Rabu, 10 Oktober 2012

Ubah Diri menjadi Karakter Baru

Trauma, obsesi, atau cobaan hidup, bisa membuat seseorang memutuskan untuk mengubah total dirinya. Ada yang berubah ke arah yang positif, namun ada pula yang berubah ke arah yang negatif.
Untuk melakukan perubahan itu –terlepas dari ke arah positif atau negatif-- dibutuhkan sebuah breakthrough atau pendobrakan.  “Memang, biasanya breaktrough terjadi di masa remaja atau dewasa muda, karena di periode itu kita sedang sensitif-sensitifnya terhadap kondisi diri sendiri.
Namun, sesungguhnya breakthrough itu bisa dilakukan kapan saja, di usia berapa pun, sejauh dorongan itu berasal dari dalam diri sendiri. Dengan kata lain, tidak ada kata terlambat untuk mengubah diri dan menggapai mimpi yang selama ini belum kesampaian,” ujar Psikolog Ratih Ibrahim.
Ratih mencontohkan dirinya sendiri. Ia mengaku baru melakukan breakthrough setelah berusia 40 tahun. Sebelumnya ia 'hanya' seorang ibu rumah tangga dengan latar belakang sarjana psikologi. “Tapi setelah anak-anak besar dan cukup mandiri, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti, setidaknya bagi diri saya sendiri. Saya ingin memanfaatkan ilmu saya untuk membantu orang lain sekaligus merintis karier saya sendiri,” paparnya.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah sekolah lagi, termasuk mengambil berbagai kursus dan pelatihan yang akan mendukung langkahnya untuk menjadi seorang psikolog profesional. Kini, di usia 45, Ratih adalah salah seorang psikolog terkenal di Indonesia, bahkan belum lama ini ia diangkat menjadi brand ambassador sebuah merek kosmetik terkemuka.
Anda bisa memilih sendiri akan berubah seperti apa: kupu-kupu, berlian, atau mutiara. Paparan berikut bisa menginspirasi Anda dalam menentukan pilihan:
Kupu-Kupu: Si ulat yang buruk rupa bermetamorfosis atau mengubah diri menjadi kupu-kupu yang cantik. Untuk itu, ia menyiapkan banyak hal selama dalam fase kepompong. Misalnya, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, melakukan operasi plastik di sana-sini, mengikuti kursus kepribadian, belajar bahasa asing, dan sebagainya. Baru setelah itu, pada waktu yang tepat ... ta-da...! dari balutan kepompong, muncullah seekor kupu-kupu yang cantik dan memukau.
Mutiara: Selama ini Anda merasa potensi Anda pas-pasan, namun Anda yakin bahwa sebetulnya Anda merasa bisa meraih lebih banyak daripada yang ada sekarang. Untuk itu, seperti halnya kerang mutiara yang berasal dari segumpal kotoran, Anda terus melapisi diri Anda dengan berbagai ilmu serta terus mengasah kepribadian, sehingga akhirnya Anda pun muncul sebagai butir mutiara yang indah dan berkilau.
Berlian: Ibarat sebutir intan mentah, kilau kepribadian Anda belum memancar ke luar. Namun, setelah terus menerus digosok dan diasah melalui berbagai penderitaan hidup, akhirnya muncullah sebutir berlian yang indah berkilauan, sekaligus batu yang sangat keras (stabil) dan tak bisa digores oleh benda apa pun (kecuali oleh sesama berlian). Itulah sebuah kematangan jiwa, kedewasaan, dan kebijaksanaan. Inilah kilau sekaligus keindahan tertinggi yang bisa dicapai oleh manus.

CONTOH PENYUSUNAN KARYA ILMIAH


HALAMAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK


BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Permasalahan
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Hipotesis Penelitian
BAB II. KAJIANPUSTAKA

BAB III. METODOLOGI
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
B. Kehadiran Peneliti
C. Lokasi Penelitian
D. Rencana Tindakan
E. Pengumpulan data
F. Indikator Kerja

BAB IV. PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN
BAB V. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN

contoh karyah ilmiah

PANDANGAN TENTANG RISET ILMIAH

Riset Ilmiah adalah suatu pemeriksaan atau pengujian yang dilakukan dengan teliti dan kritis dalam mencari kebenaran atau prinsip penyidikan guna memastikan suatu hal yang harus sesuai dengan fakta, aturan, obyektif, masuk akal dan memiliki asumsi-asumsi.



\
RISET ILMIAH ALQUR'AN

Salah satu peristiwa penting yang terjadi di bulan ramadhan adalah turunnya Al qur'an atau Nuzul Alqur'an. Ia mengandung makna agar kita selalu membaca, menyingkap dan melihat rahasia firman-firman Allah dan keagungannya di antara umat manusia.

Perintah Iqra sesungguhnya tidak terbatas hanya untuk orang-orang islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, tidak di batasi hanya untuk orang islam. Ayat-ayat Alqur'an turun secara berangsur-angsur sampai sempurna sekitar 23 tahun.

Bila dikumpulkan, ayat-ayat alqur'an itu berjumlah 30 juz, yang hingga kini masih beredar ditengah-tengah kita. Begitu wahyu Allah di abadikan dalam bentuk tulisan dan di bukukan, maka Al qur'an telah memiliki ranah sejarah yang bisa di akses, didekati, dibaca, dan di ajak dialog oleh pembacanya. dengan demikian, kehadiran dan posisi Al qur'an secara sosial detentukan oleh pembacanya sendiri.

Ketika kita memperingati peristiwa Nuzul Al qur'an, maka yang kita perlu renungkan, bagaimana kita mampu merealisasikan perintah Iqra (bacalah) didalam kehidupan kita. Dengan membaca, kita harapkan akan memperoleh ilmu pengetahuan.

Namun kini, ketika kita membicarakan ilmu pengetahuan di dalam konteks islam, maka terasa ada hal yang samar-samar dan kurang jelas. Sikap kita selama ini mendua dan kadangkala tidak konsisten antara pendekatan ilmiah, rasional, objektif, dan sikap meloncat kepada kesimpulan normatif, ideal dan sikap mensakralkan ilmu keislaman sebagai informasi yang telah baku dan pasti.

Pandangan bahwa ajaran Al qur'an sudah komplit cenderung mengabaikan eksplorasi keilmuan, dan kalau terjadi lalu dianggap imu sekuler. Karena sudah komplit untuk apa kita berfikir, yang penting bagi kita adalah mengikuti saja apa yang ada didalam Al qur'an. Kita tinggal menjalankan apa yang tertulis didalam Al qur'an, tak perlu lagi bagi kita untuk mengupas dan memperdalam kandungannya.

Al qur'an memang mengenalkan kita basic principle, selebihnya kita harus mencari sendiri. Banyak wilayah keilmuan yang memang diserahkan kepada kita, sebagaimana di contohkan pada uswah hasanah Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat Allah didalam Al qur'an hanya ayat lafdziyah yang sudah turun berakhir pada Nabi Muhammad SAW.

Kita seharusnya memperhatikan perintah Al qur'an untuk lebih memperhatikan ayat-ayat ijtimaiyah (sosial), ayat-ayat tarikhiyah (sejarah), ayat-ayat nafsiyah (jiwa). Kita harus banyak belajar dari peristiwa kemanusiaan. sayangnya kita selama ini belajar hanya teks yang struktural. Mungkin kita tidak serius mendengar Al qur'an itu sendiri.

Al qur'an sebagai teks memang sudah selesai. Al qur'an sebenarnya hendak mengatakan kepada umat pembacanya "Bukan teks-teks di atas kertas ini yang engkau baca terus, tetapi pergilah kemasyarakat, sejarah dan jiwa. Lakukanlah penelitian, bacalah, misalnya ayat-ayat sosial, firman tuhan yang tertulis dalam peristiwa sejarah kemanusiaan.

"Kini kita jarang mendengarkan usulan Al qur'an ini. Karenanya riset yang bernilai empirik tidak berjalan dengan baik. Akhirnya, dunia eskatologis yang mengajak kita meloncat kedunia lain yang lebih berkembang di dunia islam menggeser kesadaran misi kekhalifahan di muka bumi ini.

Jadi, Al qur'an menyuruh kita untuk menafsirkan ayat-ayatnya melalui riset ilmiah. Banyak istilah konseptual Al qur'an yang sulit di tangkap maksudnya tanpa dukungan ilmu pengetahuan modern. Misalnya tentang proses pertumbuhan janin dalam perut, statmennya baru menjadi jelas setelah berkembang ilmu kedokteran modern.

Semua ayat allah yang bertebaran di alam semesta tak akan terbaca kalau seorang tidak mampu menggunakan nalarnya untuk menganalisa dan merenungkan asal-usulnya dan kehebatan penciptanya. Maka berkembanglah dalam tradisi pemikiran islam apa yang di sebut ilmu mantiq (logika), ilmu kalan, filsafat, ilmu tafsir, dan ushul fiqih yang dengan penalaran sistematis ingin menangkap keberadaan dan kehendak tuhan malalui jejak jejak karya dan kalamnya.

Bagi para sufi, mengenal dan mendekati Allah tidak bisa dengan jalan penalaran, melainkan dengan mata hati, dengan rasa (dzawq). Akal manusia itu terbatas, tidak bisa memembus misteri alam gaib. Makannya Allah memberikan Qalbu, yang kedalamannya berlapis-lapis. Jika qalbu diasah dan dibersihkan dari berbagai dosa dan noda, lalu diisi dengan zikir tentang Allah, maka pengenalan manusia kepada Allah lebih jelas dan langsung.

Nah, suasana puasa Ramadhan yang hening dan khusuk ini menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk memperbanyak membaca, merenung, dan memahami wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun sempurna di dalam Al qur'an. Dengan demikian, kehadiran Al qur'an benar-benar mendatangkan manfaat yang sangat banyak bagi diri kita sendiri, masyarakat, dan bangsa kita.

Mengenal Konsep Mudharabah


Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.

Pengertian Al Mudharabah
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.
Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
  1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.
  2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
  3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
  4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
  5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al Qur’an dan Sunnah
  6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya
  7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”[10]
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.[11]
Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab: “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.[13]
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[14]
Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
  1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
  2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
  1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
  2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
  3. Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.[20]
Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
  1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’[21] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. [22]
  2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]
  3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
  4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
  1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
  2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.[26]
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.[28]
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
  1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]
  2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]
  3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
  1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.” [34]
  2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).” [36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.
  3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
  4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
  1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
  2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.[40]
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[41]
Syarat Dalam Mudharabah [42]
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
  • Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
  • Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
  • Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.” [44]
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya.” [45]
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.
Demikianlah sebagian pembahasn tentang Mudharabah semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua…
Footnotes:
  1. Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al Mumti”Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal Jamaal Abdul ‘Aal, cetakan pertama tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al Muyassar -bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prop. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA hal 122
  2. Al Mughni op.cit 7/133
  3. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122
  4. Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat Komunikasi Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku perbankan Syari’at hal 37.
  5. Al Mugnhi op.cit 7/133
  6. Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
  7. Majmu’ Fatawa 29/101
  8. Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.
  9. Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot note kitab Maratib Al Ijma hal 91-92.
  10. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Baerut. 5/294
  11. Majmu’ Fatawa 19/195-196
  12. Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 19/196
  13. Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291
  14. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  15. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
  16. Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal 187.
  17. Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab 15/148
  18. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
  19. Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  20. Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta hal. 173.
  21. Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/143
  22. Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’. Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/144
  23. Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145
  24. ibid 15/146-147
  25. lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
  26. Al Mughni op.cit 7/177
  27. fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177
  28. lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
  29. Takmilah Al Majmu’ op.cit 15/160
  30. ibid 15/159
  31. lihat Maratib Al Ijma’ op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti’ op.cit 4/259 dan takmilah Al Majmu’ op.cit 15/159-160
  32. untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu Ihsan dalam mabhas ini.
  33. Al Mughni op.cit 7/138
  34. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  35. Al Mughni op.cit 7/140.
  36. Ibid 7/165.
  37. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.
  38. Al Mughni op.cit 7/172
  39. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.
  40. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
  41. Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah tahun 1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
  42. Al Mughni op.cit 7/172
  43. Majmu’ Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.
  44. Ibid 15/191.

Metode dan Manfaat Menghafal Al-Qur’an


‘’Sebenarnya, (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat kami.”
(Al-Ankabut[29]: 49)
Mantapkan Tujuan
        Mengapa saya menghafal Al-Qur’an? Pertanyaan ini wajib Anda tujukan kepada Anda sendiri sebelum Anda memullai menghafal Al-Qur’an. Upayakan jawaban dari pertanyaan tersebut adalah., “Saya menghafal Al-Qur’an Karena cinta kepada Allah, berharap akan rida-Nya, dan agar beruntung mendapatkan kebahagiaan dunia dan akirat.”
        Jika itu tujuan anda menghafal Al-Qur’an, Anda telah menempuh separuh perjalanan menghafal Al-Qur’an. Upayakan untuk duduk dan merenung tentang faedah dan manfaat menghafal Al-Qur’an, dan bagaimana Al-Qur’an dapat mengubah kehidupan Anda sebagaimana ia telah mengubah kehidupan orang-orang yang telah menghafal sebelum Anda.
        Anda juga harus meyakini bahwa Allah akan memberikan kemudahan kepada Anda untuk menghafal Al-Qur’an. Allah SWT. Telah berjanji
        “Dan sungguh, telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?” (Al-Qamar {54}: 17)
Optimalkan Waktu
        Pekerjaan yang harus Anda lakukan hari ini, jangan Anda tunda ke esok hari. Usia itu sangat pendek. Tidak dapat diketahui kapan seorang itu akan meninggal dunia. Karena itu, mulai saat ini segeralah mengambil keputusan untuk menghafal Al-Qur’an. Jangan biarkan waktu dan usia Anda berlalu tanpa Anda gunakan membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Pada hari Kiamat, Allah akan mempertanyakan waktu yang anda gunakan. Ketika itu, Anda akan menyesali setiap waktu yang tidak Anda gunakan untuk mengingat Allah, atau tidak membaca Kitab-nya, atau tidak melakukan sesuatu untuk agama Islam.
Lepaskan Rasa Takut dan Gangguan Kejiwaan
        Sebagian peneliti menegaskan, setiap ayat Al-Qur’an memiliki kekuatan unik untuk menyembuhkan. Beberapa eksperimen membuktikan, orang yang hafal Al-Qur’an lebih jarang tertimpa penyakit, terutama penyakit kejiwaan, daripada orang yang tidak hafal Al-Qur’an. Karena itu, ketika Anda mulai menghafal Al-Qur’an, Anda merasa baru dilahirkan. Bersediakah Anda memulai proyek ini yang dapat mengubah kehidupan Anda?
Fase-Fase Menghafal Al-Qur’an dengan Mudah
1.    Mulai menghafal dari surah yang Anda sukai dan Anda yakini mudah untuk Anda hafal.
2.    Dengarkan Surah yang Anda hafal sebanyak sepuluh atau dua puluh kali.
3.    Buka Al-Qur’an untuk melihat surah yang Anda hafal. Anda pasti merasa familiar dan lebih mudah menghafal surah surah itu karena surah itu sudah terekam di dalam sel-sel otak Anda setelah Anda sering mendengar surah itu.
4.    Surah yang Anda hafalkan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok.
5.    Mulai dengan membaca kelompok ayat pertama, diulang-ulang hingga hafal.
6.    Kemudian baca berulang-ulang kelompok ayat kedua hingga hafal. Setelah itu gabungkan kelompok ayat pertama dan kelompok ayat kedua dalam bacaan Anda hingga benar-benar Anda hafal.
Tundukkan Kesulitan
        Kesulitan terbesar dalam menghafal Al-Qur’an adalah karena Al-Qur’an memiliki gaya bahasa unik yang berbeda sama sekali dengan bahasa manusia. Karena itu, otak mendapatkan kesulitan untuk serasi dengan gaya bahasa yang baru itu. Namun demikian, begitu Anda mulai mendengarkan Al-Qur’an dan merenungkan setiap ayat yang Anda dengarkan, disertai upaya memahami arti dan maksud ayat-ayat tersebut, kemudian Anda mendengarkannya berulang-ulang, Anda akan mendapatkan otak Anda berinteraksi dengan Al-Qur’an dan menjadi mudah untuk menghafal Al-Qur’an.
Mengafal Secara Konsisten
        Rasulullah SAW. Bersabda, “Setiap perbuatan pasti disertai niat…” Sementara perbuatan yang paling disukai oleh Allah adalah perbuatan yang dilakukan secara konsisten atau kontinyu meskipun hanya sedikit. Upayakan setiap hari Anda menghafal beberapa ayat Al-Qur’an, dan jangan sampai Anda tidak menghafal meskipun hanya satu hari karena alasan apa pun. Niat Anda menghafal Al-Qur’an harus semata-mata untuk mengharap rida Allah, untuk mendekatkan diri dengan-Nya, dan untuk mengenal Allah. Orang yang ingin mengetahui siapa Allah yang sebenarnya, hendaklah membaca Kitab Allah SWT., Al-Qur’an.
Memprogram Otak untuk Menghafal Al-Qur’an
        Para ilmuan menegaskan, setiap suara yang didengar seseorang secara berulang-ulang dapat mengubah system kerja sel-sel otak. Mendengarkan Al-Qur’an berarti Anda mempersiapkan program sel-sel otak Anda agar sesuai dengan Al-Qur’an bersama seluruh ajaran dan hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an. Agar perubahan system kerja sel-sel otak menghasilkan perubahan yang positif, kita harus mendengar Al-Qur’an dengan benar-benar khusuk. Hal itu sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya,
        “dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat ” (Al-A’araf {7}: 204)
Mendengarkan Lantunan Al-Qur’an Ketika Tidur
        Para ilmuan menegaskan, pada saat seseorang tidur, otak tetap energik: memperbaiki data-data yang dikumpulkan selama sehari, lalu menyusun dan memasang data-data itu di lokasi-lokasi tertentu. Karena itu, setiap kita dapat mengambil faedah dari tidurnya dan mendengarkan lantunan Al-Qur’an. Hal itu dapat membantu kita untuk memantapkan hafalan ayat-ayat Al-Qur’an. Allah SWT. Berfirman,
        “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (ar-Rum {30}: 23)
Puasa Permudah Menghafal Al-Qur’an
        Ketika Anda berpuasa, upayakan untuk menyibukkan waktu Anda menghafal surah Al-Qur’an yang sebelumnya Anda dengarkan berulang-ulang. Puasa dapat meningkatkan kekuatan responsive Anda sehingga Anda dapat menghafal Al-Qur’an dengan mudah. Hal itu karena kekuatan cukup pada diri Anda dapat menjamin keinginan yang cukup pada diri Anda. Hal ini menunjukkan bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu yang paling tepat untuk memulai menghafal Al-Qur’an.
Al-Qur’an Sebagai Obat Hati
        Ternyata, Al-Qur’an merupakan obat bagi penyakit-penyakit fisik dan kejiwaan, terutama penyakit hati. Al-Qur’an mengandung obat untuk setiap penyakit. Ketika anda tertimpa rasa cemas dan gundah, Al-Qur’an dapat menghilangkan kegundahan Anda. Ketika Anda tertimpa penyakit, Al-Qur’andapat menyembuhkan Anda. Atas izin Allah. Membaca surah Al-Falaq, surah An-Nas, dan ayat kursi dapat melindungi Anda dari segala macam gangguan.
        Jika membaca surah Al-Fatihah dapat menyembuhkan orang yang sakit, dengan izin Allah, tentu orang yang hafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an akan lebih luarbiasa dalam menyembuhkan penyakit. Allah SWT berfirman,
        “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. ” (Ar-Rum {13}: 28)
Satu Huruf Al-Qur’an Mengandung Sepuluh Pahala
        Rasulullah SAW. Menegaskan, barang siapa yang membaca satu huruf Al-Qur’an, ia mendapat ganjaran satu pahala, dan satu pahala dilipatkan hingga sepuluh kali. Mari kita renungkan bersama, berapa pahala yang akan Anda dapatkan ketika Anda membaca Al-Qur’an secara keseluruhan, atau sebanyak 30 juzz, dan anda membaca berulang-ulang setiap bulan, misalnya. Sementara itu, Al-Qur’an terdiri atas 322.604 huruf. Jika huruf tersebut dikalikan sepuluh pahala atau kebaikan, Anda akan mendapatkan 32.260.040 kebaikan. Setiap kebaikan lebih baik daripada dunia.
Janin Terpengaruh oleh Bacaan Al-Qur’an
        Para ilmuan menegaskan, janin dalam kandungan ibunya setelah 42 malam mulai berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh eksternal, dan ia mulai terpengaruh oleh suara-suara yang ia dengar, sedang ia berada dalam perut ibunya. Oleh karena itu, seorang ibu harus memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada janin yang berada dalam kandungannya. Apalagi setelah melahirkan, sang ibu harus tetap memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada anaknya. Dengan begitu, sel-sel otak dan hati anak itu akan terpengaruh oleh ayat-ayat Al-Qur’an, yang merupakan firman Allah. Jika anda memperlakukan janin Anda seperti itu, berarti Anda telah memperiapkan anak Anda untuk menghafal Al-Qur’an sebelum ia dilahirkan ke dunia.
Al-Qur’an Sebagai Budi Pekerti
        Aisyah pernah ditanya tentang budi pekerti Rasulullah SAW. Aisyah menjelaskan, “Budi pekerti Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.” Jika Anda menginginkan budi pekerti Anda sama dengan budi pekerti Rasulullah SAW., hafalkanlah Al-Qur’an, lalu hayatilah ayat yang And abaca dan Anda dengarkan, sebagai bentuk aplikasi terhadap firman Allah SWT.,
        “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamkanlah, agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf {7}: 204)
Hafal Al-Qur’an Sebagai Pelipur Lara
        Ketika Anda menghafal Al-Qur’an, lalu Anda membacanya dengan berulang-ulang, Anda pasti mendapatkan ayat-ayat tertentu yang sesuai untuk  untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu pula, seperti ayat-ayat untuk menyembuhkan lara, menghilangkan rasa sedih, mengobati guncangan batin, memudahkan rezeki, dan ayat-ayat untuk cepat hamil dan mudah dalam melahirkan. Jika Anda hafal Al-Qur’an , Anda dapat membawa ayat-ayat itu di dalam dada Anda, dan Anda dapat membacanya setiap kali Anda membutuhkannya. Hafal Al-Qur’an berarti Anda memiliki media-media penyembuhan. Banyak eksperimen membuktikan, orang yang hafal Al-Qur’an tidak pernah menderita lara, gelisah dan sedih.
Mengulang Hafalan Al-Qur’an
        Jangan lupa untuk senantiasa mendengarkan surah tertentu atau beberapa halaman Al-Qur’an, lalu mendengarkannya kembali berulang-ulang hingga Anda menghafalnya. Jika Anda sudah menghafalnya, bacalah surah itu didalam Sholat. Pada malam hari, berwudhulah lalu laksanakanlah dua rakaat salat tahajud. Dalam shalat itu, bacalah ayat yang Anda hafalkan pada siang harinya. Anda akan merasakan kenikmatan luar biasa dan mersakan manisnya iman. Ulangi sekali lagi hafalan Anda sesaat setelah bangun tidur. Cara seperti itu dapat melekatkan hafalan Anda di akal bagian dalam Anda sehingga tidak akan ada satu pun ayat yang Anda lupakan. Selain itu, sebelum Anda tidur, renungkanlah ayat-ayat yang Anda baca. Hal itu dapat membuka hati dan akal Anda.
Hafal Al-Qur’an Lahirkan Kebahagiaan
        Menghafal Al-Qur’an dapat membuat seseorang semakin sabar dan tangguh dalam menghadapi segala macam kesulitan hidup, juga akan memperoleh kebahagiaan yang tak terhingga. Ketika Anda hafal Al-Qur’an, Anda dapat mengubah cara pandang Anda dalam segala hal yang berada di sekeliling Anda. Selain itu, perilaku Anda akan sama dengan ajaran Al-Qur’an yang Anda hafal. Hasil penelitian menunjukkan, orang-orang yang hafal Al-Qur’an lebih bahagia dan dijauhkan dari kesulitan daripada orang-orang yang tidak hafal Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an dengan Tartil
        Di antara factor yang dapat membantu Anda dapat membaca Al-Qur’an dalam waktu yang cukup lama, tanpa dihatui rasa bosan adalah membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan dengan tartil. Allah SWT. Berirman,
        “… dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan).”(Al-Muzzammil{73}:4)
        Membaca Al-Qur’an dengan menggunakan suara bagus dan agak nyaring, dan dengan bacaan tartil, dapat membuat Anda merasakan manisnya bacaan dan hafalan Al-Qur’an. Kuasailah ilmu tajwid dengan baik. Konsentrasilah terhadap setiap kalimat yang And abaca dan resapilah makna setiap ayat yang Anda baca.
Memahami Setiap Kata dalam Al-Qur’an
        Sering-seringlah untuk berada dalam satu majelis atau bertukar pikiran dengan orang-orang yang saleh, orang-orang yang berilmu, orang-orang hafal Al-Qur’an, dan orang-orang yang memiliki perhatian dan bergelut dalam tafsir Al-Qur’an. Ketika Anda mendapatkan kata atau kalimat yang sulit atau tidak Anda pahami, tanyakanlah tentang tafsir kata atau kalimat tersebut kepada orang yang memahaminya. Upayakan untuk menguasai banyak tentang hukum-hukum tajwid. Menguasai keahlian tersebut sama dengan sudah menguasai 50% hafalan Al-Qur’an. Bacalah semua artikel atau gagasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Tanamkan Motivasi
        Manfaatkan setiap kesempatan yang Anda lalui, pada siang atau malam hari. Berikan motivasi ke dalam otak Anda: menghafal Al-Qur’an merupakan pekerjaan terpenting dalm hidupku. Hafal Al-Qur’an dapat mengubah hidupku, aku dapat dekat dengan Allah, aku akan seperti Rasulullah SAW. Yang Al-Quran merupakan kehidupan beliau.
        Motivasi seperti itu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam memudahkan proses menghafal.
Al-Quran Sebagai Teman Terbaik
        Pilihlah (mushaf) Al-Quran sebagai sahabat dalam sebagian besar waktu Anda dan konsistenlah dalam menghafal Al-Quran. Dengan begitu, akan tumbuh hubungan khusus antara Anda dan Al-Quran. Dengan begitu, akan tumbuh hubungan khusus antara Anda dan Al-Quran! Cara ini dapat membuat Anda mencintai Al-Quran dan membuat Anda dapat menikmati hafalan Al-Quran, di samping Al-Quran menjadi penjaga hafalan Anda. Langkah ini dapat dimulai dengan mencari seorang teman yang dapat diajak menghafal Al-Quran bersama dengan Anda. Perbincangan Anda dengan teman Anda itu sebisa mungkin hanya seputar Al-Quran dan berizikir kepada Allah.
Renungkan Mukjizat Ilmiah Al-Quran Kuatkan Hafalan
        Al-Quran banyak berbicara tentang mukjizat-mukjizat ilmiah yang berkaitan dengan semesta dan kedokteran. Banyak membaca tentang mukjizat tersebut semakin menambah keinginan seorang mukmin untuk menghafal Al-Quran, di samping membuat seorang mukmin semakin bergantung dan cinta kepada Kitab Tuhannya, Al-Quran. Selain itu, mengetahui banyak tentang mukjizat ilmiah dalam Al-Quran membantu seorang mukmin untuk senantiasa membaca, merenungkan, dan menghafal Al-Quran. Dan kita jangan lupa, merenung atau berpikir merupakan salah satu ibadah yang menempati posisi tertinggi ibadah.
Terlambat Lebih Baik daripada Tidak Sama Sekali
        Misi terpenting yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Adalah Al-Quran! Karena itu, pekerjaan hari ini, jangan Anda tunda hingga hari esok. Jika kemarin Anda belum berhasil menghafal Al-Quran, sekarang juga ambillah keputusan untuk menghafal Al-Quran dan bertawakallah kepada Allah SWT. Yang berfirman,
        “… apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (Ali Imran{3}: 159)
        Perlu Anda yakini, Allah akan membantu Anda untuk menghafal Kitab-Nya.
        Tidakkah Anda menyukai Al-Quran sebagai penyembuh dan cahaya Anda di dunia dan akhirat?
        Kalau begitu, jadikanlah Al-Quran sebagai perhatian utama Anda, lalu hayatilah firman Allah berikut ini.
        “Wahai manusia! Sungguh, telah dating kepadamu pelajaran (Al-Quran) dari Tuhanmu, penyembah bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah(Muhammad), ‘Dengan karunia Allah and rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (Yunus {10}:57-58)