orang batak yang enakut

Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”

Oleh : Robert Manurung

Keras, kasar, tanpa kompromi; begitulah stereotip orang Batak di mata etnis lain di Indonesia. Selain menimbulkan citra yang sangat negatif, stereotip tersebut juga mencuatkan kesan : orang Batak sangat pemberani, bahkan garang. Namun, penilaian itu ditertawakan oleh seorang sahabatku asal Sulawesi, puluhan tahun silam. Dia bilang : Orang Batak penakut! .

Dulu, aku menyangkal habis-habisan, dan bahkan marah. Aku sodorkan contoh demi contoh, fakta demi fakta, untuk membuktikan kebalikannya, bahwa sejatinya orang Batak pemberani. Tapi, tetap saja dia pada pendapatnya : orang Batak Penakut!

Darahku langsung mendidih. Lalu, dengan kemarahan yang meluap, aku berkata,”Jaga mulut kau kawan, Jangan sembarangan menghina suku aku. Apa matamu buta ? Apa tak bisa kau lihat begitu banyak orang Batak yang jadi jenderal, bahkan menjadi Panglima ABRI?”

Tanpa memperdulikan kemarahanku, dia menjawab sambil tersenyum penuh pengertian, yang membuat darah mudaku kian mendidih,”Itu membuktikan bahwa orang Batak pintar, bukan pemberani. Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”

Sahabatku itu berasal dari Sangir, sebuah daerah di Sulawesi Utara yang penduduknya terkenal pemberani, tukang berkelahi, dan nekat. Dia sendiri, harus kuakui, memang benar-benar seorang pemberani—lebih berani dibanding aku; biarpun ukuran tubuhnya kecil saja.

Entah sudah berapa kali dia sendirian mendatangi orang-orang yang dianggapnya telah menghinanya, lalu menantangnya berkelahi. Kepadaku, dia membanggakan kenekatannya itu sebagai bukti keberanian. Aku bilang padanya, itu sikap yang kurang beradab; ketidakmampuan berdialog dan menyelesaikan masalah secara elegan.

“Kalian orang Batak itu selalu merasa pemberani, sangat menjaga martabat dan harga diri. Bullshit. Kalian penakut! Kalian hanya berani sampai batas menggertak, tapi kalau yang digertak berani melawan kalian akan berdiplomasi atau mundur,”ujar kawanku itu sembari menandaskan,”Kalian takut mati, makanya tidak berani berperang. Kalian memang cerdik menutupinya dengan persuasi, membujuk; dan bahkan membunglon. Dan kalau semua cara itu gagal, kalian akan menyingkir atau lari.”

Aku tak bisa menyanggah lagi ketika dia membandingkan militansi dan kewiraan orang Batak/ orang Sumatera dan Menado/ orang Sulawesi saat bersama-sama melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an.

“Kolonel Simbolon dan semua pemberontak di Sumatera hanya bertahan selama tiga bulan. Cuma sebulan kontak senjata, karena yang dua bulan lagi sibuk diplomasi lantaran takut digebuk oleh Bung Karno. Sedangkan Kawilarang dan Muzakkar di Sulawesi masih terus berontak sampai tiga tahun kemudian.”

* * *

Ucapan sahabatku itu sangat membekas dalam benakku. Membuatku jadi obsesif. Benarkah orang Batak penakut ?

Sebelum pendapatnya itu menyusup seperti virus dan menggerogoti kebanggaanku sebagai orang Batak, gambaranku mengenai manusia Batak adalah serba maskulin dan macho : pemberani atau bravado, jugul (keras kepala), parhata sada (tanpa kompromi, harus seperti maunya), tahan menderita dalam jangka panjang demi meraih cita-cita, sanggup hidup soliter di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tak bersahabat, bersedia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, berani berinisiatif dan mengambil keputusan yang inkonvensional saat terjadi krisis, ngotot dalam menjaga martabat dan harga diri, selalu yakin bakal menang dalam setiap kompetisi (over confident, dan cenderung underestimate terhadap kompetitor), dan secara umum merasa superior (megalomania) terhadap etnis lain.

Berdasarkan pengalamanku selama periode singkat tinggal di Tapanuli; saat sekolah dasar; yang lalu kubandingkan dengan pengalamanku sejak SMP hingga dewasa di Jakarta; menurutku orang Batak lebih jantan, gentleman dan fair ketimbang etnis lain. Semasa SD di Tapanuli aku sangat sering berkelahi, tapi waktu SMP di Jakarta aku tak berani lagi berkelahi. Pasalnya, di Jakarta orang suka keroyokan dan main belakang, sebaliknya di Tapanuli orang menantang secara terbuka, berduel satu lawan satu, dan mematuhi aturan main.

Gambaran itulah yang aku sodorkan ketika pada suatu hari di tahun 90-an berdebat dengan Brigjen Soemarno Soedarsono, yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lemhanas. Belajar dari pengalaman menyakitkan ketika aku kalah telak dalam perdebatan dengan sahabatku seperti aku tuturkan di atas, aku langsung menyodorkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak pemberani.

Lihat, kataku kepada Soemarno, dari perang gerilya Sisingamaradja XII di hutan Tele dan Dairi sampai Operasi Woyla di Bangkok yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan, orang Batak tak pernah alpa membuktikan wataknya sebagai etnis pemberani. Bahkan, seniman yang berperangai lembut seperti Cornel Simanjuntak ikut bertempur dalam perjuangan kemerdekaan. Pada sebuah pertempuran di Jakarta, Cornel diterjang peluru pasukan Belanda, lalu menjalani perawatan berbulan-bulan, mati sebagai pahlawan, dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta.

Orang Batak tidak hanya berani bertempur secara fisik, tapi juga secara mental dan bahkan hingga batas kesadaran eksistensinya. Lihat, kataku lagi kepada Wakil Gubernur Lemhanas itu, meskipun Cornel sangat mencintai Tano Batak, namun tak jadi soal baginya dikubur di mana saja. Kerelaan ini bersumber dari ujaran yag menjadi pegangan bagi semua orang Batak yang akan merantau : Dang mardia imbar tano hamatean. ‘Tak ada bedanya dikubur di mana saja’

Orang Batak juga berani melompati rintangan di perbatasan kotak-kotak agama, dibuktikan oleh arsitek F Silaban yang dengan penuh dedikasi merancang bangun Masjid Istiqlal. Mana ada orang Indonesia dari suku lain yang telah mencapai pencerahan setinggi itu ? (Bersambung)