Senin, 18 April 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembagian dividen untuk memaksimumkan pemegang saham atau harga saham dan menunjukan likuiditas perusahaan. Dari sisi investor dividen merupakan salah satu motivator untuk menanamkan dana dipasar modal. Investor lebih memilih dividen yang berupa kas dibandingkan dengan capital gain. Perilaku ini diakui oleh Gordon-Litner sebagai “The bird in the hand theory” bahwa satu burung di tangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Selain itu investor juga dapat mengevaluasi kinerja perusahaan dengan menilai besarnya dividen yang dibagikan. Dari sisi emiten kebijakan dividen sangat penting bagi mereka, apakah sebagai keuntungan perusahaan akan lebih banyak digunakan untuk membayar dividen dibanding retain earning atau sebaliknya. Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Penelitian ini menggunakan laba akuntansi sebagai pengukur kinerja akuntansi perusahaan. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung¬guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba (Muqodim, 2005:114). Laba akuntansi adalah laba dari kaca mata perekayasa akuntansi atau ke-satuan usaha karena keperluan untuk menyajikan informasi secara objektif dan terandalkan. Laba akuntansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba yang didapat dari selisih hasil penjualan dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan (laba bersih). Selain menggunakan nilai laba akuntansi dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan, seringkali perusahaan juga mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini; beban penyusutan dan amortisasi. Depresiasi dan amortisasi merupakan biaya non kas, artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan, penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Suatu aktiva dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan. Penyusutan aktiva dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Efendri (1993) dalam Murtanto dan Febby (2004) tesisnya meneliti tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Pada umumnya laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas yang dibagikan dari laba tunai. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Mereka menganalisis perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 2000 dan 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Murtanto dan Febby (2004) dengan judul “Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas Pada Industri Barang Konsumsi Di Indonesia”. 1.2 Paparan Masalah Dari latar belakang masalah seperti telah diuraikan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas? 2. Apakah terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas? 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Laba Akuntansi, yaitu laba yang didapat dari penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan. Laba akuntansi dalam penelitian ini menggunakan laba bersih (net earnings) sebagai variabel laba akuntansi. Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan bagian laba yang akan ditahan di dalam perusahaan dan yang akan dibagikan sebagai dividen. 2. Laba tunai, yaitu laba yang didapat dari laba akuntansi ditambah dengan beban penyusutan dan amortisasi. 3. Nilai dividen kas pada penelitian ini didapat dari laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Apabila penulis meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. Hal ini dikarenakan bahwa penelitian ini menganalisis adakah hubungan besarnya laba akuntansi dan laba tunai mempengaruhi dividen kas yang dibagikan perusahaan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan paparan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas perusahaan yang telah go public di BEJ untuk periode tahun 2002, 2003, 2004. Sedangkan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada : 1. Investor maupun calon investor, sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk membeli, menjual atau menahan saham bedasarkan harapan atas dividen kas yang dibagikan menggunakan informasi laba akuntansi dan laba tunai yang dilaporkan perusahaan. 2. Emiten maupun calon emiten, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dividen agar memaksimumkan nilai perusahaan. 3. Akademisi, untuk menambah wawasan tentang prilaku pasar modal khususnya mengenai kebijakan dividen. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Laporan Keuangan Informasi akuntansi keuangan menunjukkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan yang digunakan oleh para pemakainya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pengertian laporan keuangan menurut PSAK No1 (2004) merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap dari laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan serta materi penjelasan yang merupakan bagian intergral dalam laporan keuangan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004: 100). Laporan keuangan yang sebenarnya merupakan produk akhir dari proses atau kegiatan akuntansi dalam satu kesatuan. Proses akuntansi dimulai dari pengumpulan bukti-bukti transaksi yang terjadi sampai pada penyusunan laporan keuangan. Proses akuntansi tersebut harus dilaksanakan menurut cara tertentu yang lazim dan berterima umum serta sesuai dengan standar akuntansi keuangan. 2.2 Tujuan Laporan Keuangan Menurut PSAK (2004) tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi serta menunjukkan kinerja yang telah dilakukan manajemen (stewardship), atau pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan meliputi: 1) Aktiva 2) Kewajiban 3) Ekuitas 4) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan 5) Arus kas Informasi tersebut di atas beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan, khususnya dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas. 2.3 Manfaat Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk mendapatkan informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang dicapai oleh perusahaan. Data keuangan tersebut akan lebih berarti jika diperbandingkan dan dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh data yang dapat mendukung keputusan yang diambil. Menurut Statement of Financial Accounting Concept No. 1, tujuan dan manfaat laporan keuangan adalah: 1) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor dan pengguna lainnya yang potensial dalam membuat keputusan lain yang sejenis secara rasional. 2) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor, dan pengguna lain yang potensial dalam memperkirakan jumlah waktu dan ketidakpastian penerimaan kas di masa yang akan datang yang berasal dari pembagian deviden ataupun pembayaran bunga dan pendapatan dari penjualan. 3) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang sumber daya ekonomi perusahaan. Klaim atas sumber daya kepada perusahaan atau pemilik modal. 4) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang prestasi perusahaan selama satu periode. Investor dan kreditor sering menggunakan informasi masa lalu untuk membantu menaksir prospek perusahaan. Menurut PSAK (2004) pihak-pihak yang memanfaatkan laporan keuangan adalah (IAI,2004) : 1) Investor. Penanam modal berisiko dan penasehat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 2) Karyawan. Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. 3) Pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. 4) Pemasok dan kreditor usaha lainnya. Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. 5) Pelanggan. Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. 6) Pemerintah. Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaanya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena ini berkepentingan dengan aktivitas perusahaan, mereka menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya. 7) Masyarakat. Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya. 2.4 Studi Kandungan Informasi Atas Laba Laporan keuangan merupakan bahasa bisnis sebagai alat komunikasi oleh pihak internal yaitu manajemen dengan pihak eksternal seperti kreditor, investor dan pemerintah. Seluruh bagian laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas atau perubahan laba ditahan, laporan arus kas dan catatan laporan keuangan perusahaan merupakan bagian penting dari laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan tidak dirancang untuk mengukur nilai suatu perusahaan secara langsung tetapi informasi yang disediakan dimaksudkan untuk mengestimasi nilai perusahaan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Laporan keuangan juga merupakan produk dari akuntansi yang menyajikan data-data kuantitatif keuangan atas semua transaksi-transaksi yang telah dilaksanakan oleh suatu perusahaan untuk suatu peride tertentu. Laporan keuangan dibuat untuk mempertanggungjawabkan atas aktifitas perusahaan terhadap pemilik dan juga membebankan informasi mengenai posisi perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004). Laporan keuangan ini disusun oleh manajemen, sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan juga menunjukkan kinerja manajemen dan merupakan sumber dalam mengevaluasi performance kinerja manajemen. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja tersebut adalah laba. Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahan yang bertujuan selain untuk menilai kinerja manajemen, juga untuk membantu mengestimasi kemempuan laba yang representatif dalam jangka panjang, meramalkan laba, menaksir resiko dalam berinvestasi atau kredit, memprediksi arus kas masa depan serta memiliki pengaruh besar bagi penggunanya dalam pengambilan suatu keputusan. Sebagaimana disebutkan dalam Statement of Finansial Accounting Consept (SFAC) nomor 1 bahwa informasi laba pada umumnya merupakan perhatian utama dalam menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen dan informasi laba membantu pemilik atau pihak lain melakukan penaksiran atas earning power perusahaan dimasa yang akan datang (Januar dan Sri, 2002). Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Consepts (SFAC) nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (FASB, 1980). Menurut PSAK Nomor 1 informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya (IAI, 2004). Bagi pemilik saham dan atau investor, laba berarti peningkatan nilai ekonomis (wealth) yang akan diterima, melalui pembagian dividen. 2.4.1 Konsep Laba Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang merniliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi, dan pengambilan keputusan, dan unsur prediksi (Belkaoui,1993) Dalam SFAC no. 1 menyebutkan bahwa informasi laba merupakan komponen laporan keuangan yang disediakan dengan tujuan membantu menyediakan informasi untuk menilai kinerja manajemen, mengestimasi kemampuan laba yang representative dalam jangka panjang dan menaksir resiko dalam investasi atau kredit. Pengertian laba secara konvensional adalah nilai maksimum yang dapat dibagi atau di konsumsi selama satu periode akuntansi dimana keadaan pada akhir periode masih sama seperti pada awal periode. Laba dipandang sebagai suatu peralatan prediktif yang membantu dalam peramalan laba mendatang dan peristiwa ekonomi yang akan datang. Laba terdiri dari hasil operasional, atau luar biasa, dan hasil-hasil non-operasional, atau keuntungan dan kerugian luar biasa, dimana jumlah keseluruhannya sama dengan laba bersih. Laba biasa dianggap bersifat masa kini (current) dan berulang, sedangkan keuntungan dan kerugian luar biasa tidak demikian (Rahmat, 2006 : 9). Ditinjau dari ruang lingkupnya terdapat 3 konsep laba sebagaimana dikemukakan FASB dalam SFAC nomor 5 (1984) yaitu: earning, net income dan comprehensive income. Earning merupakan laba selama satu periode akuntansi tanpa ada pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi. Perbedaan income dengan net income terletak pada perhitungan pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (Muqodim, 2005:113). Menurut Suwardjono (2005:455) makna income dalam konteks perpajakan dapat berbeda atau bahkan berbeda dengan makna income dalam akuntansi atau pelaporan keuangan. Dalam perpa¬jakan, income dimaknai sebagai jumlah kotor sehingga diterjemahkan sebagai penghasilan sebagaimana digunakan dalam Standar Akuntansi Keuangan. Dalam buku-buku teks akuntansi (khususnya teori akuntansi, istilah income pada umumnya dimaknai sebagai jumlah bersih sehingga istilah laba lebih meng¬gambarkan apa yang dimaksud income dalam buku-buku tersebut. Muqodim (2005:111) menyatakan bahwa banyak literatur akuntansi sebagian penulis mengutip pendapat tentang tujuan penghitungan laba dan pengertian laba sebagaimana dikemukakan oleh ekonom John Hiks (1949) yang dapat dikemukakan bahwa laba pribadi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi selama periode (misalnya satu minggu atau satu bulan) dengan harapan keadaannya pada akhir periode tetap sama (as well off) seperti keadaan awal periode. Setelah ekonom John Hick (1949) mengemukakan konsep laba, banyak literatur yang mengadaptasikan pengertian laba yang bersumber dari John Hick. Menurut FASB dalam SFAC nomor 6 menyatakan bahwa Comprehensive Income atau laba komprehensip adalah perubahan modal (aktiva bersih) perusahaan selama satu periode, dari transaksi, peristiwa lain dan keadaan dari sumber selain pemilik. Sedangkan Vemon Kam mengemukakan bahwa Income atau laba merupakan perubahan modal suatu kesatuan usaha di antara dua titik waktu tidak termasuk perubahan-perubahan akibat investasi oleh pemilik dan distribusi kepada pemilik, dimana modal dinyatakan dengan ukuran nilai dan didasarkan pada skala tertentu. Dalam KDPPLK-SAK income diterjemahkan menjadi penghasilan yang didefinisikan sebagai berikut: Penghasilan (income) adalah kenaikan menfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Laba dalam teori akuntansi biasanya lebih menunjuk pada konsep yang oleh FASB disebut dengan laba komprehensif. Laba komprehensif dimaknai sebagai kenaikan aset bersih selain yang berasal dari transaksi dengan pemilik. Sedangkan earning adalah laba yang diakumulasikan selama beberapa periode atau kenaikan ekuitas atau aktiva neto suatu perusahaan yang disebabkan karena aktivitas operasi maupun aktivitas di luar usaha selama periode tertentu. Earning merupakan konsep yang paling sempit sedang comprehensive income merupakan konsep paling luas (Muqodim, 2005:110). 2.4.2 Kualitas Informasi Laba M. Yusuf, dkk (2002) menyebutkan bahwa informasi laba harus dilihat dalam kaitannya dengan persepsi pengambilan keputusan. Karena kualitas informasi laba ditentukan oleh kemampuannya memotivasi tindakan individu dan membantu pengambilan keputusan yang efektif. Hal ini didukung oleh FASB yang menerbitkan SFAC No. 1 yang menganggap bahwa laba akuntansi merupakan pengukuran yang baik atas prestasi perusahaan dan oleh karena itu laba akuntansi hendaknya dapat digunakan dalam prediksi arus kas dan laba di masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang tersebut, Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory edisi kelima (1992:338) menetapkan tiga konsep dalam usaha mendefinisikan dan mengukur laba menuju tingkatan bahasa. Adapun konsep-konsep tersebut meliputi: a. Konsep Laba pada Tingkat Sintaksis (Struktural) Pada tingkat sintaksis konsep income dihubungkan dengan konvensi (kebiasaan) dan aturan logis serta konsisten dengan mendasarkan pada premis dan konsep yang telah berkembang dari praktik akuntansi yang ada. Terdapat dua pendekatan pengukuran laba (income measurement) pada tingkat sintaksis, yaitu: Pendekatan Transaksi dan Pendekatan Aktiva. b. Konsep Laba pada Tingkat Sematik (Interpretatif) Pada konsep ini income ditelaah hubungannya dengan realita ekonomi. Dalam usahanya memberikan makna interpretatif dari konsep laba akuntansi (accounting income), para akuntan seringkali merujuk pada dua konsep ekonomi. Kedua konsep ekonomi tersebut adalah Konsep Pemeliharaan Modal dan Laba sebagai Alat Ukur Efisiensi. c. Konsep Laba pada Tingkat Pragmatis (Perilaku) Pada tinmgkat pragmatis (perilaku) konsep income dikaitkan dengan pengguna laporan keuangan terhadap informasi yang tersirat dari laba perusahaan. Beberapa reaksi usaha users dapat ditunjukkan dengan proses pengambilan keputusan dari investor dan kreditor, reaksi harga surat terhadap pelaporan income atau reaksi umpan balik (feedback) dari manajemen dan akuntan terhadap income yang dilaporkan. Konsep income ini paling tidak harus memberikan implikasi income sebagai bahan pengambilan keputusan manajemen. Secara ringkas, laba bersih (net income) disajikan untuk masing-masing kelompok penerima dengan menggunakan konsep-konsep sebagai berikut : Tabel 2.1 Konsep Laba, Perhitungan dan Penerima Laba Konsep Laba Perhitungan Laba Pihak Penerima Laba Nilai Tambah (Value Added) Harga jual produksi dari jasa dikurangi harga pokok barang dan jasa yang dijual. Pegawai, pemilik, kreditor dan pemerintah Laba Bersih Perusahaan (Enterprise Net Income) Kelebihan hasil (revenue) dari biaya, seluruh pendapatan (gain) dan rugi. Biaya tidak termasuk bunga, pajak dan bagi hasil. Pemegang saham, pemegang obligasi dan pemerintah. Laba Bersih bagi investor (Net Income to Investor) Sama seperti enterprise net income tetapi setelah dikurangi pajak penghasilan. Pemegang saham, pemegang obligai dan kreditor jangka panjang. Laba bersih bagi pemegang saham residual (Residual Equity Holders) Laba bersih kepada pemegang saham dikurangi dividen saham preferen Pemegang saham biasa (sekarang dan yang potensial) terkecuali prioritas pembayaran tidak terpenuhi. 2.4.3 Laba Akuntansi Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis. Dalam metode historical cost (biaya historis) laba diukur berdasarkan selisih aktiva bersih awal dan akhir periode yang masing-masing diukur dengan biaya historis, sehingga hasilnya akan sama dengan laba yang dihitung sebagai selisih pendapatan dan biaya. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya (Muqodim, 2005:111). Suwardjono (2005:455) mendefinisian laba sebagai penda-patan dikurangi biaya merupakan pendefinisian secara struktural atau sintaktik karena laba tidak didefinisi secara terpisah dari pengertian pendapatan dan biaya. Pengertian laba yang dianut oleh struktur akun¬tansi sekarang ini adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual. SFAC No. 1 dalam Ataina (1999) menyatakan bahwa laporan laba rugi yang disusun berdasar basis akrual lebih akurat untuk menaksir prospek aliran kas dari pada laporan laba rugi yang disusun berdasar basis kas. Pengertian semacam ini akan memudahkan pengukuran dan pelaporan laba secara objektif. Perekayasa akuntansi mengharapkan bahwa laba semacam itu bermanfaat bagi para pemakai statemen keuangan khususnya investor dan kreditor. Pendefinisian laba seperti ini jelas akan lebih bermakna se¬bagai pengukur kembalian atas investasi (return on investment) daripada sekadar perubahan kas. Di dalam laba akuntansi terdapat berbagai komponen yaitu kombinasi beberapa komponen pokok seperti laba kotor , laba usaha, laba sebelum pajak dan laba sesudah pajak (Muqodim, 2005:131). Sehingga dalam menentukan besarnya laba akuntansi investor dapat melihat dari perhitungan laba setelah pajak. SFAC No. 1 dalam Belkaoui (2000:332) mengasumsikan bahwa laba akuntansi merupakan ukuran yang baik dari kinerja suatu perusahaan dan bahwa laba akuntansi dapat digunakan untuk meramalkan arus kas masa depan. Penulis lain mengasumsikan bahwa laba akuntansi adalah relevan dengan cara yang biasa untuk model-model keputusan dari investor dan kreditor. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasinya diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai (Suwardjono, 2005: 456) : a) Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of retun on inuested capital). b) Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemcn. c) Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak. d) Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara. e) Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan public. f) Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang. g) Dasar kompensasi dan pembagian bonus. h) Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. i) Dasar pembagian dividen. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung-guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba. Karakteristik dari pengertian laba akuntansi semacam itu mengandung beberapa keunggulan. Beberapa keunggulan laba akuntansi yang dikemukakan oleh Muqodim (2005 : 114) adalah: 1) Terbukti teruji sepanjang sejarah bahwa laba akuntansi bermanfaat bagi para pemakainya dalam pengambilan kepu¬tusan ekonomi. 2) Laba akuntansi telah diukur dan dilaporkan secara obyektif dapat diuj kebenarannya sebab didasarkan pada transaksi nyata yang didukung oleh bukti. 3) Berdasarkan prinsip realisasi dalam mengakui pendapatan laba akuntansi memenuhi dasar konservatisme. 4) Laba akuntansi bermanfaat untuk tujuan pengendalian terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban manajemen. 2.5 Konsep Penyusutan di Dalam Laba Tunai. Fasilitas fisis atau biasa disebut dengan aktiva operasional menghasilkan pendapatan lebih banyak melalui penggunaannya daripada melalui penjualan kembali aktiva tersebut. Aktiva ini dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan (Dyckman dkk, 1996: 590). Fasilitas fisis memberi kontribusi jasa ke operasi berupa kapasitas atau daya. Sehingga kos daya atau kapsitas fasilitas fisis tersebut harus diserap menjadi bagian kos produksi dan akhirnya menjadi beban pendapatan (Suwardjono, 2005: 437). Prinsip-prinsip akuntansi menghendaki adanya penandingan biaya dari semua jenis aktiva operasional dengan pendapatan selama umur manfaatnya. Terminologi akuntansi untuk proses ini berbeda-beda tergantung pada kategori aktiva tersebut : 1. Penyusutan adalah alokasi periodik biaya aktiva tetap terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 2. Deplesi adalah alokasi periodik dari biaya sumber daya alam, seperti cadangan mineral dan kayu, terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 3. Amortisasi adalah alokasi periodik dari aktiva tak berwujud terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. Istilah amortisasi juga digunakan pada aktiva keuangan dan kewajiban. Depresiasi merupakan suatu proses alokasi kos secara sistematik dan rasional dan jumlah rupiahnya diukur atas dasar bagian kos potensi jasa yang dianggap telah dimanfaatkan dalam menciptakan pendapatan. Depresiasi sebagai biaya tidak berbeda dengan jenis biaya operasi lainnya. Depresiasi merupakan biaya yang benar-benar terjadi dan dikeluarkan seperti biaya lainnya. Memang benar biaya depresiasi untuk periode tertentu tidak menunjukan pengeluaran pada periode tersebut. Biaya depresiasi mengukur bagian pengeluaran masa lalu yang dipandang layak dibebankan terhadap kegiatan atau pendapatan periode berjalan. Jadi dapat dikatakan bahwa kos fasilitas fisis merupakan suatu bentuk ekstrem biaya dibayar di muka. Akuntansi depresiasi merupakan sarana untuk membebankan biaya dibayar di muka tersebut ke produksi atau periode berjalan (Suwardjono, 2005: 437-438). Pengertian depresiasi dan amortisasi sebagai proses akumulasi dana didasari bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, perusahaan harus dapat mengganti fasilitas fisik yang habis umurnya. Akibatnya perusahaan harus menyisihkan dana dari pendapatan yang diperoleh. Dengan mengurangi pendapatan, laba akan berkurang sebesar depresiasi dan amortisasi yang dibebankan. Depresiasi dan amortisasi adalah biaya tidak tunai karena depresiasi dan amortisasi tidak memerlukan pengeluaran kas. dianggap sebagai sumber dana untuk menghitung sumber dana atau aliran kas masuk (proceeds) dengan cara menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi (Suwardjono, 1989: 439). Cara menghitung semacam ini hanyalah salah satu teknik penghitungan sumber dana dimana depresiasi dan amortisasi sebagai beban non kas yang artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Sehingga pembebanan depresiasi ke dalam pendapatan serta menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi dapat dikatakan sebagai teknik dalam menghitung sumber dana. 2.6 Konsep Dividen Dividen adalah proporsi laba atau keuntungan yang dibagikan kepada para pemegang saham dalam jumlah yang sebanding dengan jumlah lembar saham yang dimilikinya (Baridwan, 2000:434). Semua keuntungan ataupun kerugian yang diperoleh perusahaan selama berusaha dalam satu periode tersebut dilaporkan oleh direksi kepada para pemegang saham dalam suatu rapat pemegang saham. Kebijakan pembagian dividen adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian laba akan dibagikan kepada para pemegang saham dan akan ditahan dalam perusahaan selanjutnya diinvestasikan kembali (Husnan,1994). Kebijakan pembagian dividen tergantung pada keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS). Kebijakan dividen penting bagi perusahaan dengan dua alasan, yaitu: 1. Pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut. 2. Laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan. Dividen yang dibagikan oleh perusahaan bisa tetap (tidak mengalami perubahan) dan bisa mengalami perubahan (ada kenaikan atau penurunan) dari dividen yang dibagikan sebelumnya. Dividen dapat berupa uang, skrip (script), barang atau saham (modal saham). Menurut Arief Suaidi (1994 : 230) ada tiga macam tanggal yang relevan dengan pembagian dividen yaitu: (1) tanggal pengumuman yaitu tanggal direksi mengumumkan akan membayar dividen, (2) tanggal pencatatan dividen, (3) tanggal pembayaran dividen. Tanggal pencatatan adalah batas tanggal untuk mendaftarkan nama pemilik saham. Dividen dibayarkan kepada orang yang tercatat sebagai pemilik saham pada tanggal pencatatan. Kalau jual beli saham terjadi setelah tanggal pencatatan, maka saham tersebut namanya dijual ex-taripa dividen; artinya dividen tidak diterima oleh pembeli saham. Sedangkan yang dimaksud dengan tanggal pembayaran adalah tanggal saat dividen dibayar. 2.6.1 Jenis-jenis Dividen a. Cash Dividen ialah dividen yang diberikan oleh perusahaan kepada para pemegang sahamnya dalam bentuk uang tunai (cash). Pada waktu rapat pemegang saham, perusahaan memutuskan bahwa sejumlah tertentu dari laba perusahaan akan dibagi dalam bentuk cash dividen (M. Munandar, 1983: 312). Perusahaan hanya berkewajiban membayar dividen setelah perusahaan tersebut mengumumkan akan membayar dividen. Dividen dibayarkan kepada pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham. Pembayaran dividen dapat dilakukan oleh perusahaan sendiri atau melalui pihak lain, umpamanya bank. Cara yang kedua biasanya yang dipilih perusahaan karena bank mempunyai banyak cabang, sehingga memudahkan pemegang saham yang mungkin sekali tersebar luas di seluruh Indonesia (Arief Suaidi, 1994: 230). Yang perlu diperhatikan oleh pimpinan perusahaan sebelum membuat pengumuman adanya dividen kas adalah apakah jumlah kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut. b. Script Dividen adalah suatu surat tanda kesediaan membayar sejumlah uang tertentu yang diberikan perusahaan kepada para pemegang saham sebagai dividen. Surat ini berbunga sampai dengan dibayarkannya uang tersebut kepada yang berhak. Script dividen seperti ini biasanya dibuat apabila pada waktu para pemegang saham mengambil keputusan tentang pembagian laba, dimana perusahaan belum (tidak) mempunyai persediaan uang cash yang cukup untuk membayar dividen cash (Arief Suaidi, 1994: 231). c. Property Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barang-barang (tidak berupa uang tunai ataupun (modal) saham perusahaan). Contoh dividen barang adalah dividen berupa persediaan atau saham yang meru¬pakan investasi perusahaan pada perusahaan lain. Pembagian dividen berupa barang sudah barang tentu lebih sulit dibanding pembagian dividen uang. Perusahaan melakukannya karena uang tunai perusahaan tertanam dalam investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan pen¬jualan investasi atau persediaan terutama bila jumlahnya cukup banyak akan me¬nyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun, sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri (Arief Suaidi, 1994 : 233). d. Liquidating Dividen adalah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham, dimana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran bagian laba (Cash Dividen), sedangkan sebagian lagi dimaksudkan sebagai pengembalian modal yang ditanamkan (diinvestasikan) oleh para pemegang saham ke dalam perusahaan tersebut (M. Munandar, 1983: 314). e. Stock Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri (M. Munandar, 1983: 314). Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima Stock Dividen. Dividen saham dapat berupa saham yang jenisnya sama maupun yang jenisnya berbeda. 2.7 Penelitian Terdahulu Pariwati dan Baridwan (1998) dalam Meythi (2006) menguji hubungan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas masa mendatang. Populasi yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan go publik selama enam periode mulai tahun 1989-1994. Pengujian menggunakan model regresi dimana menguji variabel tanpa factor deflator dan menguji variabel setelah dilakukan penyesuaian dengan factor deflator. Berdasarkan penelitiannya disimpulkan bahwa laba merupakan predictor yang lebih baik dari pada arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan dan positif antara laba akuntansi dengan dividen kas. Nahibaho (2000) menyimpulkan bahwa laba perusahaan saat ini merupakan predictor bagi dividen yang akan datang. Dengan demikian laba saat ini mempengaruhi kebijakan dividen yang akan datang. Baik laba saat ini ataupun arus kas saat ini bukan merupakan predictor bagi dividen saat ini dan tidak mempengaruhi kebijakan dividen saat ini. Barth et al. (2001) dan Kim dan Kross (2002) dalam Yolanda (2006) menyatakan bahwa laba memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi mendatang perusahaan, dan memiliki kemampuan yang lebih dibanding arus kas jika laba dipecah ke dalam beberapa komponen akrual. Bahkan Kim dan Kross (2002) menegaskan kemampuan laba dalam memprediksi arus kas meningkat sepanjang tahun. Kim dan Kross (2002) juga membedakan antara perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negative, hasilnya menyatakan bahwa hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun menurun. Hermi (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba bersih dan arus kas operasi terhadap dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi di BEJ pada periode 1999-2002. Hermi (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba bersih dengan dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi tahun 1999-2002. Watson dan Wells (2005) dalam Yolanda dan Rahmat (2006) menyatakan bahwa untuk perusahaan yang berlaba, ukuran berbasis laba lebih baik dalam menangkap kinerja perusahaan dibandingkan arus kas, sedangkan untuk perusahaan yang merugi baik laba maupun arus kas tidak dapat menangkap kinerja perusahaan dengan baik. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, mereka menganalisis 19 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 15 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2000 dan 16 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang positif dan kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. 2.8 Hipotesis Penelitian Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya histories. Tujuan laba secara umum didasari sebagai dasar perpajakan, petunjuk bagi kebijaksanaan perusahaan dan pengambilan keputusan, kebijaksanaan dividen serta sebagai ukuran efesiensi. Laba diakui sebagai suatu indikator dari jumlah maksimum yang harus dibagikan sebagai dividen dan ditahan untuk perluasan atau di investasikan kembali di dalam perusahaan. Selain laba akuntansi menurut Elizabeth (2000) kebanyakan perusahaan juga sering menggunakan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah penyusutan dan amortisasi, dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Efendri (1993) dalam Febby dan Murtanto (2004) meneliti persepsi manajemen tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan faktor-faktor yang dapat dikembalikan) dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Sehingga dirumuskan hipotesa sebagai berikut : 1.H01 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas HA1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2.H02 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas HA2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam perusahaan yang bergerak dalam sektor industri barang konsumsi dan terdaftar di BEJ sejak tahun 2002 sampai dangan tahun 2004. Teknik penarikan sample penelitian ini adalah dengan menggunakan menggunakan metode Purposive Non random Sampling, yaitu pengambilan sample penelitian secara non random (tidak acak) sehingga setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama akan terpilih menjadi sample penelitian (Supardi, 2005:114). Berdasarkan Indonesian Capital Market Directory di dapat 19 perusahaan yang bergerak dalam sector industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 menyajikan daftar Emiten yang bergerak di sektor industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 Nama Perusahaan Populasi Nama Perusahaan 1 PT. Delta Djakarta 2 PT. Ultra Jaya Milk Industri and Trading Company Tbk 3 PT. Bentoel 4 PT. Multi Bintang Indonesia 5 PT. Gudang Garam 6 PT. Merck 7 PT. Unilever Indonesia 8 PT. Sari Husada 9 PT. Aqua Golden Mississippi 10 PT. Mustika Ratu 11 PT. Indofood Sukses Makmur 12 PT. BAT Indonesia 13 PT. H.M. Sampoerna 14 PT. Dankos Laboratories 15 PT. Mandom Indonesia 16 PT. Indofarma 17 PT. Kedaung Indah Can 18 PT. Siantar TOP 19 PT. Tempo Scan Pacific Penyeleksian sample penelitian menggunakan teknik purposive sampling dimana terdapat kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam penentuan sample berdasarkan teknik purposive sampling antara lain: 1. Perusahaan yang telah terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004. 2. Perusahaan tersebut menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 3. Perusahaan tersebut mendapatkan laba bersih pada pada tahun 2002 sampai 2004. 4. Perusahaan tersebut membayar dividen kas pada tahun 2002 sampai 2005. Di bawah ini tabel 3.2 menampilkan seleksi sample dengan menggunakan teknik Purposive Non-Random Sampling. Tabel 3.2 Seleksi Sampel Keterangan Jumlah Jumlah Populasi Awal 19 Pelanggaran kriteria I : Perusahaan yang tidak terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004 0 Pelanggaran kriteria II : Perusahaan tersebut tidak menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 0 Pelanggaran kriteria III : Perusahaan yang laporan keuangannya dari tahun 2002-2004 berturut-turut rugi. 3 Pelanggaran kriteria IV : Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2003 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2004 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2005 3 Selama periode tahun 2002-2004, emiten yang bergerak disektor industri barang konsumsi yang memenuhi kriteria penelitian ada 19 perusahaan. Namun pada tahun 2002 hanya 15 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria, pada tahun 2003 terdapat 13 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria dan tahun 2004 terdapat 12 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria. 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian Untuk pengujian hipotesis terdapat variabel laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas. Operasionalisasi dari ketiga variabel tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 3.2.1 Variabel Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Namun, kebanyakan perusahaan juga sering mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-baban non kas (Murtanto dan Febby, 2004). Laba akuntansi yang digunakan dalam penellitian ini adalah laba bersih yang didapat dari selisih antara pendapatan yang operatif maupun tidak dan seluruh biaya operatif maupun tidak. Ukuran laba bersih sebagai variabel laba akuntansi mendasar pada penelitian Elizabeth (2000) dan Murtanto dan Febby (2004). Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan kinerja dan pertanggungjawaban manajemen. Laba tunai yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba akuntansi setelah ditambahkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah beban penyusutan dan beban amortisasi. 3.2.2 Variabel Dividen Kas Dividen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dividen kas. Besarnya dividen kas dapat dilihat pada laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Hal ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mencari keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai periode ini dengan nilai dividen kas yang dibagikan perusahaan. Misalnya penulis akan meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. 3.3 Metode Analisis Data Secara garis besar, metode statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian adalah stastistik inferensi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dari data yang telah dicatat dan diringkas tersebut (Singgih Santoso, 2005: 3). Dalam praktek, satatistik inferensi dapat dilakukan dengan metode parametrik ataupun metode non parametrik. Penelitian ini menggunakan metode statistik inferensi non parametrik dimana variabel (data) yang diuji bertipe data nominal dan ordinal dimana distribusi data populasinya tidak diketahui kenormalannya (Singgih Santoso, 2005: 4). Penelitian ini menggunakan model Korelasi Spearman yang digunakan untuk mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Wahid Sulaiman, 2003: 136). Menurut Kuncoro (1986:15) inti dari analisis korelasi adalah mengukur kekuatan hubungan antar variabel, tanpa menunjukan adanya sebab-akibat. Pada dasarnya Korelasi Spearman ini adalah mencari korelasi antar jenjang atau posisi urutan data, bukan nilai data (Syamsul Hadi, 2006: 138). Rumus untuk menghitung korelasi Spearman secara manual adalah: Dimana: r = Koefisien Korelasi Spearman (Rank Order) d = Merupakan perbedaan peringkat untuk setiap pasangan n = Jumlah pasangan pengamatan Untuk mandapatkan basarnya nilai korelasi spearman penelitian ini dapat menggunakan perhitungan dengan menggunakan software SPSS. 3.3.1 Tahapan Analisis Data Tahapan sebagai berikut : 1. Perusahaan yang go public di BEJ dipilih secara Purposive Non random Sampling sesuai kriteria. 2. Menghitung laba akuntansi dengan dividen kas 3. Menghitung laba tunai tiap-tiap periode 4. Melakukan uji analisis deskriptif. 5. Menghitung koefisien peringkat Spearman (r) menggunakan program Statistical Package for the Social (SPSS). 6. Melakukan uji signifikansi. Pengujian Hipotesis Nilai korelasi yang didapatkan dari penelitian merupakan nilai korelasi sampel, yang merupakan harga estimasi dari koefisien korelasi populasi yang dilambangkan dengan r. Untuk selanjutnya kita akan mengadakan uji hipotesis mengenai koefisien korelasi populasi yang tidak diketahui berdasarkan pada estimasi nilai koefisien korelasi sampel, yaitu r (Wahid Sulaiman, 2005: 136). Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: 1. Ho1 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas Ha1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2. Ho2 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Ha2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Hipotesa ini sama sekali tidak mempermasalhkan arah hubungan jenjang nilai, sehingga untuk tes hipotesa digunakan uji dua sisi (Syamsul Hadi, 2006: 140). Kaidah Pengambilan Keputusan Kaidah pengambilan keputusan untuk menentukan penerimaan atau penolakan Ho adalah sebagai berikut: • Apabila sig. (2-tailed) maka tolak Ho • Apabila sig. (2-tailed) > maka gagal menolak Ho 3.4 Data Penelitian Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ. Data tersebut berupa laporan keuangan tahunan yang didapat dari Indonesian Capital Market Directory dan Pusat Referensi Pasar Modal BEJ. Data laporan keuangan atau yang disebut juga data akuntansi yang dipakai adalah net earning (Laba bersih), biaya penyusutan dan nilai dividen kas perusahaan konsumsi. Adapun data tersebut diambil dari : 1. Laporan Laba-Rugi 2. Neraca 3. Laporan arus kas 4. Laporan perubahan ekuitas Periodisasi data penelitian ini meliputi data tahun 2002, 2003, dan 2004. Penggunaan data beberapa periode akan mengungkap seberapa besar pengaruh laba yang dihasilkan perusahaan terhadap besarnya nilai dividen kas suatu perusahaan. Tabel 3.3 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 Tabel 3.3 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2002 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 44,839,000,000 6,405,272,000 2 PT. Ultra Jaya Milk 18,906,000,000 9,627,940,000 3 PT. Bentoel International 100,780,000,000 13,466,250,000 4 PT. Multi Bintang Indonesia 85,050,000,000 104,866,000,000 5 PT. Gudang Garam 2,086,893,000,000 577,227,000,000 6 PT. Merck 37,429,000,000 40,320,000,000 7 PT. Unilever Indonesia 978,249,000,000 1,220,800,000,000 8 PT. Sari Husada 177,300,000,000 70,632,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 66,110,000,000 11,319,726,780 10 PT. Mustika Ratu 20,452,000,000 1,663,973,872 11 PT. Indofood Sukses Makmur 802,633,000,000 238,774,746,000 12 PT. BAT Indonesia 118,180,000,000 36,300,000,000 13 PT. H.M. Sampoerna 1,671,084,000,000 834,008,000,000 14 PT. Dankos Laboratories 93,174,000,000 17,860,500,000 15 PT. Mandom Indonesia 82,492,058,369 23,400,000,000 Tabel 3.4 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003. Tabel 3.4 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2003 (dalam Rp) No Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 37,662,965,000 5,604,615,000 2 PT. Multi Bintang Indonesia 90,222,000,000 90,222,000,000 3 PT. Gudang Garam 1,838,673,000,000 577,227,000,000 4 PT. Merck 50,580,140,000 62,720,000,000 5 PT. Unilever Indonesia 1,296,711,000,000 1,526,000,000,000 6 PT. Sari Husada 220,617,000,000 214,425,000,000 7 PT. Aqua Golden Mississipi 63,246,000,000 10,529,978,400 8 PT. Tempo Scan Pacific 322,697,954,673 180,000,000,000 9 PT. Siantar TOP 31,182,287,799 11,135,000,000 10 PT. Indofood Sukses Makmur 603,481,302,847 238,800,492,000 11 PT. H.M. Sampoerna 1,406,844,000,000 2,935,033,000,000 12 PT. Dankos Laboratories 125,546,692,204 17,860,500,000 13 PT. Mandom Indonesia 61,852,532,260 25,740,000,000 Tabel 3.5 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004. Tabel 3.5 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2004 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 38,696,202,000 5,604,615,000 2 PT. Bentoel International 80,938,123,594 15,644,062,500 3 PT. Multi Bintang Indonesia 86,297,000,000 108,637,000,000 4 PT. Gudang Garam 1,790,209,000,000 962,044,000,000 5 PT. Merck 57,238,518,000 31,360,000,000 6 PT. Unilever Indonesia 1,468,445,000,000 1,526,000,000,000 7 PT. Sari Husada 181,878,000,000 280,770,000,000 8 PT. Mandom Indonesia 82,492,000,000 31,200,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 91,582,035,931 15,531,718,140 10 PT. Tempo Scan Pacific 324,469,792,119 180,000,000,000 11 PT. Indofood Sukses Makmur 378,056,338,230 149,250,307,500 12 PT. H.M. Sampoerna 1,991,852,000,000 2,695,545,000,000 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk melihat keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas yang dibagikan perusahaan. Obyek yang diteliti adalah perusahaan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya sehingga didapatkan sampel akhir penelitian sebanyak 15 perusahaan untuk tahun 2002, 13 perusahaan untuk tahun 2003 dan 12 perusahaan untuk tahun 2004. Jumlah sampel penelitian mempresentasikan 78,18 % dari populasi tahun 2002, 68,8 % untuk tahun 2003 dan 63,31 % untuk tahun 2004. Dengan populasi sebanyak itu maka dibutuhkan 171 laporan keuangan yang dijadikan sub sampel penelitian. Analisa Laba Akuntansi dengan Dividen Kas Data laba akuntansi dan dividen kas untuk tahun 2002, 2003, 2004 dapat di lihat pada bab sebelumnya. Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. Uniliver memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Ultrajaya dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. H.M. Sampoerna memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Siantar Top dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba akuntansi dan dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi dan dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta 4.3 Perhitungan Laba Tunai Laba tunai dalam penelitian ini diperoleh dari menambahkan nilai laba akuntansi dengan beban penyusutan dan amortisasi. Adapun nilai penyusutan dan amortisasi didapat dari neraca perusahan yang bersangkutan atau dari laporan arus kas yang menggunakan metode tidak langsung. Di bawah ini disajikan perhitungan laba tunai perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Rumus laba tunai = Laba akuntansi + biaya penyusutan dan amortisasi. Tabel 4.1 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2002 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 62,596,000,000 16,965,373,000 61,804,373,000 PT. Ultra Jaya Milk 23,727,000,000 11,126,401,540 30,032,401,540 PT. Bentoel International 109,970,000,000 2,287,116,010 103,067,116,010 PT. Multi Bintang Indonesia 123,380,000,000 6,228,609,000 91,278,609,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 50,112,000,000 2,137,005,000,000 PT. Merck 54,455,000,000 405,766,000 37,834,766,000 PT. Unilever Indonesia 1,384,504,000,000 7,847,000,000 986,096,000,000 PT. Sari Husada 252,859,000,000 8,899,000,000 186,199,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 969,943,000,000 18,025,621,880 84,135,621,880 PT. Mustika Ratu 29,053,000,000 214,743,540 20,666,743,540 PT. Indofood Sukses Makmur 1,718,084,000,000 34,484,094,800 837,117,094,800 PT. BAT Indonesia 172,125,000,000 252,000,000 118,432,000,000 PT. H.M. Sampoerna 2,566,802,000,000 71,000,000 1,671,155,000,000 PT. Dankos Laboratories 127,848,000,000 5,123,348,200 98,297,348,200 PT. Mandom Indonesia 81,760,000,000 2,550,359,830 85,042,418,199 Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Tabel 4.2 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2003. Tabel 4.2 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2003 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 54,788,000,000 19,408,890,000 57,071,855,000 PT. Multi Bintang Indonesia 131,848,000,000 2,209,000,000 92,431,000,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 87,029,000,000 1,925,702,000,000 PT. Merck 72,137,000,000 624,889,000 51,205,029,000 PT. Unilever Indonesia 1,819,766,000,000 597,000,000 1,297,308,000,000 PT. Sari Husada 313,243,000,000 6,463,000,000 227,080,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 93,328,000,000 9,958,090,150 73,204,090,150 PT. Tempo Scan Pacific 434,560,000,000 9,853,431,940 332,551,386,613 PT. Siantar TOP 45,943,000,000 3,202,166,730 34,384,454,529 PT. Indofood Sukses Makmur 1,031,135,000,000 44,599,140,500 648,080,443,347 PT. H.M. Sampoerna 2,199,497,000,000 7,148,000,000 1,413,992,000,000 PT. Dankos Laboratories 176,681,000,000 9,805,372,450 135,352,064,654 PT. Mandom Indonesia 89,850,000,000 1,810,331,750 63,662,864,010 Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Siantar Top. Tabel 4.3 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2004. Tabel 4.3 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2004 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 57,390,000,000 19,306,642,000 58,002,844,000 PT. Bentoel International Inv 90,246,000,000 17,777,538,760 98,715,662,354 PT. Multi Bintang Indonesia 128,867,000,000 5,747,000,000 92,044,000,000 PT. Gudang Garam 2,570,280,000,000 25,145,000,000 1,815,354,000,000 PT. Merck 82,436,000,000 4,418,993,000 61,657,511,000 PT. Unilever Indonesia 2,102,323,000,000 7,189,000,000 1,475,634,000,000 PT. Sari Husada 293,509,000,000 1,513,000,000 183,391,000,000 PT. Mandom Indonesia 119,561,000,000 5,250,501,180 87,742,501,180 PT. Aqua Golden Mississipi 133,477,000,000 4,980,890,600 96,562,926,531 PT. Tempo Scan Pacific 435,763,000,000 9,746,709,680 334,216,501,799 PT. Indofood Sukses Makmur 852,380,000,000 46,184,938,148 424,241,276,378 PT. H.M. Sampoerna 3,059,104,000,000 42,008,000,000 2,033,860,000,000 Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. 4.4 Analisis Deskriptif Uji statistik deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi bahwa data yang digunakan dalam penelitian adalah data normal dan homogen (Syamsul Hadi, 2004: 102). Suatu data dikatakan homogen dan normal berdasarkan nilai kurtosis dan Skewnessnya. Diharapkan hasil uji statistik secara umum dapat melegitimasi validitas dan reliabilitas variabel yang digunakan dalam uji statistik setiap hipotesis penelitian. Hasil analisis statistik deskriptif dengan bantuan komputer program Microsoft Excel disajikan dalam lampiran 1. Adapun tabel dibawah ini hanya menampilkan nilai Kurtosis, Skewness dan standar deviasi sebagai acuan untuk mentukan normal dan homogennya suatu data serta untuk menunjukan ada tidaknya data ekstrim (Syamsul Hadi, 2004:113). Data yang sempurna adalah data yang memiliki nilai kurtosis tinggi, skewness dan standar deviasi rendah. Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Perusahaan Populasi Keterangan Variabel Nilai Kurtosis Nilai Skewness Standar Deviasi Laba Akuntansi 0,906597641 1,546086205 637,196,355,566 Laba Tunai 4 2,197378851 551,274,338,796 Dividen Kas 8,084053858 2,828892771 1,001,191,320,822 Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa data penelitian ini dapat dikatakan normal dan homogen. Suatu data dapat dikatakan homogen apabila memiliki nilai kurtosis >3. Sedangkan suatu data dikatakan homogen apabila memiliki nilai skewness = 0, tetapi hal ini sangat sulit dijumpai. Sehingga apabila data memiliki nilai skewness yang kecil, maka data tersebut bisa ‘dianggap’ normal (tidak miring) (Syamsul Hadi, 2004: 111-112). Menurut tabel 4.4 data laba akuntansi dapat dikatakan normal dan berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai kurtosis dan skewness untuk laba akuntansi sebesar 0,9065 dan nilai skewness sebesar 1,54608. Nilai kurtosis sebesar 0,9065 termasuk berdistribusi datar (platikurtis) dimana distribusi data itu menyebar. Meskipun distribusi datanya menyebar, tetapi data laba akuntansi tidak memiliki data ekstrim. Berdasarkan nilai kurtosis, nilai skewness dan standar deviasi dapat disimpulkan bahwa data untuk laba akuntansi dapat dikatakan berdistribusi normal dan tidak memiliki data ekstrim. Nilai laba tunai dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 4, nilai skewness yang kecil sebesar 2,197378851 dan nilai standar deviasi yang tidak terlalu besar yaitu sebesar 551,274,338,796. Sehingga dapat disimpulkan data laba tunai memiliki distribusi normal dan tidak memiliki titik ekstrim. Begitupun dengan nilai dividen kas dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 8,084053858, nilai skewness yang kecil sebesar 2,828892771. 4.5 Perhitungan Koefisien Korelasi Spearman Korelasi Spearman Rank digunakan mencari keeratan hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Sugiyono, 1999: 282). Perhitungan koefisien korelasi spearman dapat menggunakan software SPSS. Menurut Young dalam Wahid Sulaiman (2003:135), ukuran korelasi adalah sebagai berikut : • 0,70 – 1,00 (baik plus atau minus) menunjukan adanya derajat asosiasi yang tinggi. • 0,40 - < 0,70 (baik plus atau minus) menunjukan hubungan yang substansial. • 0,20 - < 0,40 (baik plus atau minus) menunjukan adanya korelasi yang rendah. • < 0,20 (baik plus atau minus) berarti dapat diabaikan. 4.5.1 Perhitungan Korelasi Tahun 2002 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2002 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.5 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2002 Berdasarkan hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 menunjukan nilai rs sebesar 0,829. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2002. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,836. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2002. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2002 laba tunai lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba akuntansi. 4.5.2 Perhitungan Korelasi Tahun 2003 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2003 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2003 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003 menunjukan nilai rs sebesar 0,885. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2003. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,857. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2003. Menurut penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba akuntansi dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2003 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.5.3 Perhitungan Korelasi Tahun 2004 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2004 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.7 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2004 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004 menunjukan nilai rs sebesar 0,874. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah. Dengan kata lain apabila jumlah laba akuntansi besar maka jumlah dividen kas juga besar. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,853. Nilai ini dapat menunjukan adanya korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2004. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2004 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.6 Uji Signifikansi Hasil korelasi belum bisa digunakan untuk membuktikan bahwa hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas maupun antara laba tunai dengan dividen kas signifikan atau tidak. Oleh karena itu dilakukan uji signifikansi antara variabel-variabel tersebut. Tabel 4.8 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.8 Uji Signifikansi Tahun 2002 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.8 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2002. Tabel 4.9 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.9 Uji Signifikansi Tahun 2003 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.9 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2003. Tabel 4.10 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan laba tunai terhadap dividen kas Tabel 4.10 Uji Signifikansi Tahun 2004 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.10 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2004. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas pada perusahaan yang go public, dalam hal ini perusahaan konsumsi di Bursa Efek Jakarta. Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas dipakai pengujian Korelasi Spearman. Berdasarkan analisa statistic non parametrik dalam hal ini menggunakan Korelasi Spearman yang mengukur asosiasi (hubungan) variabel dan uji signifikannya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Laba Akuntansi terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba akuntansi terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho1 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha1 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 2. Laba Tunai terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba tunai terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho2 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha2 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 5.2 Keterbatasan Penelitian Meskipun hipotesa yang diajukan penelitian ini telah teruji secara signifikan, namun sebagai dasar pengambilan keputusan bagi para akademisi maupun para praktisi, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih mengandung beberapa keterbatasan. Untuk itu bagi para akademisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi para praktisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan investasi dan ekonomik lainnya diharapkan memperhatikan beberapa keterbatasan penelitian ini. 1. Penelitian ini hanya membahas hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas. Padahal faktor yang berhubungan dengan dividen kas cukup banyak, seperti: arus kas operasi, penjualan, posisi likuiditas perusahaan, dll. 2. Penelitian ini hanya pada perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ untuk tahun 2002 sampai 2004 yang dipilih berdasarkan purposive non random sampling. 3. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu selama tiga tahun, masih terlalu singkat. 5.3 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka saran-saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1. Perusahaan sebaiknya dalam pembagian dividen kas berdasarkan pada laba akuntansi, karena menurut penelitian yang telah dilakukan nilai koefisien korelasi laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar dari koefisien korelasi laba tunai terhadap dividen kas. Walaupun pada tahun 2002 nilai koefisien laba tunai terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba akuntansi terhadap dividen kas tetapi untuk tahun 2003 dan 2004 nilai koefisien laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba tunai terhadap dividen kas 2. Sebaiknya penelitian dilakukan terhadap lebih dari satu jenis perusahaan sehingga hasilnya dapat dibandingkan antara perusahaan yang satu dengan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Arief Suaidi, Akuntansi Keuangan Menengah, Edisi ke-1, Sekolah Tinggi Ilmu YKPN, Yogyakarta, April 1994. Ataina Hudayati, Comprehensive Income: Upaya Meningkatkan Relevensi Pelaporan Laba, JAAI, Vol.3, No.1, Juni 1999, Hal 52. Belkoui, Ahmed Riahi, Accounting Theory, Edisi keempat, terjemahan, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Dahler, Yolanda dan Rahmat Febrianto, Kemampuan Prediktif Earning Dan Arus Kas Dalam Memprediksi Arus Kas Masa Depan, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 3. Dermawan, Elizabeth Sugiarto, Laba Akuntansi dan Laba Tunai dengan dividen Kas, Jurnal Akuntansi Universitas Tarumanegara. Dyckman, Dukes dan Davis, Akuntansi Intermediate, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta, 1996. Financial Accounting Standard Board (FASB), Statement of Financial Accounting Concept, IL: FASB, 1991. Harahap, Sofyan Syafri, Teori Akuntansi, Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta, 2001. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Teori Akunting, Edisi ke-5, Interaksara, 2000. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Accounting Theory, Fifth Ed. Homewood Illinois: Richard D. Irwin, Inc, 1992. Hermi, Hubungan Laba Bersih Dan Arus Kas Operasi Terhadap Dividen Kas Pada Perusahaan Perdagangan Besar Barang Produksi Di BEJ Pada Periode 1999-2002, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.4, No.3, Desember 2004, Hal 247-257. Husnan, Suad, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, UUP-AMP, YKPN, Yogyakarta, 1994. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Standar Akauntansi Keuangan, Jakarta, 2004. Indriantoro, Supomo, Metodeologi Penelitian Bisnis, Edisi pertama, BPFE – Yogyakarta, 1999. Januar, Sri Astuti dan Agung Wirawan, Praktik Perataan Laba dan Kinerja Saham Perusahaan Publik Di Indonesia, JAAI, Vol.6, No.2, Desember 2004, Hal 45. Meythi, Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan Persisitensi Laba Sebagai Variabel Intervening, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 4. Mudrajat Kuncoro, Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, Juni 2001. Murtanto dan Feby Feiruza Yuridya, Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi, Vol.4, No.1, April, 2004, hal. 85-105. Munandar, M, Pokok-Pokok Intermediate Accounting, Edisi ke-5, Liberty, Yogyakarta, 1983. Muqodim, Teori Akuntansi, Edisi ke-1, Ekonisia, Yogyakarta, Mei 2005. Nahibaho, Pengaruh Laba dan Arus Kas Terhadap Pembagian Dividen Pada Perusahaan yang GO Publik di Indonesia, Tesis Tidak Dipublikasikan, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000. Puspitasari, Dian Agustin dan Banu Witono, Pengaruh Pengumuman Dividen Tunai Terhadap Reaksi Pasar, JAK, Vol.3, No.2, Septembar 2004, Hal 108. Rahmat, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ, Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999. Singgih Santoso, Menggunakan SPSS Untuk Statistik Non-Parametrik, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2005. Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Pertama, UII Press, Januari 2005. Supranto, J, Metode Riset Aplikasi Dalam Pemasaran, Edisi Revisi ke-7, Sineka Cipta, Jakarta, September 2002. Suwardjono, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ke-3, BPFE, Yogyakarta, Maret 2005. Syamsul Hadi, Metodeologi Penelitian Kuantitatif untuk Akuntansi & Keuangan, Ekonisia, Yogyakarta, 2006. Wahid Sulaiman, Statistik Non Parametrik Contoh Kasus Dan Pemecahannya Dengan SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2003 Yusuf, Muhammad dan Soraya, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Asing dan Non Asing Di Indonesia, JAI, Vol.8, No.1, Juni 2004, Hal 100-103. LAMPIRAN 1 Analisa Deskriptif Laba Akuntansi Laba Tunai Dividen Kas Mean 444,864,612,342 308,267,922,790 497,999,201,198 Standard Error 96060964963 83107733561 150,935,270,660 Median 96977000000 78669856015 91619755500 Mode #N/A #N/A 577,227,000,000 Standard Deviation 637,196,355,566 551,274,338,796 1,001,191,320,822 Sample Variance 406,019,195,546,151,000,000,000 303,903,396,614,709,000,000,000 1,002,384,060,889,950,000,000,000 Kurtosis 0.906597641 4 8.084053858 Skewness 1.546086205 2.197378851 2.828892771 Range 2,079,501,000,000 2,135,492,000,000 4,729,253,000,000 Minimum 7392000000 1513000000 152000000 Maximum 2,086,893,000,000 2,137,005,000,000 4,729,405,000,000 Sum 19,574,042,943,026 13,563,788,602,740 21,911


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembagian dividen untuk memaksimumkan pemegang saham atau harga saham dan menunjukan likuiditas perusahaan. Dari sisi investor dividen merupakan salah satu motivator untuk menanamkan dana dipasar modal. Investor lebih memilih dividen yang berupa kas dibandingkan dengan capital gain. Perilaku ini diakui oleh Gordon-Litner sebagai “The bird in the hand theory” bahwa satu burung di tangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Selain itu investor juga dapat mengevaluasi kinerja perusahaan dengan menilai besarnya dividen yang dibagikan. Dari sisi emiten kebijakan dividen sangat penting bagi mereka, apakah sebagai keuntungan perusahaan akan lebih banyak digunakan untuk membayar dividen dibanding retain earning atau sebaliknya. Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Penelitian ini menggunakan laba akuntansi sebagai pengukur kinerja akuntansi perusahaan. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung¬guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba (Muqodim, 2005:114). Laba akuntansi adalah laba dari kaca mata perekayasa akuntansi atau ke-satuan usaha karena keperluan untuk menyajikan informasi secara objektif dan terandalkan. Laba akuntansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba yang didapat dari selisih hasil penjualan dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan (laba bersih). Selain menggunakan nilai laba akuntansi dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan, seringkali perusahaan juga mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini; beban penyusutan dan amortisasi. Depresiasi dan amortisasi merupakan biaya non kas, artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan, penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Suatu aktiva dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan. Penyusutan aktiva dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Efendri (1993) dalam Murtanto dan Febby (2004) tesisnya meneliti tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Pada umumnya laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas yang dibagikan dari laba tunai. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Mereka menganalisis perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 2000 dan 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Murtanto dan Febby (2004) dengan judul “Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas Pada Industri Barang Konsumsi Di Indonesia”. 1.2 Paparan Masalah Dari latar belakang masalah seperti telah diuraikan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas? 2. Apakah terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas? 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Laba Akuntansi, yaitu laba yang didapat dari penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan. Laba akuntansi dalam penelitian ini menggunakan laba bersih (net earnings) sebagai variabel laba akuntansi. Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan bagian laba yang akan ditahan di dalam perusahaan dan yang akan dibagikan sebagai dividen. 2. Laba tunai, yaitu laba yang didapat dari laba akuntansi ditambah dengan beban penyusutan dan amortisasi. 3. Nilai dividen kas pada penelitian ini didapat dari laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Apabila penulis meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. Hal ini dikarenakan bahwa penelitian ini menganalisis adakah hubungan besarnya laba akuntansi dan laba tunai mempengaruhi dividen kas yang dibagikan perusahaan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan paparan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas perusahaan yang telah go public di BEJ untuk periode tahun 2002, 2003, 2004. Sedangkan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada : 1. Investor maupun calon investor, sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk membeli, menjual atau menahan saham bedasarkan harapan atas dividen kas yang dibagikan menggunakan informasi laba akuntansi dan laba tunai yang dilaporkan perusahaan. 2. Emiten maupun calon emiten, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dividen agar memaksimumkan nilai perusahaan. 3. Akademisi, untuk menambah wawasan tentang prilaku pasar modal khususnya mengenai kebijakan dividen. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Laporan Keuangan Informasi akuntansi keuangan menunjukkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan yang digunakan oleh para pemakainya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pengertian laporan keuangan menurut PSAK No1 (2004) merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap dari laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan serta materi penjelasan yang merupakan bagian intergral dalam laporan keuangan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004: 100). Laporan keuangan yang sebenarnya merupakan produk akhir dari proses atau kegiatan akuntansi dalam satu kesatuan. Proses akuntansi dimulai dari pengumpulan bukti-bukti transaksi yang terjadi sampai pada penyusunan laporan keuangan. Proses akuntansi tersebut harus dilaksanakan menurut cara tertentu yang lazim dan berterima umum serta sesuai dengan standar akuntansi keuangan. 2.2 Tujuan Laporan Keuangan Menurut PSAK (2004) tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi serta menunjukkan kinerja yang telah dilakukan manajemen (stewardship), atau pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan meliputi: 1) Aktiva 2) Kewajiban 3) Ekuitas 4) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan 5) Arus kas Informasi tersebut di atas beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan, khususnya dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas. 2.3 Manfaat Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk mendapatkan informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang dicapai oleh perusahaan. Data keuangan tersebut akan lebih berarti jika diperbandingkan dan dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh data yang dapat mendukung keputusan yang diambil. Menurut Statement of Financial Accounting Concept No. 1, tujuan dan manfaat laporan keuangan adalah: 1) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor dan pengguna lainnya yang potensial dalam membuat keputusan lain yang sejenis secara rasional. 2) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor, dan pengguna lain yang potensial dalam memperkirakan jumlah waktu dan ketidakpastian penerimaan kas di masa yang akan datang yang berasal dari pembagian deviden ataupun pembayaran bunga dan pendapatan dari penjualan. 3) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang sumber daya ekonomi perusahaan. Klaim atas sumber daya kepada perusahaan atau pemilik modal. 4) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang prestasi perusahaan selama satu periode. Investor dan kreditor sering menggunakan informasi masa lalu untuk membantu menaksir prospek perusahaan. Menurut PSAK (2004) pihak-pihak yang memanfaatkan laporan keuangan adalah (IAI,2004) : 1) Investor. Penanam modal berisiko dan penasehat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 2) Karyawan. Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. 3) Pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. 4) Pemasok dan kreditor usaha lainnya. Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. 5) Pelanggan. Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. 6) Pemerintah. Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaanya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena ini berkepentingan dengan aktivitas perusahaan, mereka menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya. 7) Masyarakat. Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya. 2.4 Studi Kandungan Informasi Atas Laba Laporan keuangan merupakan bahasa bisnis sebagai alat komunikasi oleh pihak internal yaitu manajemen dengan pihak eksternal seperti kreditor, investor dan pemerintah. Seluruh bagian laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas atau perubahan laba ditahan, laporan arus kas dan catatan laporan keuangan perusahaan merupakan bagian penting dari laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan tidak dirancang untuk mengukur nilai suatu perusahaan secara langsung tetapi informasi yang disediakan dimaksudkan untuk mengestimasi nilai perusahaan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Laporan keuangan juga merupakan produk dari akuntansi yang menyajikan data-data kuantitatif keuangan atas semua transaksi-transaksi yang telah dilaksanakan oleh suatu perusahaan untuk suatu peride tertentu. Laporan keuangan dibuat untuk mempertanggungjawabkan atas aktifitas perusahaan terhadap pemilik dan juga membebankan informasi mengenai posisi perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004). Laporan keuangan ini disusun oleh manajemen, sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan juga menunjukkan kinerja manajemen dan merupakan sumber dalam mengevaluasi performance kinerja manajemen. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja tersebut adalah laba. Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahan yang bertujuan selain untuk menilai kinerja manajemen, juga untuk membantu mengestimasi kemempuan laba yang representatif dalam jangka panjang, meramalkan laba, menaksir resiko dalam berinvestasi atau kredit, memprediksi arus kas masa depan serta memiliki pengaruh besar bagi penggunanya dalam pengambilan suatu keputusan. Sebagaimana disebutkan dalam Statement of Finansial Accounting Consept (SFAC) nomor 1 bahwa informasi laba pada umumnya merupakan perhatian utama dalam menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen dan informasi laba membantu pemilik atau pihak lain melakukan penaksiran atas earning power perusahaan dimasa yang akan datang (Januar dan Sri, 2002). Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Consepts (SFAC) nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (FASB, 1980). Menurut PSAK Nomor 1 informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya (IAI, 2004). Bagi pemilik saham dan atau investor, laba berarti peningkatan nilai ekonomis (wealth) yang akan diterima, melalui pembagian dividen. 2.4.1 Konsep Laba Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang merniliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi, dan pengambilan keputusan, dan unsur prediksi (Belkaoui,1993) Dalam SFAC no. 1 menyebutkan bahwa informasi laba merupakan komponen laporan keuangan yang disediakan dengan tujuan membantu menyediakan informasi untuk menilai kinerja manajemen, mengestimasi kemampuan laba yang representative dalam jangka panjang dan menaksir resiko dalam investasi atau kredit. Pengertian laba secara konvensional adalah nilai maksimum yang dapat dibagi atau di konsumsi selama satu periode akuntansi dimana keadaan pada akhir periode masih sama seperti pada awal periode. Laba dipandang sebagai suatu peralatan prediktif yang membantu dalam peramalan laba mendatang dan peristiwa ekonomi yang akan datang. Laba terdiri dari hasil operasional, atau luar biasa, dan hasil-hasil non-operasional, atau keuntungan dan kerugian luar biasa, dimana jumlah keseluruhannya sama dengan laba bersih. Laba biasa dianggap bersifat masa kini (current) dan berulang, sedangkan keuntungan dan kerugian luar biasa tidak demikian (Rahmat, 2006 : 9). Ditinjau dari ruang lingkupnya terdapat 3 konsep laba sebagaimana dikemukakan FASB dalam SFAC nomor 5 (1984) yaitu: earning, net income dan comprehensive income. Earning merupakan laba selama satu periode akuntansi tanpa ada pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi. Perbedaan income dengan net income terletak pada perhitungan pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (Muqodim, 2005:113). Menurut Suwardjono (2005:455) makna income dalam konteks perpajakan dapat berbeda atau bahkan berbeda dengan makna income dalam akuntansi atau pelaporan keuangan. Dalam perpa¬jakan, income dimaknai sebagai jumlah kotor sehingga diterjemahkan sebagai penghasilan sebagaimana digunakan dalam Standar Akuntansi Keuangan. Dalam buku-buku teks akuntansi (khususnya teori akuntansi, istilah income pada umumnya dimaknai sebagai jumlah bersih sehingga istilah laba lebih meng¬gambarkan apa yang dimaksud income dalam buku-buku tersebut. Muqodim (2005:111) menyatakan bahwa banyak literatur akuntansi sebagian penulis mengutip pendapat tentang tujuan penghitungan laba dan pengertian laba sebagaimana dikemukakan oleh ekonom John Hiks (1949) yang dapat dikemukakan bahwa laba pribadi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi selama periode (misalnya satu minggu atau satu bulan) dengan harapan keadaannya pada akhir periode tetap sama (as well off) seperti keadaan awal periode. Setelah ekonom John Hick (1949) mengemukakan konsep laba, banyak literatur yang mengadaptasikan pengertian laba yang bersumber dari John Hick. Menurut FASB dalam SFAC nomor 6 menyatakan bahwa Comprehensive Income atau laba komprehensip adalah perubahan modal (aktiva bersih) perusahaan selama satu periode, dari transaksi, peristiwa lain dan keadaan dari sumber selain pemilik. Sedangkan Vemon Kam mengemukakan bahwa Income atau laba merupakan perubahan modal suatu kesatuan usaha di antara dua titik waktu tidak termasuk perubahan-perubahan akibat investasi oleh pemilik dan distribusi kepada pemilik, dimana modal dinyatakan dengan ukuran nilai dan didasarkan pada skala tertentu. Dalam KDPPLK-SAK income diterjemahkan menjadi penghasilan yang didefinisikan sebagai berikut: Penghasilan (income) adalah kenaikan menfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Laba dalam teori akuntansi biasanya lebih menunjuk pada konsep yang oleh FASB disebut dengan laba komprehensif. Laba komprehensif dimaknai sebagai kenaikan aset bersih selain yang berasal dari transaksi dengan pemilik. Sedangkan earning adalah laba yang diakumulasikan selama beberapa periode atau kenaikan ekuitas atau aktiva neto suatu perusahaan yang disebabkan karena aktivitas operasi maupun aktivitas di luar usaha selama periode tertentu. Earning merupakan konsep yang paling sempit sedang comprehensive income merupakan konsep paling luas (Muqodim, 2005:110). 2.4.2 Kualitas Informasi Laba M. Yusuf, dkk (2002) menyebutkan bahwa informasi laba harus dilihat dalam kaitannya dengan persepsi pengambilan keputusan. Karena kualitas informasi laba ditentukan oleh kemampuannya memotivasi tindakan individu dan membantu pengambilan keputusan yang efektif. Hal ini didukung oleh FASB yang menerbitkan SFAC No. 1 yang menganggap bahwa laba akuntansi merupakan pengukuran yang baik atas prestasi perusahaan dan oleh karena itu laba akuntansi hendaknya dapat digunakan dalam prediksi arus kas dan laba di masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang tersebut, Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory edisi kelima (1992:338) menetapkan tiga konsep dalam usaha mendefinisikan dan mengukur laba menuju tingkatan bahasa. Adapun konsep-konsep tersebut meliputi: a. Konsep Laba pada Tingkat Sintaksis (Struktural) Pada tingkat sintaksis konsep income dihubungkan dengan konvensi (kebiasaan) dan aturan logis serta konsisten dengan mendasarkan pada premis dan konsep yang telah berkembang dari praktik akuntansi yang ada. Terdapat dua pendekatan pengukuran laba (income measurement) pada tingkat sintaksis, yaitu: Pendekatan Transaksi dan Pendekatan Aktiva. b. Konsep Laba pada Tingkat Sematik (Interpretatif) Pada konsep ini income ditelaah hubungannya dengan realita ekonomi. Dalam usahanya memberikan makna interpretatif dari konsep laba akuntansi (accounting income), para akuntan seringkali merujuk pada dua konsep ekonomi. Kedua konsep ekonomi tersebut adalah Konsep Pemeliharaan Modal dan Laba sebagai Alat Ukur Efisiensi. c. Konsep Laba pada Tingkat Pragmatis (Perilaku) Pada tinmgkat pragmatis (perilaku) konsep income dikaitkan dengan pengguna laporan keuangan terhadap informasi yang tersirat dari laba perusahaan. Beberapa reaksi usaha users dapat ditunjukkan dengan proses pengambilan keputusan dari investor dan kreditor, reaksi harga surat terhadap pelaporan income atau reaksi umpan balik (feedback) dari manajemen dan akuntan terhadap income yang dilaporkan. Konsep income ini paling tidak harus memberikan implikasi income sebagai bahan pengambilan keputusan manajemen. Secara ringkas, laba bersih (net income) disajikan untuk masing-masing kelompok penerima dengan menggunakan konsep-konsep sebagai berikut : Tabel 2.1 Konsep Laba, Perhitungan dan Penerima Laba Konsep Laba Perhitungan Laba Pihak Penerima Laba Nilai Tambah (Value Added) Harga jual produksi dari jasa dikurangi harga pokok barang dan jasa yang dijual. Pegawai, pemilik, kreditor dan pemerintah Laba Bersih Perusahaan (Enterprise Net Income) Kelebihan hasil (revenue) dari biaya, seluruh pendapatan (gain) dan rugi. Biaya tidak termasuk bunga, pajak dan bagi hasil. Pemegang saham, pemegang obligasi dan pemerintah. Laba Bersih bagi investor (Net Income to Investor) Sama seperti enterprise net income tetapi setelah dikurangi pajak penghasilan. Pemegang saham, pemegang obligai dan kreditor jangka panjang. Laba bersih bagi pemegang saham residual (Residual Equity Holders) Laba bersih kepada pemegang saham dikurangi dividen saham preferen Pemegang saham biasa (sekarang dan yang potensial) terkecuali prioritas pembayaran tidak terpenuhi. 2.4.3 Laba Akuntansi Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis. Dalam metode historical cost (biaya historis) laba diukur berdasarkan selisih aktiva bersih awal dan akhir periode yang masing-masing diukur dengan biaya historis, sehingga hasilnya akan sama dengan laba yang dihitung sebagai selisih pendapatan dan biaya. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya (Muqodim, 2005:111). Suwardjono (2005:455) mendefinisian laba sebagai penda-patan dikurangi biaya merupakan pendefinisian secara struktural atau sintaktik karena laba tidak didefinisi secara terpisah dari pengertian pendapatan dan biaya. Pengertian laba yang dianut oleh struktur akun¬tansi sekarang ini adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual. SFAC No. 1 dalam Ataina (1999) menyatakan bahwa laporan laba rugi yang disusun berdasar basis akrual lebih akurat untuk menaksir prospek aliran kas dari pada laporan laba rugi yang disusun berdasar basis kas. Pengertian semacam ini akan memudahkan pengukuran dan pelaporan laba secara objektif. Perekayasa akuntansi mengharapkan bahwa laba semacam itu bermanfaat bagi para pemakai statemen keuangan khususnya investor dan kreditor. Pendefinisian laba seperti ini jelas akan lebih bermakna se¬bagai pengukur kembalian atas investasi (return on investment) daripada sekadar perubahan kas. Di dalam laba akuntansi terdapat berbagai komponen yaitu kombinasi beberapa komponen pokok seperti laba kotor , laba usaha, laba sebelum pajak dan laba sesudah pajak (Muqodim, 2005:131). Sehingga dalam menentukan besarnya laba akuntansi investor dapat melihat dari perhitungan laba setelah pajak. SFAC No. 1 dalam Belkaoui (2000:332) mengasumsikan bahwa laba akuntansi merupakan ukuran yang baik dari kinerja suatu perusahaan dan bahwa laba akuntansi dapat digunakan untuk meramalkan arus kas masa depan. Penulis lain mengasumsikan bahwa laba akuntansi adalah relevan dengan cara yang biasa untuk model-model keputusan dari investor dan kreditor. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasinya diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai (Suwardjono, 2005: 456) : a) Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of retun on inuested capital). b) Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemcn. c) Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak. d) Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara. e) Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan public. f) Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang. g) Dasar kompensasi dan pembagian bonus. h) Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. i) Dasar pembagian dividen. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung-guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba. Karakteristik dari pengertian laba akuntansi semacam itu mengandung beberapa keunggulan. Beberapa keunggulan laba akuntansi yang dikemukakan oleh Muqodim (2005 : 114) adalah: 1) Terbukti teruji sepanjang sejarah bahwa laba akuntansi bermanfaat bagi para pemakainya dalam pengambilan kepu¬tusan ekonomi. 2) Laba akuntansi telah diukur dan dilaporkan secara obyektif dapat diuj kebenarannya sebab didasarkan pada transaksi nyata yang didukung oleh bukti. 3) Berdasarkan prinsip realisasi dalam mengakui pendapatan laba akuntansi memenuhi dasar konservatisme. 4) Laba akuntansi bermanfaat untuk tujuan pengendalian terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban manajemen. 2.5 Konsep Penyusutan di Dalam Laba Tunai. Fasilitas fisis atau biasa disebut dengan aktiva operasional menghasilkan pendapatan lebih banyak melalui penggunaannya daripada melalui penjualan kembali aktiva tersebut. Aktiva ini dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan (Dyckman dkk, 1996: 590). Fasilitas fisis memberi kontribusi jasa ke operasi berupa kapasitas atau daya. Sehingga kos daya atau kapsitas fasilitas fisis tersebut harus diserap menjadi bagian kos produksi dan akhirnya menjadi beban pendapatan (Suwardjono, 2005: 437). Prinsip-prinsip akuntansi menghendaki adanya penandingan biaya dari semua jenis aktiva operasional dengan pendapatan selama umur manfaatnya. Terminologi akuntansi untuk proses ini berbeda-beda tergantung pada kategori aktiva tersebut : 1. Penyusutan adalah alokasi periodik biaya aktiva tetap terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 2. Deplesi adalah alokasi periodik dari biaya sumber daya alam, seperti cadangan mineral dan kayu, terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 3. Amortisasi adalah alokasi periodik dari aktiva tak berwujud terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. Istilah amortisasi juga digunakan pada aktiva keuangan dan kewajiban. Depresiasi merupakan suatu proses alokasi kos secara sistematik dan rasional dan jumlah rupiahnya diukur atas dasar bagian kos potensi jasa yang dianggap telah dimanfaatkan dalam menciptakan pendapatan. Depresiasi sebagai biaya tidak berbeda dengan jenis biaya operasi lainnya. Depresiasi merupakan biaya yang benar-benar terjadi dan dikeluarkan seperti biaya lainnya. Memang benar biaya depresiasi untuk periode tertentu tidak menunjukan pengeluaran pada periode tersebut. Biaya depresiasi mengukur bagian pengeluaran masa lalu yang dipandang layak dibebankan terhadap kegiatan atau pendapatan periode berjalan. Jadi dapat dikatakan bahwa kos fasilitas fisis merupakan suatu bentuk ekstrem biaya dibayar di muka. Akuntansi depresiasi merupakan sarana untuk membebankan biaya dibayar di muka tersebut ke produksi atau periode berjalan (Suwardjono, 2005: 437-438). Pengertian depresiasi dan amortisasi sebagai proses akumulasi dana didasari bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, perusahaan harus dapat mengganti fasilitas fisik yang habis umurnya. Akibatnya perusahaan harus menyisihkan dana dari pendapatan yang diperoleh. Dengan mengurangi pendapatan, laba akan berkurang sebesar depresiasi dan amortisasi yang dibebankan. Depresiasi dan amortisasi adalah biaya tidak tunai karena depresiasi dan amortisasi tidak memerlukan pengeluaran kas. dianggap sebagai sumber dana untuk menghitung sumber dana atau aliran kas masuk (proceeds) dengan cara menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi (Suwardjono, 1989: 439). Cara menghitung semacam ini hanyalah salah satu teknik penghitungan sumber dana dimana depresiasi dan amortisasi sebagai beban non kas yang artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Sehingga pembebanan depresiasi ke dalam pendapatan serta menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi dapat dikatakan sebagai teknik dalam menghitung sumber dana. 2.6 Konsep Dividen Dividen adalah proporsi laba atau keuntungan yang dibagikan kepada para pemegang saham dalam jumlah yang sebanding dengan jumlah lembar saham yang dimilikinya (Baridwan, 2000:434). Semua keuntungan ataupun kerugian yang diperoleh perusahaan selama berusaha dalam satu periode tersebut dilaporkan oleh direksi kepada para pemegang saham dalam suatu rapat pemegang saham. Kebijakan pembagian dividen adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian laba akan dibagikan kepada para pemegang saham dan akan ditahan dalam perusahaan selanjutnya diinvestasikan kembali (Husnan,1994). Kebijakan pembagian dividen tergantung pada keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS). Kebijakan dividen penting bagi perusahaan dengan dua alasan, yaitu: 1. Pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut. 2. Laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan. Dividen yang dibagikan oleh perusahaan bisa tetap (tidak mengalami perubahan) dan bisa mengalami perubahan (ada kenaikan atau penurunan) dari dividen yang dibagikan sebelumnya. Dividen dapat berupa uang, skrip (script), barang atau saham (modal saham). Menurut Arief Suaidi (1994 : 230) ada tiga macam tanggal yang relevan dengan pembagian dividen yaitu: (1) tanggal pengumuman yaitu tanggal direksi mengumumkan akan membayar dividen, (2) tanggal pencatatan dividen, (3) tanggal pembayaran dividen. Tanggal pencatatan adalah batas tanggal untuk mendaftarkan nama pemilik saham. Dividen dibayarkan kepada orang yang tercatat sebagai pemilik saham pada tanggal pencatatan. Kalau jual beli saham terjadi setelah tanggal pencatatan, maka saham tersebut namanya dijual ex-taripa dividen; artinya dividen tidak diterima oleh pembeli saham. Sedangkan yang dimaksud dengan tanggal pembayaran adalah tanggal saat dividen dibayar. 2.6.1 Jenis-jenis Dividen a. Cash Dividen ialah dividen yang diberikan oleh perusahaan kepada para pemegang sahamnya dalam bentuk uang tunai (cash). Pada waktu rapat pemegang saham, perusahaan memutuskan bahwa sejumlah tertentu dari laba perusahaan akan dibagi dalam bentuk cash dividen (M. Munandar, 1983: 312). Perusahaan hanya berkewajiban membayar dividen setelah perusahaan tersebut mengumumkan akan membayar dividen. Dividen dibayarkan kepada pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham. Pembayaran dividen dapat dilakukan oleh perusahaan sendiri atau melalui pihak lain, umpamanya bank. Cara yang kedua biasanya yang dipilih perusahaan karena bank mempunyai banyak cabang, sehingga memudahkan pemegang saham yang mungkin sekali tersebar luas di seluruh Indonesia (Arief Suaidi, 1994: 230). Yang perlu diperhatikan oleh pimpinan perusahaan sebelum membuat pengumuman adanya dividen kas adalah apakah jumlah kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut. b. Script Dividen adalah suatu surat tanda kesediaan membayar sejumlah uang tertentu yang diberikan perusahaan kepada para pemegang saham sebagai dividen. Surat ini berbunga sampai dengan dibayarkannya uang tersebut kepada yang berhak. Script dividen seperti ini biasanya dibuat apabila pada waktu para pemegang saham mengambil keputusan tentang pembagian laba, dimana perusahaan belum (tidak) mempunyai persediaan uang cash yang cukup untuk membayar dividen cash (Arief Suaidi, 1994: 231). c. Property Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barang-barang (tidak berupa uang tunai ataupun (modal) saham perusahaan). Contoh dividen barang adalah dividen berupa persediaan atau saham yang meru¬pakan investasi perusahaan pada perusahaan lain. Pembagian dividen berupa barang sudah barang tentu lebih sulit dibanding pembagian dividen uang. Perusahaan melakukannya karena uang tunai perusahaan tertanam dalam investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan pen¬jualan investasi atau persediaan terutama bila jumlahnya cukup banyak akan me¬nyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun, sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri (Arief Suaidi, 1994 : 233). d. Liquidating Dividen adalah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham, dimana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran bagian laba (Cash Dividen), sedangkan sebagian lagi dimaksudkan sebagai pengembalian modal yang ditanamkan (diinvestasikan) oleh para pemegang saham ke dalam perusahaan tersebut (M. Munandar, 1983: 314). e. Stock Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri (M. Munandar, 1983: 314). Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima Stock Dividen. Dividen saham dapat berupa saham yang jenisnya sama maupun yang jenisnya berbeda. 2.7 Penelitian Terdahulu Pariwati dan Baridwan (1998) dalam Meythi (2006) menguji hubungan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas masa mendatang. Populasi yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan go publik selama enam periode mulai tahun 1989-1994. Pengujian menggunakan model regresi dimana menguji variabel tanpa factor deflator dan menguji variabel setelah dilakukan penyesuaian dengan factor deflator. Berdasarkan penelitiannya disimpulkan bahwa laba merupakan predictor yang lebih baik dari pada arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan dan positif antara laba akuntansi dengan dividen kas. Nahibaho (2000) menyimpulkan bahwa laba perusahaan saat ini merupakan predictor bagi dividen yang akan datang. Dengan demikian laba saat ini mempengaruhi kebijakan dividen yang akan datang. Baik laba saat ini ataupun arus kas saat ini bukan merupakan predictor bagi dividen saat ini dan tidak mempengaruhi kebijakan dividen saat ini. Barth et al. (2001) dan Kim dan Kross (2002) dalam Yolanda (2006) menyatakan bahwa laba memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi mendatang perusahaan, dan memiliki kemampuan yang lebih dibanding arus kas jika laba dipecah ke dalam beberapa komponen akrual. Bahkan Kim dan Kross (2002) menegaskan kemampuan laba dalam memprediksi arus kas meningkat sepanjang tahun. Kim dan Kross (2002) juga membedakan antara perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negative, hasilnya menyatakan bahwa hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun menurun. Hermi (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba bersih dan arus kas operasi terhadap dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi di BEJ pada periode 1999-2002. Hermi (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba bersih dengan dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi tahun 1999-2002. Watson dan Wells (2005) dalam Yolanda dan Rahmat (2006) menyatakan bahwa untuk perusahaan yang berlaba, ukuran berbasis laba lebih baik dalam menangkap kinerja perusahaan dibandingkan arus kas, sedangkan untuk perusahaan yang merugi baik laba maupun arus kas tidak dapat menangkap kinerja perusahaan dengan baik. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, mereka menganalisis 19 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 15 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2000 dan 16 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang positif dan kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. 2.8 Hipotesis Penelitian Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya histories. Tujuan laba secara umum didasari sebagai dasar perpajakan, petunjuk bagi kebijaksanaan perusahaan dan pengambilan keputusan, kebijaksanaan dividen serta sebagai ukuran efesiensi. Laba diakui sebagai suatu indikator dari jumlah maksimum yang harus dibagikan sebagai dividen dan ditahan untuk perluasan atau di investasikan kembali di dalam perusahaan. Selain laba akuntansi menurut Elizabeth (2000) kebanyakan perusahaan juga sering menggunakan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah penyusutan dan amortisasi, dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Efendri (1993) dalam Febby dan Murtanto (2004) meneliti persepsi manajemen tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan faktor-faktor yang dapat dikembalikan) dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Sehingga dirumuskan hipotesa sebagai berikut : 1.H01 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas HA1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2.H02 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas HA2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam perusahaan yang bergerak dalam sektor industri barang konsumsi dan terdaftar di BEJ sejak tahun 2002 sampai dangan tahun 2004. Teknik penarikan sample penelitian ini adalah dengan menggunakan menggunakan metode Purposive Non random Sampling, yaitu pengambilan sample penelitian secara non random (tidak acak) sehingga setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama akan terpilih menjadi sample penelitian (Supardi, 2005:114). Berdasarkan Indonesian Capital Market Directory di dapat 19 perusahaan yang bergerak dalam sector industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 menyajikan daftar Emiten yang bergerak di sektor industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 Nama Perusahaan Populasi Nama Perusahaan 1 PT. Delta Djakarta 2 PT. Ultra Jaya Milk Industri and Trading Company Tbk 3 PT. Bentoel 4 PT. Multi Bintang Indonesia 5 PT. Gudang Garam 6 PT. Merck 7 PT. Unilever Indonesia 8 PT. Sari Husada 9 PT. Aqua Golden Mississippi 10 PT. Mustika Ratu 11 PT. Indofood Sukses Makmur 12 PT. BAT Indonesia 13 PT. H.M. Sampoerna 14 PT. Dankos Laboratories 15 PT. Mandom Indonesia 16 PT. Indofarma 17 PT. Kedaung Indah Can 18 PT. Siantar TOP 19 PT. Tempo Scan Pacific Penyeleksian sample penelitian menggunakan teknik purposive sampling dimana terdapat kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam penentuan sample berdasarkan teknik purposive sampling antara lain: 1. Perusahaan yang telah terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004. 2. Perusahaan tersebut menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 3. Perusahaan tersebut mendapatkan laba bersih pada pada tahun 2002 sampai 2004. 4. Perusahaan tersebut membayar dividen kas pada tahun 2002 sampai 2005. Di bawah ini tabel 3.2 menampilkan seleksi sample dengan menggunakan teknik Purposive Non-Random Sampling. Tabel 3.2 Seleksi Sampel Keterangan Jumlah Jumlah Populasi Awal 19 Pelanggaran kriteria I : Perusahaan yang tidak terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004 0 Pelanggaran kriteria II : Perusahaan tersebut tidak menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 0 Pelanggaran kriteria III : Perusahaan yang laporan keuangannya dari tahun 2002-2004 berturut-turut rugi. 3 Pelanggaran kriteria IV : Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2003 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2004 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2005 3 Selama periode tahun 2002-2004, emiten yang bergerak disektor industri barang konsumsi yang memenuhi kriteria penelitian ada 19 perusahaan. Namun pada tahun 2002 hanya 15 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria, pada tahun 2003 terdapat 13 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria dan tahun 2004 terdapat 12 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria. 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian Untuk pengujian hipotesis terdapat variabel laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas. Operasionalisasi dari ketiga variabel tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 3.2.1 Variabel Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Namun, kebanyakan perusahaan juga sering mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-baban non kas (Murtanto dan Febby, 2004). Laba akuntansi yang digunakan dalam penellitian ini adalah laba bersih yang didapat dari selisih antara pendapatan yang operatif maupun tidak dan seluruh biaya operatif maupun tidak. Ukuran laba bersih sebagai variabel laba akuntansi mendasar pada penelitian Elizabeth (2000) dan Murtanto dan Febby (2004). Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan kinerja dan pertanggungjawaban manajemen. Laba tunai yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba akuntansi setelah ditambahkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah beban penyusutan dan beban amortisasi. 3.2.2 Variabel Dividen Kas Dividen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dividen kas. Besarnya dividen kas dapat dilihat pada laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Hal ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mencari keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai periode ini dengan nilai dividen kas yang dibagikan perusahaan. Misalnya penulis akan meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. 3.3 Metode Analisis Data Secara garis besar, metode statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian adalah stastistik inferensi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dari data yang telah dicatat dan diringkas tersebut (Singgih Santoso, 2005: 3). Dalam praktek, satatistik inferensi dapat dilakukan dengan metode parametrik ataupun metode non parametrik. Penelitian ini menggunakan metode statistik inferensi non parametrik dimana variabel (data) yang diuji bertipe data nominal dan ordinal dimana distribusi data populasinya tidak diketahui kenormalannya (Singgih Santoso, 2005: 4). Penelitian ini menggunakan model Korelasi Spearman yang digunakan untuk mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Wahid Sulaiman, 2003: 136). Menurut Kuncoro (1986:15) inti dari analisis korelasi adalah mengukur kekuatan hubungan antar variabel, tanpa menunjukan adanya sebab-akibat. Pada dasarnya Korelasi Spearman ini adalah mencari korelasi antar jenjang atau posisi urutan data, bukan nilai data (Syamsul Hadi, 2006: 138). Rumus untuk menghitung korelasi Spearman secara manual adalah: Dimana: r = Koefisien Korelasi Spearman (Rank Order) d = Merupakan perbedaan peringkat untuk setiap pasangan n = Jumlah pasangan pengamatan Untuk mandapatkan basarnya nilai korelasi spearman penelitian ini dapat menggunakan perhitungan dengan menggunakan software SPSS. 3.3.1 Tahapan Analisis Data Tahapan sebagai berikut : 1. Perusahaan yang go public di BEJ dipilih secara Purposive Non random Sampling sesuai kriteria. 2. Menghitung laba akuntansi dengan dividen kas 3. Menghitung laba tunai tiap-tiap periode 4. Melakukan uji analisis deskriptif. 5. Menghitung koefisien peringkat Spearman (r) menggunakan program Statistical Package for the Social (SPSS). 6. Melakukan uji signifikansi. Pengujian Hipotesis Nilai korelasi yang didapatkan dari penelitian merupakan nilai korelasi sampel, yang merupakan harga estimasi dari koefisien korelasi populasi yang dilambangkan dengan r. Untuk selanjutnya kita akan mengadakan uji hipotesis mengenai koefisien korelasi populasi yang tidak diketahui berdasarkan pada estimasi nilai koefisien korelasi sampel, yaitu r (Wahid Sulaiman, 2005: 136). Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: 1. Ho1 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas Ha1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2. Ho2 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Ha2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Hipotesa ini sama sekali tidak mempermasalhkan arah hubungan jenjang nilai, sehingga untuk tes hipotesa digunakan uji dua sisi (Syamsul Hadi, 2006: 140). Kaidah Pengambilan Keputusan Kaidah pengambilan keputusan untuk menentukan penerimaan atau penolakan Ho adalah sebagai berikut: • Apabila sig. (2-tailed) maka tolak Ho • Apabila sig. (2-tailed) > maka gagal menolak Ho 3.4 Data Penelitian Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ. Data tersebut berupa laporan keuangan tahunan yang didapat dari Indonesian Capital Market Directory dan Pusat Referensi Pasar Modal BEJ. Data laporan keuangan atau yang disebut juga data akuntansi yang dipakai adalah net earning (Laba bersih), biaya penyusutan dan nilai dividen kas perusahaan konsumsi. Adapun data tersebut diambil dari : 1. Laporan Laba-Rugi 2. Neraca 3. Laporan arus kas 4. Laporan perubahan ekuitas Periodisasi data penelitian ini meliputi data tahun 2002, 2003, dan 2004. Penggunaan data beberapa periode akan mengungkap seberapa besar pengaruh laba yang dihasilkan perusahaan terhadap besarnya nilai dividen kas suatu perusahaan. Tabel 3.3 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 Tabel 3.3 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2002 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 44,839,000,000 6,405,272,000 2 PT. Ultra Jaya Milk 18,906,000,000 9,627,940,000 3 PT. Bentoel International 100,780,000,000 13,466,250,000 4 PT. Multi Bintang Indonesia 85,050,000,000 104,866,000,000 5 PT. Gudang Garam 2,086,893,000,000 577,227,000,000 6 PT. Merck 37,429,000,000 40,320,000,000 7 PT. Unilever Indonesia 978,249,000,000 1,220,800,000,000 8 PT. Sari Husada 177,300,000,000 70,632,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 66,110,000,000 11,319,726,780 10 PT. Mustika Ratu 20,452,000,000 1,663,973,872 11 PT. Indofood Sukses Makmur 802,633,000,000 238,774,746,000 12 PT. BAT Indonesia 118,180,000,000 36,300,000,000 13 PT. H.M. Sampoerna 1,671,084,000,000 834,008,000,000 14 PT. Dankos Laboratories 93,174,000,000 17,860,500,000 15 PT. Mandom Indonesia 82,492,058,369 23,400,000,000 Tabel 3.4 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003. Tabel 3.4 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2003 (dalam Rp) No Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 37,662,965,000 5,604,615,000 2 PT. Multi Bintang Indonesia 90,222,000,000 90,222,000,000 3 PT. Gudang Garam 1,838,673,000,000 577,227,000,000 4 PT. Merck 50,580,140,000 62,720,000,000 5 PT. Unilever Indonesia 1,296,711,000,000 1,526,000,000,000 6 PT. Sari Husada 220,617,000,000 214,425,000,000 7 PT. Aqua Golden Mississipi 63,246,000,000 10,529,978,400 8 PT. Tempo Scan Pacific 322,697,954,673 180,000,000,000 9 PT. Siantar TOP 31,182,287,799 11,135,000,000 10 PT. Indofood Sukses Makmur 603,481,302,847 238,800,492,000 11 PT. H.M. Sampoerna 1,406,844,000,000 2,935,033,000,000 12 PT. Dankos Laboratories 125,546,692,204 17,860,500,000 13 PT. Mandom Indonesia 61,852,532,260 25,740,000,000 Tabel 3.5 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004. Tabel 3.5 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2004 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 38,696,202,000 5,604,615,000 2 PT. Bentoel International 80,938,123,594 15,644,062,500 3 PT. Multi Bintang Indonesia 86,297,000,000 108,637,000,000 4 PT. Gudang Garam 1,790,209,000,000 962,044,000,000 5 PT. Merck 57,238,518,000 31,360,000,000 6 PT. Unilever Indonesia 1,468,445,000,000 1,526,000,000,000 7 PT. Sari Husada 181,878,000,000 280,770,000,000 8 PT. Mandom Indonesia 82,492,000,000 31,200,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 91,582,035,931 15,531,718,140 10 PT. Tempo Scan Pacific 324,469,792,119 180,000,000,000 11 PT. Indofood Sukses Makmur 378,056,338,230 149,250,307,500 12 PT. H.M. Sampoerna 1,991,852,000,000 2,695,545,000,000 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk melihat keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas yang dibagikan perusahaan. Obyek yang diteliti adalah perusahaan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya sehingga didapatkan sampel akhir penelitian sebanyak 15 perusahaan untuk tahun 2002, 13 perusahaan untuk tahun 2003 dan 12 perusahaan untuk tahun 2004. Jumlah sampel penelitian mempresentasikan 78,18 % dari populasi tahun 2002, 68,8 % untuk tahun 2003 dan 63,31 % untuk tahun 2004. Dengan populasi sebanyak itu maka dibutuhkan 171 laporan keuangan yang dijadikan sub sampel penelitian. Analisa Laba Akuntansi dengan Dividen Kas Data laba akuntansi dan dividen kas untuk tahun 2002, 2003, 2004 dapat di lihat pada bab sebelumnya. Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. Uniliver memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Ultrajaya dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. H.M. Sampoerna memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Siantar Top dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba akuntansi dan dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi dan dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta 4.3 Perhitungan Laba Tunai Laba tunai dalam penelitian ini diperoleh dari menambahkan nilai laba akuntansi dengan beban penyusutan dan amortisasi. Adapun nilai penyusutan dan amortisasi didapat dari neraca perusahan yang bersangkutan atau dari laporan arus kas yang menggunakan metode tidak langsung. Di bawah ini disajikan perhitungan laba tunai perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Rumus laba tunai = Laba akuntansi + biaya penyusutan dan amortisasi. Tabel 4.1 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2002 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 62,596,000,000 16,965,373,000 61,804,373,000 PT. Ultra Jaya Milk 23,727,000,000 11,126,401,540 30,032,401,540 PT. Bentoel International 109,970,000,000 2,287,116,010 103,067,116,010 PT. Multi Bintang Indonesia 123,380,000,000 6,228,609,000 91,278,609,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 50,112,000,000 2,137,005,000,000 PT. Merck 54,455,000,000 405,766,000 37,834,766,000 PT. Unilever Indonesia 1,384,504,000,000 7,847,000,000 986,096,000,000 PT. Sari Husada 252,859,000,000 8,899,000,000 186,199,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 969,943,000,000 18,025,621,880 84,135,621,880 PT. Mustika Ratu 29,053,000,000 214,743,540 20,666,743,540 PT. Indofood Sukses Makmur 1,718,084,000,000 34,484,094,800 837,117,094,800 PT. BAT Indonesia 172,125,000,000 252,000,000 118,432,000,000 PT. H.M. Sampoerna 2,566,802,000,000 71,000,000 1,671,155,000,000 PT. Dankos Laboratories 127,848,000,000 5,123,348,200 98,297,348,200 PT. Mandom Indonesia 81,760,000,000 2,550,359,830 85,042,418,199 Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Tabel 4.2 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2003. Tabel 4.2 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2003 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 54,788,000,000 19,408,890,000 57,071,855,000 PT. Multi Bintang Indonesia 131,848,000,000 2,209,000,000 92,431,000,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 87,029,000,000 1,925,702,000,000 PT. Merck 72,137,000,000 624,889,000 51,205,029,000 PT. Unilever Indonesia 1,819,766,000,000 597,000,000 1,297,308,000,000 PT. Sari Husada 313,243,000,000 6,463,000,000 227,080,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 93,328,000,000 9,958,090,150 73,204,090,150 PT. Tempo Scan Pacific 434,560,000,000 9,853,431,940 332,551,386,613 PT. Siantar TOP 45,943,000,000 3,202,166,730 34,384,454,529 PT. Indofood Sukses Makmur 1,031,135,000,000 44,599,140,500 648,080,443,347 PT. H.M. Sampoerna 2,199,497,000,000 7,148,000,000 1,413,992,000,000 PT. Dankos Laboratories 176,681,000,000 9,805,372,450 135,352,064,654 PT. Mandom Indonesia 89,850,000,000 1,810,331,750 63,662,864,010 Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Siantar Top. Tabel 4.3 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2004. Tabel 4.3 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2004 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 57,390,000,000 19,306,642,000 58,002,844,000 PT. Bentoel International Inv 90,246,000,000 17,777,538,760 98,715,662,354 PT. Multi Bintang Indonesia 128,867,000,000 5,747,000,000 92,044,000,000 PT. Gudang Garam 2,570,280,000,000 25,145,000,000 1,815,354,000,000 PT. Merck 82,436,000,000 4,418,993,000 61,657,511,000 PT. Unilever Indonesia 2,102,323,000,000 7,189,000,000 1,475,634,000,000 PT. Sari Husada 293,509,000,000 1,513,000,000 183,391,000,000 PT. Mandom Indonesia 119,561,000,000 5,250,501,180 87,742,501,180 PT. Aqua Golden Mississipi 133,477,000,000 4,980,890,600 96,562,926,531 PT. Tempo Scan Pacific 435,763,000,000 9,746,709,680 334,216,501,799 PT. Indofood Sukses Makmur 852,380,000,000 46,184,938,148 424,241,276,378 PT. H.M. Sampoerna 3,059,104,000,000 42,008,000,000 2,033,860,000,000 Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. 4.4 Analisis Deskriptif Uji statistik deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi bahwa data yang digunakan dalam penelitian adalah data normal dan homogen (Syamsul Hadi, 2004: 102). Suatu data dikatakan homogen dan normal berdasarkan nilai kurtosis dan Skewnessnya. Diharapkan hasil uji statistik secara umum dapat melegitimasi validitas dan reliabilitas variabel yang digunakan dalam uji statistik setiap hipotesis penelitian. Hasil analisis statistik deskriptif dengan bantuan komputer program Microsoft Excel disajikan dalam lampiran 1. Adapun tabel dibawah ini hanya menampilkan nilai Kurtosis, Skewness dan standar deviasi sebagai acuan untuk mentukan normal dan homogennya suatu data serta untuk menunjukan ada tidaknya data ekstrim (Syamsul Hadi, 2004:113). Data yang sempurna adalah data yang memiliki nilai kurtosis tinggi, skewness dan standar deviasi rendah. Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Perusahaan Populasi Keterangan Variabel Nilai Kurtosis Nilai Skewness Standar Deviasi Laba Akuntansi 0,906597641 1,546086205 637,196,355,566 Laba Tunai 4 2,197378851 551,274,338,796 Dividen Kas 8,084053858 2,828892771 1,001,191,320,822 Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa data penelitian ini dapat dikatakan normal dan homogen. Suatu data dapat dikatakan homogen apabila memiliki nilai kurtosis >3. Sedangkan suatu data dikatakan homogen apabila memiliki nilai skewness = 0, tetapi hal ini sangat sulit dijumpai. Sehingga apabila data memiliki nilai skewness yang kecil, maka data tersebut bisa ‘dianggap’ normal (tidak miring) (Syamsul Hadi, 2004: 111-112). Menurut tabel 4.4 data laba akuntansi dapat dikatakan normal dan berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai kurtosis dan skewness untuk laba akuntansi sebesar 0,9065 dan nilai skewness sebesar 1,54608. Nilai kurtosis sebesar 0,9065 termasuk berdistribusi datar (platikurtis) dimana distribusi data itu menyebar. Meskipun distribusi datanya menyebar, tetapi data laba akuntansi tidak memiliki data ekstrim. Berdasarkan nilai kurtosis, nilai skewness dan standar deviasi dapat disimpulkan bahwa data untuk laba akuntansi dapat dikatakan berdistribusi normal dan tidak memiliki data ekstrim. Nilai laba tunai dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 4, nilai skewness yang kecil sebesar 2,197378851 dan nilai standar deviasi yang tidak terlalu besar yaitu sebesar 551,274,338,796. Sehingga dapat disimpulkan data laba tunai memiliki distribusi normal dan tidak memiliki titik ekstrim. Begitupun dengan nilai dividen kas dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 8,084053858, nilai skewness yang kecil sebesar 2,828892771. 4.5 Perhitungan Koefisien Korelasi Spearman Korelasi Spearman Rank digunakan mencari keeratan hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Sugiyono, 1999: 282). Perhitungan koefisien korelasi spearman dapat menggunakan software SPSS. Menurut Young dalam Wahid Sulaiman (2003:135), ukuran korelasi adalah sebagai berikut : • 0,70 – 1,00 (baik plus atau minus) menunjukan adanya derajat asosiasi yang tinggi. • 0,40 - < 0,70 (baik plus atau minus) menunjukan hubungan yang substansial. • 0,20 - < 0,40 (baik plus atau minus) menunjukan adanya korelasi yang rendah. • < 0,20 (baik plus atau minus) berarti dapat diabaikan. 4.5.1 Perhitungan Korelasi Tahun 2002 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2002 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.5 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2002 Berdasarkan hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 menunjukan nilai rs sebesar 0,829. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2002. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,836. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2002. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2002 laba tunai lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba akuntansi. 4.5.2 Perhitungan Korelasi Tahun 2003 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2003 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2003 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003 menunjukan nilai rs sebesar 0,885. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2003. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,857. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2003. Menurut penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba akuntansi dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2003 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.5.3 Perhitungan Korelasi Tahun 2004 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2004 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.7 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2004 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004 menunjukan nilai rs sebesar 0,874. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah. Dengan kata lain apabila jumlah laba akuntansi besar maka jumlah dividen kas juga besar. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,853. Nilai ini dapat menunjukan adanya korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2004. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2004 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.6 Uji Signifikansi Hasil korelasi belum bisa digunakan untuk membuktikan bahwa hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas maupun antara laba tunai dengan dividen kas signifikan atau tidak. Oleh karena itu dilakukan uji signifikansi antara variabel-variabel tersebut. Tabel 4.8 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.8 Uji Signifikansi Tahun 2002 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.8 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2002. Tabel 4.9 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.9 Uji Signifikansi Tahun 2003 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.9 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2003. Tabel 4.10 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan laba tunai terhadap dividen kas Tabel 4.10 Uji Signifikansi Tahun 2004 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.10 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2004. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas pada perusahaan yang go public, dalam hal ini perusahaan konsumsi di Bursa Efek Jakarta. Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas dipakai pengujian Korelasi Spearman. Berdasarkan analisa statistic non parametrik dalam hal ini menggunakan Korelasi Spearman yang mengukur asosiasi (hubungan) variabel dan uji signifikannya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Laba Akuntansi terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba akuntansi terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho1 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha1 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 2. Laba Tunai terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba tunai terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho2 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha2 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 5.2 Keterbatasan Penelitian Meskipun hipotesa yang diajukan penelitian ini telah teruji secara signifikan, namun sebagai dasar pengambilan keputusan bagi para akademisi maupun para praktisi, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih mengandung beberapa keterbatasan. Untuk itu bagi para akademisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi para praktisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan investasi dan ekonomik lainnya diharapkan memperhatikan beberapa keterbatasan penelitian ini. 1. Penelitian ini hanya membahas hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas. Padahal faktor yang berhubungan dengan dividen kas cukup banyak, seperti: arus kas operasi, penjualan, posisi likuiditas perusahaan, dll. 2. Penelitian ini hanya pada perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ untuk tahun 2002 sampai 2004 yang dipilih berdasarkan purposive non random sampling. 3. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu selama tiga tahun, masih terlalu singkat. 5.3 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka saran-saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1. Perusahaan sebaiknya dalam pembagian dividen kas berdasarkan pada laba akuntansi, karena menurut penelitian yang telah dilakukan nilai koefisien korelasi laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar dari koefisien korelasi laba tunai terhadap dividen kas. Walaupun pada tahun 2002 nilai koefisien laba tunai terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba akuntansi terhadap dividen kas tetapi untuk tahun 2003 dan 2004 nilai koefisien laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba tunai terhadap dividen kas 2. Sebaiknya penelitian dilakukan terhadap lebih dari satu jenis perusahaan sehingga hasilnya dapat dibandingkan antara perusahaan yang satu dengan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Arief Suaidi, Akuntansi Keuangan Menengah, Edisi ke-1, Sekolah Tinggi Ilmu YKPN, Yogyakarta, April 1994. Ataina Hudayati, Comprehensive Income: Upaya Meningkatkan Relevensi Pelaporan Laba, JAAI, Vol.3, No.1, Juni 1999, Hal 52. Belkoui, Ahmed Riahi, Accounting Theory, Edisi keempat, terjemahan, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Dahler, Yolanda dan Rahmat Febrianto, Kemampuan Prediktif Earning Dan Arus Kas Dalam Memprediksi Arus Kas Masa Depan, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 3. Dermawan, Elizabeth Sugiarto, Laba Akuntansi dan Laba Tunai dengan dividen Kas, Jurnal Akuntansi Universitas Tarumanegara. Dyckman, Dukes dan Davis, Akuntansi Intermediate, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta, 1996. Financial Accounting Standard Board (FASB), Statement of Financial Accounting Concept, IL: FASB, 1991. Harahap, Sofyan Syafri, Teori Akuntansi, Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta, 2001. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Teori Akunting, Edisi ke-5, Interaksara, 2000. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Accounting Theory, Fifth Ed. Homewood Illinois: Richard D. Irwin, Inc, 1992. Hermi, Hubungan Laba Bersih Dan Arus Kas Operasi Terhadap Dividen Kas Pada Perusahaan Perdagangan Besar Barang Produksi Di BEJ Pada Periode 1999-2002, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.4, No.3, Desember 2004, Hal 247-257. Husnan, Suad, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, UUP-AMP, YKPN, Yogyakarta, 1994. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Standar Akauntansi Keuangan, Jakarta, 2004. Indriantoro, Supomo, Metodeologi Penelitian Bisnis, Edisi pertama, BPFE – Yogyakarta, 1999. Januar, Sri Astuti dan Agung Wirawan, Praktik Perataan Laba dan Kinerja Saham Perusahaan Publik Di Indonesia, JAAI, Vol.6, No.2, Desember 2004, Hal 45. Meythi, Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan Persisitensi Laba Sebagai Variabel Intervening, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 4. Mudrajat Kuncoro, Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, Juni 2001. Murtanto dan Feby Feiruza Yuridya, Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi, Vol.4, No.1, April, 2004, hal. 85-105. Munandar, M, Pokok-Pokok Intermediate Accounting, Edisi ke-5, Liberty, Yogyakarta, 1983. Muqodim, Teori Akuntansi, Edisi ke-1, Ekonisia, Yogyakarta, Mei 2005. Nahibaho, Pengaruh Laba dan Arus Kas Terhadap Pembagian Dividen Pada Perusahaan yang GO Publik di Indonesia, Tesis Tidak Dipublikasikan, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000. Puspitasari, Dian Agustin dan Banu Witono, Pengaruh Pengumuman Dividen Tunai Terhadap Reaksi Pasar, JAK, Vol.3, No.2, Septembar 2004, Hal 108. Rahmat, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ, Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999. Singgih Santoso, Menggunakan SPSS Untuk Statistik Non-Parametrik, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2005. Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Pertama, UII Press, Januari 2005. Supranto, J, Metode Riset Aplikasi Dalam Pemasaran, Edisi Revisi ke-7, Sineka Cipta, Jakarta, September 2002. Suwardjono, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ke-3, BPFE, Yogyakarta, Maret 2005. Syamsul Hadi, Metodeologi Penelitian Kuantitatif untuk Akuntansi & Keuangan, Ekonisia, Yogyakarta, 2006. Wahid Sulaiman, Statistik Non Parametrik Contoh Kasus Dan Pemecahannya Dengan SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2003 Yusuf, Muhammad dan Soraya, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Asing dan Non Asing Di Indonesia, JAI, Vol.8, No.1, Juni 2004, Hal 100-103. LAMPIRAN 1 Analisa Deskriptif Laba Akuntansi Laba Tunai Dividen Kas Mean 444,864,612,342 308,267,922,790 497,999,201,198 Standard Error 96060964963 83107733561 150,935,270,660 Median 96977000000 78669856015 91619755500 Mode #N/A #N/A 577,227,000,000 Standard Deviation 637,196,355,566 551,274,338,796 1,001,191,320,822 Sample Variance 406,019,195,546,151,000,000,000 303,903,396,614,709,000,000,000 1,002,384,060,889,950,000,000,000 Kurtosis 0.906597641 4 8.084053858 Skewness 1.546086205 2.197378851 2.828892771 Range 2,079,501,000,000 2,135,492,000,000 4,729,253,000,000 Minimum 7392000000 1513000000 152000000 Maximum 2,086,893,000,000 2,137,005,000,000 4,729,405,000,000 Sum 19,574,042,943,026 13,563,788,602,740 21,911


skripsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembagian dividen untuk memaksimumkan pemegang saham atau harga saham dan menunjukan likuiditas perusahaan. Dari sisi investor dividen merupakan salah satu motivator untuk menanamkan dana dipasar modal. Investor lebih memilih dividen yang berupa kas dibandingkan dengan capital gain. Perilaku ini diakui oleh Gordon-Litner sebagai “The bird in the hand theory” bahwa satu burung di tangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Selain itu investor juga dapat mengevaluasi kinerja perusahaan dengan menilai besarnya dividen yang dibagikan. Dari sisi emiten kebijakan dividen sangat penting bagi mereka, apakah sebagai keuntungan perusahaan akan lebih banyak digunakan untuk membayar dividen dibanding retain earning atau sebaliknya. Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Penelitian ini menggunakan laba akuntansi sebagai pengukur kinerja akuntansi perusahaan. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung¬guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba (Muqodim, 2005:114). Laba akuntansi adalah laba dari kaca mata perekayasa akuntansi atau ke-satuan usaha karena keperluan untuk menyajikan informasi secara objektif dan terandalkan. Laba akuntansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba yang didapat dari selisih hasil penjualan dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan (laba bersih). Selain menggunakan nilai laba akuntansi dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan, seringkali perusahaan juga mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini; beban penyusutan dan amortisasi. Depresiasi dan amortisasi merupakan biaya non kas, artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan, penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Suatu aktiva dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan. Penyusutan aktiva dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Efendri (1993) dalam Murtanto dan Febby (2004) tesisnya meneliti tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Pada umumnya laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas yang dibagikan dari laba tunai. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas. Mereka menganalisis perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 2000 dan 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Murtanto dan Febby (2004) dengan judul “Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas Pada Industri Barang Konsumsi Di Indonesia”. 1.2 Paparan Masalah Dari latar belakang masalah seperti telah diuraikan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas? 2. Apakah terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas? 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Laba Akuntansi, yaitu laba yang didapat dari penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan dan biaya-biaya operasi perusahaan. Laba akuntansi dalam penelitian ini menggunakan laba bersih (net earnings) sebagai variabel laba akuntansi. Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan bagian laba yang akan ditahan di dalam perusahaan dan yang akan dibagikan sebagai dividen. 2. Laba tunai, yaitu laba yang didapat dari laba akuntansi ditambah dengan beban penyusutan dan amortisasi. 3. Nilai dividen kas pada penelitian ini didapat dari laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Apabila penulis meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. Hal ini dikarenakan bahwa penelitian ini menganalisis adakah hubungan besarnya laba akuntansi dan laba tunai mempengaruhi dividen kas yang dibagikan perusahaan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan paparan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas perusahaan yang telah go public di BEJ untuk periode tahun 2002, 2003, 2004. Sedangkan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada : 1. Investor maupun calon investor, sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk membeli, menjual atau menahan saham bedasarkan harapan atas dividen kas yang dibagikan menggunakan informasi laba akuntansi dan laba tunai yang dilaporkan perusahaan. 2. Emiten maupun calon emiten, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dividen agar memaksimumkan nilai perusahaan. 3. Akademisi, untuk menambah wawasan tentang prilaku pasar modal khususnya mengenai kebijakan dividen. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Laporan Keuangan Informasi akuntansi keuangan menunjukkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan yang digunakan oleh para pemakainya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pengertian laporan keuangan menurut PSAK No1 (2004) merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap dari laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan serta materi penjelasan yang merupakan bagian intergral dalam laporan keuangan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004: 100). Laporan keuangan yang sebenarnya merupakan produk akhir dari proses atau kegiatan akuntansi dalam satu kesatuan. Proses akuntansi dimulai dari pengumpulan bukti-bukti transaksi yang terjadi sampai pada penyusunan laporan keuangan. Proses akuntansi tersebut harus dilaksanakan menurut cara tertentu yang lazim dan berterima umum serta sesuai dengan standar akuntansi keuangan. 2.2 Tujuan Laporan Keuangan Menurut PSAK (2004) tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi serta menunjukkan kinerja yang telah dilakukan manajemen (stewardship), atau pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan meliputi: 1) Aktiva 2) Kewajiban 3) Ekuitas 4) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan 5) Arus kas Informasi tersebut di atas beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan, khususnya dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas. 2.3 Manfaat Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk mendapatkan informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang dicapai oleh perusahaan. Data keuangan tersebut akan lebih berarti jika diperbandingkan dan dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh data yang dapat mendukung keputusan yang diambil. Menurut Statement of Financial Accounting Concept No. 1, tujuan dan manfaat laporan keuangan adalah: 1) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor dan pengguna lainnya yang potensial dalam membuat keputusan lain yang sejenis secara rasional. 2) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi yang dapat membantu investor, kreditor, dan pengguna lain yang potensial dalam memperkirakan jumlah waktu dan ketidakpastian penerimaan kas di masa yang akan datang yang berasal dari pembagian deviden ataupun pembayaran bunga dan pendapatan dari penjualan. 3) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang sumber daya ekonomi perusahaan. Klaim atas sumber daya kepada perusahaan atau pemilik modal. 4) Pelaporan keuangan harus menyajikan informasi tentang prestasi perusahaan selama satu periode. Investor dan kreditor sering menggunakan informasi masa lalu untuk membantu menaksir prospek perusahaan. Menurut PSAK (2004) pihak-pihak yang memanfaatkan laporan keuangan adalah (IAI,2004) : 1) Investor. Penanam modal berisiko dan penasehat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 2) Karyawan. Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. 3) Pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. 4) Pemasok dan kreditor usaha lainnya. Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. 5) Pelanggan. Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. 6) Pemerintah. Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaanya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena ini berkepentingan dengan aktivitas perusahaan, mereka menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya. 7) Masyarakat. Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya. 2.4 Studi Kandungan Informasi Atas Laba Laporan keuangan merupakan bahasa bisnis sebagai alat komunikasi oleh pihak internal yaitu manajemen dengan pihak eksternal seperti kreditor, investor dan pemerintah. Seluruh bagian laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas atau perubahan laba ditahan, laporan arus kas dan catatan laporan keuangan perusahaan merupakan bagian penting dari laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan tidak dirancang untuk mengukur nilai suatu perusahaan secara langsung tetapi informasi yang disediakan dimaksudkan untuk mengestimasi nilai perusahaan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Laporan keuangan juga merupakan produk dari akuntansi yang menyajikan data-data kuantitatif keuangan atas semua transaksi-transaksi yang telah dilaksanakan oleh suatu perusahaan untuk suatu peride tertentu. Laporan keuangan dibuat untuk mempertanggungjawabkan atas aktifitas perusahaan terhadap pemilik dan juga membebankan informasi mengenai posisi perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (Muhammad Yusuf dan Soraya, 2004). Laporan keuangan ini disusun oleh manajemen, sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan juga menunjukkan kinerja manajemen dan merupakan sumber dalam mengevaluasi performance kinerja manajemen. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja tersebut adalah laba. Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahan yang bertujuan selain untuk menilai kinerja manajemen, juga untuk membantu mengestimasi kemempuan laba yang representatif dalam jangka panjang, meramalkan laba, menaksir resiko dalam berinvestasi atau kredit, memprediksi arus kas masa depan serta memiliki pengaruh besar bagi penggunanya dalam pengambilan suatu keputusan. Sebagaimana disebutkan dalam Statement of Finansial Accounting Consept (SFAC) nomor 1 bahwa informasi laba pada umumnya merupakan perhatian utama dalam menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen dan informasi laba membantu pemilik atau pihak lain melakukan penaksiran atas earning power perusahaan dimasa yang akan datang (Januar dan Sri, 2002). Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Consepts (SFAC) nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (FASB, 1980). Menurut PSAK Nomor 1 informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya (IAI, 2004). Bagi pemilik saham dan atau investor, laba berarti peningkatan nilai ekonomis (wealth) yang akan diterima, melalui pembagian dividen. 2.4.1 Konsep Laba Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang merniliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi, dan pengambilan keputusan, dan unsur prediksi (Belkaoui,1993) Dalam SFAC no. 1 menyebutkan bahwa informasi laba merupakan komponen laporan keuangan yang disediakan dengan tujuan membantu menyediakan informasi untuk menilai kinerja manajemen, mengestimasi kemampuan laba yang representative dalam jangka panjang dan menaksir resiko dalam investasi atau kredit. Pengertian laba secara konvensional adalah nilai maksimum yang dapat dibagi atau di konsumsi selama satu periode akuntansi dimana keadaan pada akhir periode masih sama seperti pada awal periode. Laba dipandang sebagai suatu peralatan prediktif yang membantu dalam peramalan laba mendatang dan peristiwa ekonomi yang akan datang. Laba terdiri dari hasil operasional, atau luar biasa, dan hasil-hasil non-operasional, atau keuntungan dan kerugian luar biasa, dimana jumlah keseluruhannya sama dengan laba bersih. Laba biasa dianggap bersifat masa kini (current) dan berulang, sedangkan keuntungan dan kerugian luar biasa tidak demikian (Rahmat, 2006 : 9). Ditinjau dari ruang lingkupnya terdapat 3 konsep laba sebagaimana dikemukakan FASB dalam SFAC nomor 5 (1984) yaitu: earning, net income dan comprehensive income. Earning merupakan laba selama satu periode akuntansi tanpa ada pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi. Perbedaan income dengan net income terletak pada perhitungan pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (Muqodim, 2005:113). Menurut Suwardjono (2005:455) makna income dalam konteks perpajakan dapat berbeda atau bahkan berbeda dengan makna income dalam akuntansi atau pelaporan keuangan. Dalam perpa¬jakan, income dimaknai sebagai jumlah kotor sehingga diterjemahkan sebagai penghasilan sebagaimana digunakan dalam Standar Akuntansi Keuangan. Dalam buku-buku teks akuntansi (khususnya teori akuntansi, istilah income pada umumnya dimaknai sebagai jumlah bersih sehingga istilah laba lebih meng¬gambarkan apa yang dimaksud income dalam buku-buku tersebut. Muqodim (2005:111) menyatakan bahwa banyak literatur akuntansi sebagian penulis mengutip pendapat tentang tujuan penghitungan laba dan pengertian laba sebagaimana dikemukakan oleh ekonom John Hiks (1949) yang dapat dikemukakan bahwa laba pribadi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi selama periode (misalnya satu minggu atau satu bulan) dengan harapan keadaannya pada akhir periode tetap sama (as well off) seperti keadaan awal periode. Setelah ekonom John Hick (1949) mengemukakan konsep laba, banyak literatur yang mengadaptasikan pengertian laba yang bersumber dari John Hick. Menurut FASB dalam SFAC nomor 6 menyatakan bahwa Comprehensive Income atau laba komprehensip adalah perubahan modal (aktiva bersih) perusahaan selama satu periode, dari transaksi, peristiwa lain dan keadaan dari sumber selain pemilik. Sedangkan Vemon Kam mengemukakan bahwa Income atau laba merupakan perubahan modal suatu kesatuan usaha di antara dua titik waktu tidak termasuk perubahan-perubahan akibat investasi oleh pemilik dan distribusi kepada pemilik, dimana modal dinyatakan dengan ukuran nilai dan didasarkan pada skala tertentu. Dalam KDPPLK-SAK income diterjemahkan menjadi penghasilan yang didefinisikan sebagai berikut: Penghasilan (income) adalah kenaikan menfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Laba dalam teori akuntansi biasanya lebih menunjuk pada konsep yang oleh FASB disebut dengan laba komprehensif. Laba komprehensif dimaknai sebagai kenaikan aset bersih selain yang berasal dari transaksi dengan pemilik. Sedangkan earning adalah laba yang diakumulasikan selama beberapa periode atau kenaikan ekuitas atau aktiva neto suatu perusahaan yang disebabkan karena aktivitas operasi maupun aktivitas di luar usaha selama periode tertentu. Earning merupakan konsep yang paling sempit sedang comprehensive income merupakan konsep paling luas (Muqodim, 2005:110). 2.4.2 Kualitas Informasi Laba M. Yusuf, dkk (2002) menyebutkan bahwa informasi laba harus dilihat dalam kaitannya dengan persepsi pengambilan keputusan. Karena kualitas informasi laba ditentukan oleh kemampuannya memotivasi tindakan individu dan membantu pengambilan keputusan yang efektif. Hal ini didukung oleh FASB yang menerbitkan SFAC No. 1 yang menganggap bahwa laba akuntansi merupakan pengukuran yang baik atas prestasi perusahaan dan oleh karena itu laba akuntansi hendaknya dapat digunakan dalam prediksi arus kas dan laba di masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang tersebut, Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory edisi kelima (1992:338) menetapkan tiga konsep dalam usaha mendefinisikan dan mengukur laba menuju tingkatan bahasa. Adapun konsep-konsep tersebut meliputi: a. Konsep Laba pada Tingkat Sintaksis (Struktural) Pada tingkat sintaksis konsep income dihubungkan dengan konvensi (kebiasaan) dan aturan logis serta konsisten dengan mendasarkan pada premis dan konsep yang telah berkembang dari praktik akuntansi yang ada. Terdapat dua pendekatan pengukuran laba (income measurement) pada tingkat sintaksis, yaitu: Pendekatan Transaksi dan Pendekatan Aktiva. b. Konsep Laba pada Tingkat Sematik (Interpretatif) Pada konsep ini income ditelaah hubungannya dengan realita ekonomi. Dalam usahanya memberikan makna interpretatif dari konsep laba akuntansi (accounting income), para akuntan seringkali merujuk pada dua konsep ekonomi. Kedua konsep ekonomi tersebut adalah Konsep Pemeliharaan Modal dan Laba sebagai Alat Ukur Efisiensi. c. Konsep Laba pada Tingkat Pragmatis (Perilaku) Pada tinmgkat pragmatis (perilaku) konsep income dikaitkan dengan pengguna laporan keuangan terhadap informasi yang tersirat dari laba perusahaan. Beberapa reaksi usaha users dapat ditunjukkan dengan proses pengambilan keputusan dari investor dan kreditor, reaksi harga surat terhadap pelaporan income atau reaksi umpan balik (feedback) dari manajemen dan akuntan terhadap income yang dilaporkan. Konsep income ini paling tidak harus memberikan implikasi income sebagai bahan pengambilan keputusan manajemen. Secara ringkas, laba bersih (net income) disajikan untuk masing-masing kelompok penerima dengan menggunakan konsep-konsep sebagai berikut : Tabel 2.1 Konsep Laba, Perhitungan dan Penerima Laba Konsep Laba Perhitungan Laba Pihak Penerima Laba Nilai Tambah (Value Added) Harga jual produksi dari jasa dikurangi harga pokok barang dan jasa yang dijual. Pegawai, pemilik, kreditor dan pemerintah Laba Bersih Perusahaan (Enterprise Net Income) Kelebihan hasil (revenue) dari biaya, seluruh pendapatan (gain) dan rugi. Biaya tidak termasuk bunga, pajak dan bagi hasil. Pemegang saham, pemegang obligasi dan pemerintah. Laba Bersih bagi investor (Net Income to Investor) Sama seperti enterprise net income tetapi setelah dikurangi pajak penghasilan. Pemegang saham, pemegang obligai dan kreditor jangka panjang. Laba bersih bagi pemegang saham residual (Residual Equity Holders) Laba bersih kepada pemegang saham dikurangi dividen saham preferen Pemegang saham biasa (sekarang dan yang potensial) terkecuali prioritas pembayaran tidak terpenuhi. 2.4.3 Laba Akuntansi Ada dua ukuran kinerja akuntansi perusahaan yaitu laba akuntansi dan total arus kas. Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis. Dalam metode historical cost (biaya historis) laba diukur berdasarkan selisih aktiva bersih awal dan akhir periode yang masing-masing diukur dengan biaya historis, sehingga hasilnya akan sama dengan laba yang dihitung sebagai selisih pendapatan dan biaya. Menurut pengertian akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan kepadanya (Muqodim, 2005:111). Suwardjono (2005:455) mendefinisian laba sebagai penda-patan dikurangi biaya merupakan pendefinisian secara struktural atau sintaktik karena laba tidak didefinisi secara terpisah dari pengertian pendapatan dan biaya. Pengertian laba yang dianut oleh struktur akun¬tansi sekarang ini adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual. SFAC No. 1 dalam Ataina (1999) menyatakan bahwa laporan laba rugi yang disusun berdasar basis akrual lebih akurat untuk menaksir prospek aliran kas dari pada laporan laba rugi yang disusun berdasar basis kas. Pengertian semacam ini akan memudahkan pengukuran dan pelaporan laba secara objektif. Perekayasa akuntansi mengharapkan bahwa laba semacam itu bermanfaat bagi para pemakai statemen keuangan khususnya investor dan kreditor. Pendefinisian laba seperti ini jelas akan lebih bermakna se¬bagai pengukur kembalian atas investasi (return on investment) daripada sekadar perubahan kas. Di dalam laba akuntansi terdapat berbagai komponen yaitu kombinasi beberapa komponen pokok seperti laba kotor , laba usaha, laba sebelum pajak dan laba sesudah pajak (Muqodim, 2005:131). Sehingga dalam menentukan besarnya laba akuntansi investor dapat melihat dari perhitungan laba setelah pajak. SFAC No. 1 dalam Belkaoui (2000:332) mengasumsikan bahwa laba akuntansi merupakan ukuran yang baik dari kinerja suatu perusahaan dan bahwa laba akuntansi dapat digunakan untuk meramalkan arus kas masa depan. Penulis lain mengasumsikan bahwa laba akuntansi adalah relevan dengan cara yang biasa untuk model-model keputusan dari investor dan kreditor. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasinya diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai (Suwardjono, 2005: 456) : a) Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of retun on inuested capital). b) Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemcn. c) Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak. d) Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara. e) Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan public. f) Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang. g) Dasar kompensasi dan pembagian bonus. h) Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. i) Dasar pembagian dividen. Bila dilihat secara mendalam, laba akuntansi bukanlah definisi yang sesung-guhnya dari laba melainkan hanya merupakan penjelasan mengenai cara untuk menghitung laba. Karakteristik dari pengertian laba akuntansi semacam itu mengandung beberapa keunggulan. Beberapa keunggulan laba akuntansi yang dikemukakan oleh Muqodim (2005 : 114) adalah: 1) Terbukti teruji sepanjang sejarah bahwa laba akuntansi bermanfaat bagi para pemakainya dalam pengambilan kepu¬tusan ekonomi. 2) Laba akuntansi telah diukur dan dilaporkan secara obyektif dapat diuj kebenarannya sebab didasarkan pada transaksi nyata yang didukung oleh bukti. 3) Berdasarkan prinsip realisasi dalam mengakui pendapatan laba akuntansi memenuhi dasar konservatisme. 4) Laba akuntansi bermanfaat untuk tujuan pengendalian terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban manajemen. 2.5 Konsep Penyusutan di Dalam Laba Tunai. Fasilitas fisis atau biasa disebut dengan aktiva operasional menghasilkan pendapatan lebih banyak melalui penggunaannya daripada melalui penjualan kembali aktiva tersebut. Aktiva ini dapat dipandang sebagai kuantitas jasa ekonomi potensial yang dikonsumsi selama menghasilkan pendapatan (Dyckman dkk, 1996: 590). Fasilitas fisis memberi kontribusi jasa ke operasi berupa kapasitas atau daya. Sehingga kos daya atau kapsitas fasilitas fisis tersebut harus diserap menjadi bagian kos produksi dan akhirnya menjadi beban pendapatan (Suwardjono, 2005: 437). Prinsip-prinsip akuntansi menghendaki adanya penandingan biaya dari semua jenis aktiva operasional dengan pendapatan selama umur manfaatnya. Terminologi akuntansi untuk proses ini berbeda-beda tergantung pada kategori aktiva tersebut : 1. Penyusutan adalah alokasi periodik biaya aktiva tetap terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 2. Deplesi adalah alokasi periodik dari biaya sumber daya alam, seperti cadangan mineral dan kayu, terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. 3. Amortisasi adalah alokasi periodik dari aktiva tak berwujud terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. Istilah amortisasi juga digunakan pada aktiva keuangan dan kewajiban. Depresiasi merupakan suatu proses alokasi kos secara sistematik dan rasional dan jumlah rupiahnya diukur atas dasar bagian kos potensi jasa yang dianggap telah dimanfaatkan dalam menciptakan pendapatan. Depresiasi sebagai biaya tidak berbeda dengan jenis biaya operasi lainnya. Depresiasi merupakan biaya yang benar-benar terjadi dan dikeluarkan seperti biaya lainnya. Memang benar biaya depresiasi untuk periode tertentu tidak menunjukan pengeluaran pada periode tersebut. Biaya depresiasi mengukur bagian pengeluaran masa lalu yang dipandang layak dibebankan terhadap kegiatan atau pendapatan periode berjalan. Jadi dapat dikatakan bahwa kos fasilitas fisis merupakan suatu bentuk ekstrem biaya dibayar di muka. Akuntansi depresiasi merupakan sarana untuk membebankan biaya dibayar di muka tersebut ke produksi atau periode berjalan (Suwardjono, 2005: 437-438). Pengertian depresiasi dan amortisasi sebagai proses akumulasi dana didasari bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, perusahaan harus dapat mengganti fasilitas fisik yang habis umurnya. Akibatnya perusahaan harus menyisihkan dana dari pendapatan yang diperoleh. Dengan mengurangi pendapatan, laba akan berkurang sebesar depresiasi dan amortisasi yang dibebankan. Depresiasi dan amortisasi adalah biaya tidak tunai karena depresiasi dan amortisasi tidak memerlukan pengeluaran kas. dianggap sebagai sumber dana untuk menghitung sumber dana atau aliran kas masuk (proceeds) dengan cara menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi (Suwardjono, 1989: 439). Cara menghitung semacam ini hanyalah salah satu teknik penghitungan sumber dana dimana depresiasi dan amortisasi sebagai beban non kas yang artinya biaya tersebut tidak lagi memerlukan pengeluaran kas sekarang ataupun di masa depan. Sehingga pembebanan depresiasi ke dalam pendapatan serta menambahkan kembali nilai depresiasi dan amortisasi ke laba akuntansi dapat dikatakan sebagai teknik dalam menghitung sumber dana. 2.6 Konsep Dividen Dividen adalah proporsi laba atau keuntungan yang dibagikan kepada para pemegang saham dalam jumlah yang sebanding dengan jumlah lembar saham yang dimilikinya (Baridwan, 2000:434). Semua keuntungan ataupun kerugian yang diperoleh perusahaan selama berusaha dalam satu periode tersebut dilaporkan oleh direksi kepada para pemegang saham dalam suatu rapat pemegang saham. Kebijakan pembagian dividen adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian laba akan dibagikan kepada para pemegang saham dan akan ditahan dalam perusahaan selanjutnya diinvestasikan kembali (Husnan,1994). Kebijakan pembagian dividen tergantung pada keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS). Kebijakan dividen penting bagi perusahaan dengan dua alasan, yaitu: 1. Pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut. 2. Laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan. Dividen yang dibagikan oleh perusahaan bisa tetap (tidak mengalami perubahan) dan bisa mengalami perubahan (ada kenaikan atau penurunan) dari dividen yang dibagikan sebelumnya. Dividen dapat berupa uang, skrip (script), barang atau saham (modal saham). Menurut Arief Suaidi (1994 : 230) ada tiga macam tanggal yang relevan dengan pembagian dividen yaitu: (1) tanggal pengumuman yaitu tanggal direksi mengumumkan akan membayar dividen, (2) tanggal pencatatan dividen, (3) tanggal pembayaran dividen. Tanggal pencatatan adalah batas tanggal untuk mendaftarkan nama pemilik saham. Dividen dibayarkan kepada orang yang tercatat sebagai pemilik saham pada tanggal pencatatan. Kalau jual beli saham terjadi setelah tanggal pencatatan, maka saham tersebut namanya dijual ex-taripa dividen; artinya dividen tidak diterima oleh pembeli saham. Sedangkan yang dimaksud dengan tanggal pembayaran adalah tanggal saat dividen dibayar. 2.6.1 Jenis-jenis Dividen a. Cash Dividen ialah dividen yang diberikan oleh perusahaan kepada para pemegang sahamnya dalam bentuk uang tunai (cash). Pada waktu rapat pemegang saham, perusahaan memutuskan bahwa sejumlah tertentu dari laba perusahaan akan dibagi dalam bentuk cash dividen (M. Munandar, 1983: 312). Perusahaan hanya berkewajiban membayar dividen setelah perusahaan tersebut mengumumkan akan membayar dividen. Dividen dibayarkan kepada pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham. Pembayaran dividen dapat dilakukan oleh perusahaan sendiri atau melalui pihak lain, umpamanya bank. Cara yang kedua biasanya yang dipilih perusahaan karena bank mempunyai banyak cabang, sehingga memudahkan pemegang saham yang mungkin sekali tersebar luas di seluruh Indonesia (Arief Suaidi, 1994: 230). Yang perlu diperhatikan oleh pimpinan perusahaan sebelum membuat pengumuman adanya dividen kas adalah apakah jumlah kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut. b. Script Dividen adalah suatu surat tanda kesediaan membayar sejumlah uang tertentu yang diberikan perusahaan kepada para pemegang saham sebagai dividen. Surat ini berbunga sampai dengan dibayarkannya uang tersebut kepada yang berhak. Script dividen seperti ini biasanya dibuat apabila pada waktu para pemegang saham mengambil keputusan tentang pembagian laba, dimana perusahaan belum (tidak) mempunyai persediaan uang cash yang cukup untuk membayar dividen cash (Arief Suaidi, 1994: 231). c. Property Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barang-barang (tidak berupa uang tunai ataupun (modal) saham perusahaan). Contoh dividen barang adalah dividen berupa persediaan atau saham yang meru¬pakan investasi perusahaan pada perusahaan lain. Pembagian dividen berupa barang sudah barang tentu lebih sulit dibanding pembagian dividen uang. Perusahaan melakukannya karena uang tunai perusahaan tertanam dalam investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan pen¬jualan investasi atau persediaan terutama bila jumlahnya cukup banyak akan me¬nyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun, sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri (Arief Suaidi, 1994 : 233). d. Liquidating Dividen adalah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham, dimana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran bagian laba (Cash Dividen), sedangkan sebagian lagi dimaksudkan sebagai pengembalian modal yang ditanamkan (diinvestasikan) oleh para pemegang saham ke dalam perusahaan tersebut (M. Munandar, 1983: 314). e. Stock Dividen adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri (M. Munandar, 1983: 314). Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima Stock Dividen. Dividen saham dapat berupa saham yang jenisnya sama maupun yang jenisnya berbeda. 2.7 Penelitian Terdahulu Pariwati dan Baridwan (1998) dalam Meythi (2006) menguji hubungan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas masa mendatang. Populasi yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan go publik selama enam periode mulai tahun 1989-1994. Pengujian menggunakan model regresi dimana menguji variabel tanpa factor deflator dan menguji variabel setelah dilakukan penyesuaian dengan factor deflator. Berdasarkan penelitiannya disimpulkan bahwa laba merupakan predictor yang lebih baik dari pada arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas. Elizabeth (2000) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas, dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, ia menganalisa 25 perusahaan yang go publik di BEJ pada tahun 1992, 1993 dan 1994. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa ada konsistensi hubungan yang signifikan dan positif antara laba akuntansi dengan dividen kas. Nahibaho (2000) menyimpulkan bahwa laba perusahaan saat ini merupakan predictor bagi dividen yang akan datang. Dengan demikian laba saat ini mempengaruhi kebijakan dividen yang akan datang. Baik laba saat ini ataupun arus kas saat ini bukan merupakan predictor bagi dividen saat ini dan tidak mempengaruhi kebijakan dividen saat ini. Barth et al. (2001) dan Kim dan Kross (2002) dalam Yolanda (2006) menyatakan bahwa laba memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi mendatang perusahaan, dan memiliki kemampuan yang lebih dibanding arus kas jika laba dipecah ke dalam beberapa komponen akrual. Bahkan Kim dan Kross (2002) menegaskan kemampuan laba dalam memprediksi arus kas meningkat sepanjang tahun. Kim dan Kross (2002) juga membedakan antara perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negative, hasilnya menyatakan bahwa hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun menurun. Hermi (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan laba bersih dan arus kas operasi terhadap dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi di BEJ pada periode 1999-2002. Hermi (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba bersih dengan dividen kas pada perusahaan perdagangan besar barang produksi tahun 1999-2002. Watson dan Wells (2005) dalam Yolanda dan Rahmat (2006) menyatakan bahwa untuk perusahaan yang berlaba, ukuran berbasis laba lebih baik dalam menangkap kinerja perusahaan dibandingkan arus kas, sedangkan untuk perusahaan yang merugi baik laba maupun arus kas tidak dapat menangkap kinerja perusahaan dengan baik. Murtanto dan Febby (2004) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman Rank, mereka menganalisis 19 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 1999, 15 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2000 dan 16 perusahaan industri barang konsumsi pada tahun 2001. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa adanya hubungan yang positif dan kuat antara laba akuntansi terhadap dividen kas. 2.8 Hipotesis Penelitian Ahmed Belkaoui (2000:332) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya histories. Tujuan laba secara umum didasari sebagai dasar perpajakan, petunjuk bagi kebijaksanaan perusahaan dan pengambilan keputusan, kebijaksanaan dividen serta sebagai ukuran efesiensi. Laba diakui sebagai suatu indikator dari jumlah maksimum yang harus dibagikan sebagai dividen dan ditahan untuk perluasan atau di investasikan kembali di dalam perusahaan. Selain laba akuntansi menurut Elizabeth (2000) kebanyakan perusahaan juga sering menggunakan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah penyusutan dan amortisasi, dalam menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Efendri (1993) dalam Febby dan Murtanto (2004) meneliti persepsi manajemen tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan faktor-faktor yang dapat dikembalikan) dalam kebijakan pembagian dividen kas. Penelitian dilakukan terhadap 84 perusahaan yang mengembalikan questionnaires, seluruhnya merupakan perusahaan go public sampai akhir tahun 1991. Hasilnya menyatakan bahwa faktor peningkatan dan penurunan laba termasuk faktor yang sangat penting dipertimbangkan manajemen dalam kebijakan pembagian dividen kas. Sehingga dirumuskan hipotesa sebagai berikut : 1.H01 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas HA1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2.H02 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas HA2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam perusahaan yang bergerak dalam sektor industri barang konsumsi dan terdaftar di BEJ sejak tahun 2002 sampai dangan tahun 2004. Teknik penarikan sample penelitian ini adalah dengan menggunakan menggunakan metode Purposive Non random Sampling, yaitu pengambilan sample penelitian secara non random (tidak acak) sehingga setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama akan terpilih menjadi sample penelitian (Supardi, 2005:114). Berdasarkan Indonesian Capital Market Directory di dapat 19 perusahaan yang bergerak dalam sector industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 menyajikan daftar Emiten yang bergerak di sektor industri barang konsumsi hingga tahun 2004. Tabel 3.1 Nama Perusahaan Populasi Nama Perusahaan 1 PT. Delta Djakarta 2 PT. Ultra Jaya Milk Industri and Trading Company Tbk 3 PT. Bentoel 4 PT. Multi Bintang Indonesia 5 PT. Gudang Garam 6 PT. Merck 7 PT. Unilever Indonesia 8 PT. Sari Husada 9 PT. Aqua Golden Mississippi 10 PT. Mustika Ratu 11 PT. Indofood Sukses Makmur 12 PT. BAT Indonesia 13 PT. H.M. Sampoerna 14 PT. Dankos Laboratories 15 PT. Mandom Indonesia 16 PT. Indofarma 17 PT. Kedaung Indah Can 18 PT. Siantar TOP 19 PT. Tempo Scan Pacific Penyeleksian sample penelitian menggunakan teknik purposive sampling dimana terdapat kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam penentuan sample berdasarkan teknik purposive sampling antara lain: 1. Perusahaan yang telah terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004. 2. Perusahaan tersebut menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 3. Perusahaan tersebut mendapatkan laba bersih pada pada tahun 2002 sampai 2004. 4. Perusahaan tersebut membayar dividen kas pada tahun 2002 sampai 2005. Di bawah ini tabel 3.2 menampilkan seleksi sample dengan menggunakan teknik Purposive Non-Random Sampling. Tabel 3.2 Seleksi Sampel Keterangan Jumlah Jumlah Populasi Awal 19 Pelanggaran kriteria I : Perusahaan yang tidak terdaftar di BEJ dari tahun 2002-2004 0 Pelanggaran kriteria II : Perusahaan tersebut tidak menerbitkan laporan keuangan pada tahun terakhir, yaitu tahun 2002, 2003, 2004. 0 Pelanggaran kriteria III : Perusahaan yang laporan keuangannya dari tahun 2002-2004 berturut-turut rugi. 3 Pelanggaran kriteria IV : Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2003 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2004 2 Perusahaan yang tidak membagikan dividen kas pada tahun 2005 3 Selama periode tahun 2002-2004, emiten yang bergerak disektor industri barang konsumsi yang memenuhi kriteria penelitian ada 19 perusahaan. Namun pada tahun 2002 hanya 15 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria, pada tahun 2003 terdapat 13 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria dan tahun 2004 terdapat 12 perusahaan barang konsumsi yang memenuhi kriteria. 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian Untuk pengujian hipotesis terdapat variabel laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas. Operasionalisasi dari ketiga variabel tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 3.2.1 Variabel Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dalam penetapan kebijaksanaan mengenai pembagian dividen, faktor yang menjadi perhatian manajemen adalah besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. Namun, kebanyakan perusahaan juga sering mempertimbangkan laba tunai yang pada dasarnya merupakan laba akuntansi setelah diperhitungkan dengan beban-baban non kas (Murtanto dan Febby, 2004). Laba akuntansi yang digunakan dalam penellitian ini adalah laba bersih yang didapat dari selisih antara pendapatan yang operatif maupun tidak dan seluruh biaya operatif maupun tidak. Ukuran laba bersih sebagai variabel laba akuntansi mendasar pada penelitian Elizabeth (2000) dan Murtanto dan Febby (2004). Alasan penggunaan laba bersih sebagai variabel laba akuntansi dikarenakan laba bersih adalah laba yang menunjukan kinerja dan pertanggungjawaban manajemen. Laba tunai yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba akuntansi setelah ditambahkan dengan beban-beban non kas dalam hal ini adalah beban penyusutan dan beban amortisasi. 3.2.2 Variabel Dividen Kas Dividen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dividen kas. Besarnya dividen kas dapat dilihat pada laporan keuangan tahunan pada bagian laporan perubahan ekuitas tahun berikutnya. Hal ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mencari keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai periode ini dengan nilai dividen kas yang dibagikan perusahaan. Misalnya penulis akan meneliti laporan keuangan tahun 2003, maka nilai dividen kas diperoleh dari laporan perubahan ekuitas yang disajikan pada laporan keuangan tahun 2004. 3.3 Metode Analisis Data Secara garis besar, metode statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian adalah stastistik inferensi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dari data yang telah dicatat dan diringkas tersebut (Singgih Santoso, 2005: 3). Dalam praktek, satatistik inferensi dapat dilakukan dengan metode parametrik ataupun metode non parametrik. Penelitian ini menggunakan metode statistik inferensi non parametrik dimana variabel (data) yang diuji bertipe data nominal dan ordinal dimana distribusi data populasinya tidak diketahui kenormalannya (Singgih Santoso, 2005: 4). Penelitian ini menggunakan model Korelasi Spearman yang digunakan untuk mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Wahid Sulaiman, 2003: 136). Menurut Kuncoro (1986:15) inti dari analisis korelasi adalah mengukur kekuatan hubungan antar variabel, tanpa menunjukan adanya sebab-akibat. Pada dasarnya Korelasi Spearman ini adalah mencari korelasi antar jenjang atau posisi urutan data, bukan nilai data (Syamsul Hadi, 2006: 138). Rumus untuk menghitung korelasi Spearman secara manual adalah: Dimana: r = Koefisien Korelasi Spearman (Rank Order) d = Merupakan perbedaan peringkat untuk setiap pasangan n = Jumlah pasangan pengamatan Untuk mandapatkan basarnya nilai korelasi spearman penelitian ini dapat menggunakan perhitungan dengan menggunakan software SPSS. 3.3.1 Tahapan Analisis Data Tahapan sebagai berikut : 1. Perusahaan yang go public di BEJ dipilih secara Purposive Non random Sampling sesuai kriteria. 2. Menghitung laba akuntansi dengan dividen kas 3. Menghitung laba tunai tiap-tiap periode 4. Melakukan uji analisis deskriptif. 5. Menghitung koefisien peringkat Spearman (r) menggunakan program Statistical Package for the Social (SPSS). 6. Melakukan uji signifikansi. Pengujian Hipotesis Nilai korelasi yang didapatkan dari penelitian merupakan nilai korelasi sampel, yang merupakan harga estimasi dari koefisien korelasi populasi yang dilambangkan dengan r. Untuk selanjutnya kita akan mengadakan uji hipotesis mengenai koefisien korelasi populasi yang tidak diketahui berdasarkan pada estimasi nilai koefisien korelasi sampel, yaitu r (Wahid Sulaiman, 2005: 136). Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: 1. Ho1 = Tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas Ha1 = Terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas 2. Ho2 = Tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Ha2 = Terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas Hipotesa ini sama sekali tidak mempermasalhkan arah hubungan jenjang nilai, sehingga untuk tes hipotesa digunakan uji dua sisi (Syamsul Hadi, 2006: 140). Kaidah Pengambilan Keputusan Kaidah pengambilan keputusan untuk menentukan penerimaan atau penolakan Ho adalah sebagai berikut: • Apabila sig. (2-tailed) maka tolak Ho • Apabila sig. (2-tailed) > maka gagal menolak Ho 3.4 Data Penelitian Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ. Data tersebut berupa laporan keuangan tahunan yang didapat dari Indonesian Capital Market Directory dan Pusat Referensi Pasar Modal BEJ. Data laporan keuangan atau yang disebut juga data akuntansi yang dipakai adalah net earning (Laba bersih), biaya penyusutan dan nilai dividen kas perusahaan konsumsi. Adapun data tersebut diambil dari : 1. Laporan Laba-Rugi 2. Neraca 3. Laporan arus kas 4. Laporan perubahan ekuitas Periodisasi data penelitian ini meliputi data tahun 2002, 2003, dan 2004. Penggunaan data beberapa periode akan mengungkap seberapa besar pengaruh laba yang dihasilkan perusahaan terhadap besarnya nilai dividen kas suatu perusahaan. Tabel 3.3 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 Tabel 3.3 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2002 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 44,839,000,000 6,405,272,000 2 PT. Ultra Jaya Milk 18,906,000,000 9,627,940,000 3 PT. Bentoel International 100,780,000,000 13,466,250,000 4 PT. Multi Bintang Indonesia 85,050,000,000 104,866,000,000 5 PT. Gudang Garam 2,086,893,000,000 577,227,000,000 6 PT. Merck 37,429,000,000 40,320,000,000 7 PT. Unilever Indonesia 978,249,000,000 1,220,800,000,000 8 PT. Sari Husada 177,300,000,000 70,632,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 66,110,000,000 11,319,726,780 10 PT. Mustika Ratu 20,452,000,000 1,663,973,872 11 PT. Indofood Sukses Makmur 802,633,000,000 238,774,746,000 12 PT. BAT Indonesia 118,180,000,000 36,300,000,000 13 PT. H.M. Sampoerna 1,671,084,000,000 834,008,000,000 14 PT. Dankos Laboratories 93,174,000,000 17,860,500,000 15 PT. Mandom Indonesia 82,492,058,369 23,400,000,000 Tabel 3.4 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003. Tabel 3.4 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2003 (dalam Rp) No Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 37,662,965,000 5,604,615,000 2 PT. Multi Bintang Indonesia 90,222,000,000 90,222,000,000 3 PT. Gudang Garam 1,838,673,000,000 577,227,000,000 4 PT. Merck 50,580,140,000 62,720,000,000 5 PT. Unilever Indonesia 1,296,711,000,000 1,526,000,000,000 6 PT. Sari Husada 220,617,000,000 214,425,000,000 7 PT. Aqua Golden Mississipi 63,246,000,000 10,529,978,400 8 PT. Tempo Scan Pacific 322,697,954,673 180,000,000,000 9 PT. Siantar TOP 31,182,287,799 11,135,000,000 10 PT. Indofood Sukses Makmur 603,481,302,847 238,800,492,000 11 PT. H.M. Sampoerna 1,406,844,000,000 2,935,033,000,000 12 PT. Dankos Laboratories 125,546,692,204 17,860,500,000 13 PT. Mandom Indonesia 61,852,532,260 25,740,000,000 Tabel 3.5 di bawah ini merupakan data laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004. Tabel 3.5 Data Laba Akuntansi dan Dividen Kas Tahun 2004 (dalam Rp) No. Nama Emiten Laba Akuntansi Dividen Kas 1 PT. Delta Djakarta 38,696,202,000 5,604,615,000 2 PT. Bentoel International 80,938,123,594 15,644,062,500 3 PT. Multi Bintang Indonesia 86,297,000,000 108,637,000,000 4 PT. Gudang Garam 1,790,209,000,000 962,044,000,000 5 PT. Merck 57,238,518,000 31,360,000,000 6 PT. Unilever Indonesia 1,468,445,000,000 1,526,000,000,000 7 PT. Sari Husada 181,878,000,000 280,770,000,000 8 PT. Mandom Indonesia 82,492,000,000 31,200,000,000 9 PT. Aqua Golden Mississipi 91,582,035,931 15,531,718,140 10 PT. Tempo Scan Pacific 324,469,792,119 180,000,000,000 11 PT. Indofood Sukses Makmur 378,056,338,230 149,250,307,500 12 PT. H.M. Sampoerna 1,991,852,000,000 2,695,545,000,000 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk melihat keeratan hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai dengan dividen kas yang dibagikan perusahaan. Obyek yang diteliti adalah perusahaan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya sehingga didapatkan sampel akhir penelitian sebanyak 15 perusahaan untuk tahun 2002, 13 perusahaan untuk tahun 2003 dan 12 perusahaan untuk tahun 2004. Jumlah sampel penelitian mempresentasikan 78,18 % dari populasi tahun 2002, 68,8 % untuk tahun 2003 dan 63,31 % untuk tahun 2004. Dengan populasi sebanyak itu maka dibutuhkan 171 laporan keuangan yang dijadikan sub sampel penelitian. Analisa Laba Akuntansi dengan Dividen Kas Data laba akuntansi dan dividen kas untuk tahun 2002, 2003, 2004 dapat di lihat pada bab sebelumnya. Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. Uniliver memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Ultrajaya dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba akuntansi terbesar, sedangkan untuk nilai dividen kas PT. H.M. Sampoerna memperoleh dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi terkecil didapat oleh PT. Siantar Top dan nilai dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba akuntansi dan dividen kas terbesar. Jumlah laba akuntansi dan dividen kas terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta 4.3 Perhitungan Laba Tunai Laba tunai dalam penelitian ini diperoleh dari menambahkan nilai laba akuntansi dengan beban penyusutan dan amortisasi. Adapun nilai penyusutan dan amortisasi didapat dari neraca perusahan yang bersangkutan atau dari laporan arus kas yang menggunakan metode tidak langsung. Di bawah ini disajikan perhitungan laba tunai perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Rumus laba tunai = Laba akuntansi + biaya penyusutan dan amortisasi. Tabel 4.1 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2002 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 62,596,000,000 16,965,373,000 61,804,373,000 PT. Ultra Jaya Milk 23,727,000,000 11,126,401,540 30,032,401,540 PT. Bentoel International 109,970,000,000 2,287,116,010 103,067,116,010 PT. Multi Bintang Indonesia 123,380,000,000 6,228,609,000 91,278,609,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 50,112,000,000 2,137,005,000,000 PT. Merck 54,455,000,000 405,766,000 37,834,766,000 PT. Unilever Indonesia 1,384,504,000,000 7,847,000,000 986,096,000,000 PT. Sari Husada 252,859,000,000 8,899,000,000 186,199,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 969,943,000,000 18,025,621,880 84,135,621,880 PT. Mustika Ratu 29,053,000,000 214,743,540 20,666,743,540 PT. Indofood Sukses Makmur 1,718,084,000,000 34,484,094,800 837,117,094,800 PT. BAT Indonesia 172,125,000,000 252,000,000 118,432,000,000 PT. H.M. Sampoerna 2,566,802,000,000 71,000,000 1,671,155,000,000 PT. Dankos Laboratories 127,848,000,000 5,123,348,200 98,297,348,200 PT. Mandom Indonesia 81,760,000,000 2,550,359,830 85,042,418,199 Pada tahun 2002 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Mustika Ratu. Tabel 4.2 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2003. Tabel 4.2 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2003 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 54,788,000,000 19,408,890,000 57,071,855,000 PT. Multi Bintang Indonesia 131,848,000,000 2,209,000,000 92,431,000,000 PT. Gudang Garam 3,006,712,000,000 87,029,000,000 1,925,702,000,000 PT. Merck 72,137,000,000 624,889,000 51,205,029,000 PT. Unilever Indonesia 1,819,766,000,000 597,000,000 1,297,308,000,000 PT. Sari Husada 313,243,000,000 6,463,000,000 227,080,000,000 PT. Aqua Golden Mississipi 93,328,000,000 9,958,090,150 73,204,090,150 PT. Tempo Scan Pacific 434,560,000,000 9,853,431,940 332,551,386,613 PT. Siantar TOP 45,943,000,000 3,202,166,730 34,384,454,529 PT. Indofood Sukses Makmur 1,031,135,000,000 44,599,140,500 648,080,443,347 PT. H.M. Sampoerna 2,199,497,000,000 7,148,000,000 1,413,992,000,000 PT. Dankos Laboratories 176,681,000,000 9,805,372,450 135,352,064,654 PT. Mandom Indonesia 89,850,000,000 1,810,331,750 63,662,864,010 Pada tahun 2003 dapat dilihat bahwa PT. Gudang Garam memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Siantar Top. Tabel 4.3 di bawah ini merupakan perhitungan nilai laba tunai tahun 2004. Tabel 4.3 Perhitungan Laba Tunai Tahun 2004 (dalam Rp) Nama Emiten Laba Akuntansi (a) Penyusutan & Amortisasi (b) Laba Tunai (c) = (a+b) PT. Delta Djakarta 57,390,000,000 19,306,642,000 58,002,844,000 PT. Bentoel International Inv 90,246,000,000 17,777,538,760 98,715,662,354 PT. Multi Bintang Indonesia 128,867,000,000 5,747,000,000 92,044,000,000 PT. Gudang Garam 2,570,280,000,000 25,145,000,000 1,815,354,000,000 PT. Merck 82,436,000,000 4,418,993,000 61,657,511,000 PT. Unilever Indonesia 2,102,323,000,000 7,189,000,000 1,475,634,000,000 PT. Sari Husada 293,509,000,000 1,513,000,000 183,391,000,000 PT. Mandom Indonesia 119,561,000,000 5,250,501,180 87,742,501,180 PT. Aqua Golden Mississipi 133,477,000,000 4,980,890,600 96,562,926,531 PT. Tempo Scan Pacific 435,763,000,000 9,746,709,680 334,216,501,799 PT. Indofood Sukses Makmur 852,380,000,000 46,184,938,148 424,241,276,378 PT. H.M. Sampoerna 3,059,104,000,000 42,008,000,000 2,033,860,000,000 Pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa PT. H.M. Sampoerna memperoleh laba tunai terbesar, sedangkan untuk nilai laba tunai terkecil didapat oleh PT. Delta Djakarta. 4.4 Analisis Deskriptif Uji statistik deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi bahwa data yang digunakan dalam penelitian adalah data normal dan homogen (Syamsul Hadi, 2004: 102). Suatu data dikatakan homogen dan normal berdasarkan nilai kurtosis dan Skewnessnya. Diharapkan hasil uji statistik secara umum dapat melegitimasi validitas dan reliabilitas variabel yang digunakan dalam uji statistik setiap hipotesis penelitian. Hasil analisis statistik deskriptif dengan bantuan komputer program Microsoft Excel disajikan dalam lampiran 1. Adapun tabel dibawah ini hanya menampilkan nilai Kurtosis, Skewness dan standar deviasi sebagai acuan untuk mentukan normal dan homogennya suatu data serta untuk menunjukan ada tidaknya data ekstrim (Syamsul Hadi, 2004:113). Data yang sempurna adalah data yang memiliki nilai kurtosis tinggi, skewness dan standar deviasi rendah. Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Perusahaan Populasi Keterangan Variabel Nilai Kurtosis Nilai Skewness Standar Deviasi Laba Akuntansi 0,906597641 1,546086205 637,196,355,566 Laba Tunai 4 2,197378851 551,274,338,796 Dividen Kas 8,084053858 2,828892771 1,001,191,320,822 Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa data penelitian ini dapat dikatakan normal dan homogen. Suatu data dapat dikatakan homogen apabila memiliki nilai kurtosis >3. Sedangkan suatu data dikatakan homogen apabila memiliki nilai skewness = 0, tetapi hal ini sangat sulit dijumpai. Sehingga apabila data memiliki nilai skewness yang kecil, maka data tersebut bisa ‘dianggap’ normal (tidak miring) (Syamsul Hadi, 2004: 111-112). Menurut tabel 4.4 data laba akuntansi dapat dikatakan normal dan berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai kurtosis dan skewness untuk laba akuntansi sebesar 0,9065 dan nilai skewness sebesar 1,54608. Nilai kurtosis sebesar 0,9065 termasuk berdistribusi datar (platikurtis) dimana distribusi data itu menyebar. Meskipun distribusi datanya menyebar, tetapi data laba akuntansi tidak memiliki data ekstrim. Berdasarkan nilai kurtosis, nilai skewness dan standar deviasi dapat disimpulkan bahwa data untuk laba akuntansi dapat dikatakan berdistribusi normal dan tidak memiliki data ekstrim. Nilai laba tunai dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 4, nilai skewness yang kecil sebesar 2,197378851 dan nilai standar deviasi yang tidak terlalu besar yaitu sebesar 551,274,338,796. Sehingga dapat disimpulkan data laba tunai memiliki distribusi normal dan tidak memiliki titik ekstrim. Begitupun dengan nilai dividen kas dapat dikatakan normal dan homogen dengan melihat dari nilai kurtosis yang > 3, yaitu sebesar 8,084053858, nilai skewness yang kecil sebesar 2,828892771. 4.5 Perhitungan Koefisien Korelasi Spearman Korelasi Spearman Rank digunakan mencari keeratan hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Sugiyono, 1999: 282). Perhitungan koefisien korelasi spearman dapat menggunakan software SPSS. Menurut Young dalam Wahid Sulaiman (2003:135), ukuran korelasi adalah sebagai berikut : • 0,70 – 1,00 (baik plus atau minus) menunjukan adanya derajat asosiasi yang tinggi. • 0,40 - < 0,70 (baik plus atau minus) menunjukan hubungan yang substansial. • 0,20 - < 0,40 (baik plus atau minus) menunjukan adanya korelasi yang rendah. • < 0,20 (baik plus atau minus) berarti dapat diabaikan. 4.5.1 Perhitungan Korelasi Tahun 2002 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2002 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.5 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2002 Berdasarkan hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2002 menunjukan nilai rs sebesar 0,829. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2002. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,836. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2002. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2002 laba tunai lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba akuntansi. 4.5.2 Perhitungan Korelasi Tahun 2003 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2003 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2003 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2003 menunjukan nilai rs sebesar 0,885. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba akuntansi dengan dividen kas untuk tahun 2003. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,857. Nilai ini menunjukan ada korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2003. Menurut penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba akuntansi dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2003 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.5.3 Perhitungan Korelasi Tahun 2004 Berdasarkan data laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas untuk tahun 2004 maka di dapat nilai dari Korelasi Spearman adalah sebagai berikut: Tabel 4.7 Nilai Korelasi Spearman Tahun 2004 Hasil analisa koefisien Korelasi Spearman rank antara laba akuntansi dan dividen kas tahun 2004 menunjukan nilai rs sebesar 0,874. Nilai tersebut dapat menjelaskan ada korelasi yang kuat dan searah. Dengan kata lain apabila jumlah laba akuntansi besar maka jumlah dividen kas juga besar. Nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas sebesar 0,853. Nilai ini dapat menunjukan adanya korelasi yang kuat dan searah antara laba tunai dengan dividen kas untuk tahun 2004. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang memiliki hubungan korelasi paling kuat dalam menentukan nilai dividen kas adalah nilai korelasi antara laba tunai dan dividen kas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2004 laba akuntansi lebih mempengaruhi besarnya dividen kas di bandingkan dengan laba tunai. 4.6 Uji Signifikansi Hasil korelasi belum bisa digunakan untuk membuktikan bahwa hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas maupun antara laba tunai dengan dividen kas signifikan atau tidak. Oleh karena itu dilakukan uji signifikansi antara variabel-variabel tersebut. Tabel 4.8 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.8 Uji Signifikansi Tahun 2002 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.8 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2002. Tabel 4.9 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan antara laba tunai terhadap dividen kas. Tabel 4.9 Uji Signifikansi Tahun 2003 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.9 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan menggunakan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2003. Tabel 4.10 dibawah ini merupakan perhitungan uji signifikansi antara laba akuntansi terhadap dividen kas dan laba tunai terhadap dividen kas Tabel 4.10 Uji Signifikansi Tahun 2004 Variabel ρ-value Keterangan H0 Laba akuntansi terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Laba tunai terhadap dividen kas 0,000 α/2 Ditolak Berdasarkan tabel 4.10 di dapat tingkat signifikansi antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas sebesar (=0,000) < (α/2), sehingga dapat di simpulkan bahwa Ho ditolak dan menerima Ha yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan taraf nyata 0,01 antara laba akuntansi dengan dividen kas dan antara laba tunai dengan dividen kas pada tahun 2004. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara laba akuntansi, laba tunai dan dividen kas pada perusahaan yang go public, dalam hal ini perusahaan konsumsi di Bursa Efek Jakarta. Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas dipakai pengujian Korelasi Spearman. Berdasarkan analisa statistic non parametrik dalam hal ini menggunakan Korelasi Spearman yang mengukur asosiasi (hubungan) variabel dan uji signifikannya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Laba Akuntansi terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba akuntansi terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho1 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha1 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba akuntansi dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 2. Laba Tunai terhadap Dividen Kas Perhitungan stastistik menujukan bahwa variabel laba tunai terhadap dividen kas memiliki hubungan yang kuat terhadap dividen kas. Terbukti dari hasil uji signifikansi dengan nilai probabilitas (ρ-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. Dengan demikian Ho2 yang berbunyi “tidak terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas” tidak dapat diterima. Artinya kita menerima Ha2 yang berbunyi “terdapat hubungan antara laba tunai dengan dividen kas”. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2000); Hermi (2002); Murtanto dan Febby (2004) yang berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. Dengan demikian pula halnya dengan penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara laba akuntansi dan dividen kas. 5.2 Keterbatasan Penelitian Meskipun hipotesa yang diajukan penelitian ini telah teruji secara signifikan, namun sebagai dasar pengambilan keputusan bagi para akademisi maupun para praktisi, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih mengandung beberapa keterbatasan. Untuk itu bagi para akademisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi para praktisi yang akan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan investasi dan ekonomik lainnya diharapkan memperhatikan beberapa keterbatasan penelitian ini. 1. Penelitian ini hanya membahas hubungan antara laba akuntansi dan laba tunai terhadap dividen kas. Padahal faktor yang berhubungan dengan dividen kas cukup banyak, seperti: arus kas operasi, penjualan, posisi likuiditas perusahaan, dll. 2. Penelitian ini hanya pada perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEJ untuk tahun 2002 sampai 2004 yang dipilih berdasarkan purposive non random sampling. 3. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu selama tiga tahun, masih terlalu singkat. 5.3 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka saran-saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1. Perusahaan sebaiknya dalam pembagian dividen kas berdasarkan pada laba akuntansi, karena menurut penelitian yang telah dilakukan nilai koefisien korelasi laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar dari koefisien korelasi laba tunai terhadap dividen kas. Walaupun pada tahun 2002 nilai koefisien laba tunai terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba akuntansi terhadap dividen kas tetapi untuk tahun 2003 dan 2004 nilai koefisien laba akuntansi terhadap dividen kas lebih besar daripada koefisien anatara laba tunai terhadap dividen kas 2. Sebaiknya penelitian dilakukan terhadap lebih dari satu jenis perusahaan sehingga hasilnya dapat dibandingkan antara perusahaan yang satu dengan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Arief Suaidi, Akuntansi Keuangan Menengah, Edisi ke-1, Sekolah Tinggi Ilmu YKPN, Yogyakarta, April 1994. Ataina Hudayati, Comprehensive Income: Upaya Meningkatkan Relevensi Pelaporan Laba, JAAI, Vol.3, No.1, Juni 1999, Hal 52. Belkoui, Ahmed Riahi, Accounting Theory, Edisi keempat, terjemahan, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Dahler, Yolanda dan Rahmat Febrianto, Kemampuan Prediktif Earning Dan Arus Kas Dalam Memprediksi Arus Kas Masa Depan, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 3. Dermawan, Elizabeth Sugiarto, Laba Akuntansi dan Laba Tunai dengan dividen Kas, Jurnal Akuntansi Universitas Tarumanegara. Dyckman, Dukes dan Davis, Akuntansi Intermediate, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta, 1996. Financial Accounting Standard Board (FASB), Statement of Financial Accounting Concept, IL: FASB, 1991. Harahap, Sofyan Syafri, Teori Akuntansi, Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta, 2001. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Teori Akunting, Edisi ke-5, Interaksara, 2000. Hendriksen, Eldon S dan F. Van Breda, Accounting Theory, Fifth Ed. Homewood Illinois: Richard D. Irwin, Inc, 1992. Hermi, Hubungan Laba Bersih Dan Arus Kas Operasi Terhadap Dividen Kas Pada Perusahaan Perdagangan Besar Barang Produksi Di BEJ Pada Periode 1999-2002, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.4, No.3, Desember 2004, Hal 247-257. Husnan, Suad, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, UUP-AMP, YKPN, Yogyakarta, 1994. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Standar Akauntansi Keuangan, Jakarta, 2004. Indriantoro, Supomo, Metodeologi Penelitian Bisnis, Edisi pertama, BPFE – Yogyakarta, 1999. Januar, Sri Astuti dan Agung Wirawan, Praktik Perataan Laba dan Kinerja Saham Perusahaan Publik Di Indonesia, JAAI, Vol.6, No.2, Desember 2004, Hal 45. Meythi, Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan Persisitensi Laba Sebagai Variabel Intervening, Simposium Nasional Akuntansi IX, 2006, hal. 4. Mudrajat Kuncoro, Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, Juni 2001. Murtanto dan Feby Feiruza Yuridya, Analisis Hubungan Antara Laba Akuntansi dan Laba Tunai Dengan Dividen Kas, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi, Vol.4, No.1, April, 2004, hal. 85-105. Munandar, M, Pokok-Pokok Intermediate Accounting, Edisi ke-5, Liberty, Yogyakarta, 1983. Muqodim, Teori Akuntansi, Edisi ke-1, Ekonisia, Yogyakarta, Mei 2005. Nahibaho, Pengaruh Laba dan Arus Kas Terhadap Pembagian Dividen Pada Perusahaan yang GO Publik di Indonesia, Tesis Tidak Dipublikasikan, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000. Puspitasari, Dian Agustin dan Banu Witono, Pengaruh Pengumuman Dividen Tunai Terhadap Reaksi Pasar, JAK, Vol.3, No.2, Septembar 2004, Hal 108. Rahmat, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ, Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999. Singgih Santoso, Menggunakan SPSS Untuk Statistik Non-Parametrik, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2005. Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Pertama, UII Press, Januari 2005. Supranto, J, Metode Riset Aplikasi Dalam Pemasaran, Edisi Revisi ke-7, Sineka Cipta, Jakarta, September 2002. Suwardjono, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ke-3, BPFE, Yogyakarta, Maret 2005. Syamsul Hadi, Metodeologi Penelitian Kuantitatif untuk Akuntansi & Keuangan, Ekonisia, Yogyakarta, 2006. Wahid Sulaiman, Statistik Non Parametrik Contoh Kasus Dan Pemecahannya Dengan SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2003 Yusuf, Muhammad dan Soraya, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba Pada Perusahaan Asing dan Non Asing Di Indonesia, JAI, Vol.8, No.1, Juni 2004, Hal 100-103. LAMPIRAN 1 Analisa Deskriptif Laba Akuntansi Laba Tunai Dividen Kas Mean 444,864,612,342 308,267,922,790 497,999,201,198 Standard Error 96060964963 83107733561 150,935,270,660 Median 96977000000 78669856015 91619755500 Mode #N/A #N/A 577,227,000,000 Standard Deviation 637,196,355,566 551,274,338,796 1,001,191,320,822 Sample Variance 406,019,195,546,151,000,000,000 303,903,396,614,709,000,000,000 1,002,384,060,889,950,000,000,000 Kurtosis 0.906597641 4 8.084053858 Skewness 1.546086205 2.197378851 2.828892771 Range 2,079,501,000,000 2,135,492,000,000 4,729,253,000,000 Minimum 7392000000 1513000000 152000000 Maximum 2,086,893,000,000 2,137,005,000,000 4,729,405,000,000 Sum 19,574,042,943,026 13,563,788,602,740 21,911,964,852,712 Count 44 44 44


skripsi


skripsi


skripsi


part1 ESQ TVone Rahasia Menuju Sukses anggukan Universal

bismillah

Rabu, 13 April 2011

etika bisnis

Etika Bisnis Islam
Oleh:supardi Ak 7
Pendahuluan
“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! nggak
momo lagi”. Demikian sebuah pernyataan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh
tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda
Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut
biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama
”Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi
menampilkan produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara
sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disuguhkan oleh iklan obat
sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu.
Tayangan sinetron di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi rating
sebagian besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan
menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil
masyarakat kita. Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang
atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara
menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah
bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi
kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak orang yang menekuninya bahkan bangga
dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang
didominasi oleh kegiatan bisnis ini (Sony Keraf:2000).
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut
mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain faktor organisatoris
manajerial, ilmiah teknologis, dan politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan
sosial, bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial,
bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua
faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis
melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen (K. Bertens:
2000)
Etika bisnis
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau
justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan
khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi
etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan
fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini
secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk
mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia
bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan
manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan
bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang
dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat
tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan
keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari
atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau
moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat
mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke
arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan
secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah
laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus
hartman:1998)
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi
kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku
tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara
moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang
produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya
memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah
tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan
(expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.
Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan
pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan
sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara
konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan
dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika
bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?
Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang
kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata
kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek
bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.
Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,
integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan
mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan
(stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam
sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam
melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,
merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah
Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik &
kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta,
hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia.
Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan
moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan
hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai
landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi,
menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi
penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat
kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997)
Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari
kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai
didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk
melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam
tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam
bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi
dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan
sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para
pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada
setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan
berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang
berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan
atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)
Etika Bisnis Islami
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980
an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan
agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian
besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang
menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al
Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang
mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan
dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat
strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat
pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di
dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai
tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi
diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya,
dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak
mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis
yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran
(QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena
sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam
menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya
dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat
dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak
ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”
(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka
kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi
orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal
apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga
perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat” (Hadits).
Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus
komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang
diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu
melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak
halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau
semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe
tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,
suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba
yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS:
Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis
yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk
dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –
35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan
berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat
tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta
dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian
kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair
Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka
dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang
yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh
penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai
cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk
memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar.
Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan
harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka
kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat
menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan
percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran
ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda
”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang
dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang
dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan
oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang
artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan
di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun
produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya
dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk
mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan
pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam
sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak
dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus
dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan
rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan
derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara
menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
Etika Pemasaran
Dalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam
Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan
horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah
menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam etika marketing:
1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product
guarantee.
2. Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan
(petunjuk).
3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci
tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.
Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab
marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka
dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang
kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
�� Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.
�� Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman
dalam penyajian.
Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu
diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta
ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang
kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.
Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini
dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan
penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi
dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah
kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”.
(QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan,
data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan
fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh dibanding
penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali
memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang
akan dibelinya.
Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki.
Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan
thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat
kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus
memenuhi tiga unsur :
�� Materi yang halal
�� Proses pengolahan yang bersih (Higienis)
�� Penyajian yang Islami
Etika Marketing dapat dijabarkan dalam diagram berikut :
Sumber : Islamic Business Strategy for Entrepreneurship, Tim Multitama Communication, 2007
Perusahaan Menjual
Al-Qur’an Al-Hadits
Menjamin
Kriteria
Penggunaan
Konsumen Sehat, Cerdas, Muttaqin
Menjelaskan
Kegunaan
Produksi
Dalam proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya
menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya
mempromosikan barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik
sales promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau
mendapati seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang
janggal pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :
”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang
tersebut jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;
”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah
mendatangkan rezeki.” (Hadits).
Dengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik
minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan
produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang
serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.
Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang
harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak
barang dan lain-lain.
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah
profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor
syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil
syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan
kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).
Daftar Pustaka
Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia.
Fritzche David J, 1997, Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw
Hill Companies, Inc.
Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press.
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Tim Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship,
Zikrul Media Intelektual.
K. Bertens, 2000. Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.
Muhammad Dawabah Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha
Muslim, Zikrul Media Intelektual.
Stewart David, 1966, Business Ethic, McGraw Hill Companies, Inc.

Kamis, 07 April 2011

QQ
Sabtu, 10 Oktober 2009
Tugas Kelompok "artikel etika bisnis"
“CONTOH KASUS ETIKA BISNIS”


NAMA : 1. Gusti Agung Ayu Mirah Utami (10206403)
2. Kiki Kurniati (10206528)

KELAS : 4EA01

DOSEN : Titi Ayem Lestari

UNIVERSITAS GUNADARMA
2009/2010


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Beberapa bulan belakangan ini negara kita sering mendapatkan musibah karena perubahan alam. Gempa bumi yang baru-baru ini terjadi di Tasikmalaya, Bali, bahkan terjadi gempa dahsyat 7.6 Skala Richter di Padang. Hal itu mungkin suatu teguran dari Tuhan YME kepada kita untuk selalu senantiasa menjaga dan melestarikan negara kita. Semua bencana alam datang silih berganti. Belum lama bencana gempa di Sumatera Barat dengan sekejap meluluhlantahkan sebagian daerah itu rata dengan tanah. Banyak korban jiwa yang kehilangan harta, tidak hanya itu mereka juga kehilangan anggota keluarga mereka. Akibat dari bencana itu harga kebutuhan pokok yang diperlukan langsung naik hampir 50%.
Globalisasi telah memudarkan batas-batas antar dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik, serta semakin mempertinggi mobilitas sumberdaya manusia, sumberdaya modal, sumber daya kelembagaan dan sebagainya. Praktik bisnis pasca gempa yang dijalankan oleh pelaku bisnis cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji. Sebagian pelaku bisnis tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum.
Kenaikan harga yang dilakukan oleh para pelaku bisnis secara sepihak sangat merugikan para korban bencana, mereka sudah sulit malah ditambah susah lagi dengan kenaikan harga yang membuat mereka semakin terpuruk. Praktik curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga masyarakat dan negara.


BAB II
PEMBAHASAN

Etika merupakan filsafat / pemikiran kritis dan rasional mengenal nilai dan norma moral yg menentukan dan terwujud dalam sikap dan pada perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Alasan etika bisnis diperlukan karena para pelaku bisnis dituntut profesional, persaingan semakin tinggi, kepuasan konsumen faktor utama, perusahaan dapat dipercaya dalam jangka panjang, dan mencegah jangan sampai dikenakan sanksi-sanksi pemerintah pada akhirnya mengambil keputusan.

Contoh kasus:
Gempa “Enggak” Gempa, Cari Untung Jalan Terus

Kamis, 8 Oktober 2009 | 04:01 WIB
PADANG, KOMPAS.com - Derita korban gempa 7,6 SR di Sumatera Barat (Sumbar) ternyata belum mampu menyentuh hati sejumlah oknum warga yang selamat untuk bersimpati meringankan dampak musibah ini. Sebaliknya, mereka malahan justru menangguk untung berlipat dengan menjual kebutuhan pokok jauh di atas harga wajar.
Rabu malam (30/9), beberapa jam setelah bumi berguncang, ribuan warga yang terjebak antrean panjang kendaraan untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan terjadinya tsunami di Padang telah disuguhkan lonjakan harga gila-gilaan
Di tengah antrean ribuan mobil dan sepeda motor di ruas-ruas jalan yang gelap karena listrik padam, beberapa pemuda menawarkan air mineral gelas dengan harga Rp 2.000 sedangkan biasanya hanya Rp 500 per gelas. Warga yang haus dalam antrean, terpaksa membeli dengan harga yang telah naik tiga kali lipat itu. Ada juga yang menjual rokok Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu per bungkus sedangkan harga normalnya hanya Rp10.000 per bungkus. "Sehari pascagempa, saat warga butuh bahan bakar untuk transportasi, banyak pedagang eceran menjual bensin dengan harga tak wajar, sedangkan membeli ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) harus antre berjam-jam," kata Budi warga di pesisir Pantai Tabing, Padang. Di saat kebutuhan akan bahan bakar minyak, ada oknum warga yang sempat membeli bensin di SPBU dengan harga wajar, tapi kemudian justru menjual lagi harga hingga Rp 40 ribu per liter. Karena memang sangat butuh untuk transportasi dan menghidupkan mesin genset karena listrik PLN padam total, banyak warga yang terpaksa membeli bensin eceran dengan harga gila-gilaan. "Saya terpaksa harus beli bensin itu untuk bahan bakar sepeda motor yang akan dipakai untuk melihat saudara dan keluarga saya yang belum diketahui nasibnya pasca gempa," tambahnya. Melihat kondisi demikian, pemerintah bersikap cepat dengan mengusahakan pendistribusian BBM ke SPBU-SPBU pasca gempa. Instruksi langsung dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro membuat upaya percepatan pendistribusian BBM dapat berjalan cepat. Pada hari ke tiga pascagempa, pasokan BBM ke SPBU-SPBU di Padang dapat mulai lancar dilakukan sehingga antrian panjang pembeli dapat diatasi dan pedagang eceran yang sebelumnya menjual harga melangit terpaksa gigit jari dan menurunkan kembali harga.

Harga di tingkat eceran langsung anjlok menjadi Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per liter dan masih diburu pembeli yang belum mengetahui pasokan BBM ke SPBU telah normal kembali. Namun sebelumnya, ratusan orang dengan sangat terpaksa membeli bensin mencapai Rp 40 ribu perliter dengan pasrah, sebaliknya oknum pedagang tersenyum puas dapat untung berlipat-lipat. Lonjakan harga kebutuhan pokok pascagempa tidak hanya terjadi pada BBM tapi juga beberapa pelayanan jasa dan barang yang sangat dibutuhkan masyarakat atau relawan yang datang ke Sumbar untuk membantu mencari korban yang hilang. Harga yang naik menggila itu seperti tarif taksi yang mencapai Rp 500 ribu sekali jalan, atau kebutuhan bahan masakan seperti cabe yang naik menjadi Rp 100 ribu per kilogram. "Kita tahan dulu makan dengan lauk-pauk pakai cabe. Harga cabe tak terjangkau lagi, karena ada yang menjual Rp 100 ribu di pasar pagi," kata Rama seorang ibu rumah tangga. Mie instan sebagai bahan makanan praktis dan sangat dibutuhkan saat masa darurat juga melonjak tinggi harganya dari biasa Rp 25 ribuan per kardus menjadi Rp 75 ribu per kardus. Kehadiran Menteri Perdagangan Marie Pangestu dengan agenda mengantar bantuan, tidak berdampak besar terhadap upaya menstabilkan harga, sehingga beban masyarakat tetap semakin berat setelah sebelumnya masih trauma karena gempa.

SUMBER http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/08/04012656/gempa.enggak.gempa.cari.untung.jalan.terus


Amboi..., Harga BBM Meroket!


Kamis, 1 Oktober 2009 | 05:18 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - - Harga bahan bakar minyak (BBM) di tingkat pengecer di Kota Padang melonjak hingga Rp10.000/liter seiring dengan menipisnya persediaan.
Berdasarkan pantauan di Padang, Kamis (1/10), stok bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) maupun di tingkat pengecer di kota tersebut mulai menipis, sehingga harga melonjak hingga mencapai Rp10.000 per liter.
Kebutuhan BBM di Kota Padang meningkat akibat aksi borong masyarakat yang khawatir tidak mendapatkan BBM setelah gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter pada Rabu sore (30/9) melumpuhkan aktivitas kota tersebut.
Masyarakat tampak tidak hanya menyerbu SPBU tetapi juga kios-kios pengecer BBM di Kota Padang. Diperkirakan aktivitas masyarakat kota tersebut akan lumpuh pada Kamis siang, mengingat stok BBM di beberapa SPBU sudah mulai habis.
Masyarakat Kota Padang mulai kesulitan untuk mencari BBM jenis premium, sehingga lebih memilih tidak berpergian dengan menggunakan kendaraan.
Sebelumnya Wali Kota Padang Fauzi Bahar menginstruksikan agar pemilik SPBU tetap membuka tempat pengisian bahan bakarnya, mengingat kebutuhan BBM masyarakat cukup tinggi pascagempa.
SUMBER: http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/01/05180765/amboi....harga.bbm.meroket


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dengan adanya kenaikan harga BBM di pengecer, air mineral, mie instan, hingga mencapai lebih dari harga normal tentu saja itu merupakan suatu tindakan yang tidak manusiawi kepada konsumen yang membutuhkan. Pertistiwa ini secara tidak langsung masuk dalam pelanggaran etika bisnis yang terjadi pasca gempa yang sangat merugikan masyarakat. Masyarakat Sumatra Barat terkena musibah, tetapi ada sebagian oknum yang memanfaatkan untuk memporoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal yang dilakukan pelaku bisnis tersebut telah melanggar hak keadilan bagi konsumen. Para pelaku bisnis telah melakukan berbagai macam cara hanya untuk mendapatkan keuntungan semata tanpa memikirkan bagaimana dampaknya bagi konsumen atas kerugian yang telah mereka lakukan.

3.2 Saran
Untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sangsi yang jelas. Apabila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi yang tegas untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA

kompas.com/read/xml/2009/10/01/05180765/amboi....harga.bbm.meroket

kompas.com/read/xml/2009/10/08/04012656/gempa.enggak.gempa.cari.untung.jalan.terus

artikel etika bisnis

* Home
* About Us
* Disclaimer
* Kontak
* Link-Exchange
* Valas
* SiteMap
* Kirim Artikel

Zona Ekonomi Islam
Zonaekis.com
Info Lowongan Kerja

* Home
* Akuntansi Syariah
* Ekonomi Islam
* Fiqih
* Manajemen
* News Ekonomi Islam
* Perbankan Syariah

Usaha Berhasil
Home >> Fiqih >> Analisis Fiqh mengenai Produk yang digunakan MLM
Analisis Fiqh mengenai Produk yang digunakan MLM
Artikel ini dipublish pada 9 October 2010 at 00:09 oleh Choir

produk MLM 300x249 Analisis Fiqh mengenai Produk yang digunakan MLM
Kelanjutan Dari Kajian Fiqh Muammalah tentang MLM seri 3

Zona Ekonomi Islam–Seorang muslim harus menghindari produk haram, karena ini dilarang oleh Allah SWT dan rasulnya. Segala macam produk makanan dan minuman termasuk yang diproduksi oleh perusahaan MLM, harus halal dan tidak ada keragu-raguan mengenai produk tersebut. Dalam hadistnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :
Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rosul, Allah berfirman, “Wahai para Rosul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih” (QS Al Mukminun: 51). Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu” (QS Al Baqoroh: 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku, wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.” (HR. Muslim)
Al Bugha dan Mistu (2009:77) menyatakan bahwa hadist ini merupakan dasar dari berbagai hukum Islam, yang berkaitan dengan memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram. Dengan hadist ini maka akan didapatkan manfaat yang luas di masyarakat. Bila masyarakat mengkonsumsi yang halal maka akan tercipta kasih sayang, doanya mudah terkabul, kebagusan beribadah, tidak ada dendam, iri, saling tipu bahkan mencuri. Hadits ini merupakan salah satu ashlud din (pokok agama), di mana kebanyakan hukum syariat berporos pada hadits tersebut. Thayyib adalah suci, tidak ada kekurangan dan cela. Demikian juga Allah, Dia itu thayyib. Dia suci, tidak ada kekurangan dan cela pada diri-Nya. Dia sempurna dalam seluruh sisi. Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang thoyyib. Thayyib dalam aqidah, thayyib dalam perkataan dan thayyib dalam perbuatan. Tidak menerima artinya tidak ridho, atau tidak memberi pahala. Dan ketidakridhoan Allah terhadap sebuah amal biasanya melazimkan tidak memberi pahala pada amalan tersebut. Mengkonsumsi sesuatu yang thayyib merupakan karakteristik para rasul dan kaum mukminin. Makanan yang thayyib sangat berpengaruh terhadap kebagusan ibadah, terkabulnya doa dan diterimanya amal. Oleh sebab itu umat Islam selalu waspada agar tidak mengkonsumsi makanan yang haram, karena ini sangat merugikan bagi perusahaan MLM dan non MLM.
Umat muslim juga sebaiknya menghindari diri dari menjalankan perusahaan yang memusuhi Islam baik secara langsung atau pun tidak langsung. Perusahaan tersebut dapat dilihat pada web site http://warlockcomet.page.tl/Daftar-Boikot-Produk-US-dan-Israel.htm. Perhatikan apakah perusahaan tersebut anak perusahaan atau ada kerja sama dengan dengan perusahaan yang menjadi donatur musuh Islam dan keuntungannya bisinis ini malah digunakan untuk membunuh saudara-saudara muslim di belahan bumi lainnya, misalnya di Palestina.
3. Analisis mengenai sisi Marketing Dan Etika Penawaran
Menurut Syarwat (2009) hal yang paling rawan dalam pemasaran gaya MLM ini adalah dinding yang teramat tipis antara kejujuran dan dengan dusta. Biasanya, orang-orang yang diprospek itu diberikan dengan beragam tujuan untuk menjadi kaya dan berhasil dalam waktu singkat, atau bisa punya rumah real estate, mobil mewah, apartemen mahal, kapal pesiar besar dan ribuan mimpi lainnya. Dengan rumus hitung-hitungan yang dibuat seperti masuk akal, akhirnya banyak yang terbuai dan meninggalkan profesi sejatinya atau yang kita kenal dengan istilah `pensiun dini`. MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang dibandingkan dengan bisnis lain maupun pekerjaan lain.
Menarik apa yang dikatakan ahli ekonomi syariah Utomo (2009) bahwa perlu dipelajari lebih lanjut, bahwa bagi hampir semua orang yang menanamkan uang, MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari 1% distributor MLM mendapatkan laba dan mereka yang mendapatkan pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil lagi. Cara pemasaran dan penjualan yang tidak lazim menjadi penyebab utama kegagalan ini. Namun, kalau bisnis ini lebih berkelayakan, perhitungan matematis pasti akan membatasi terjadinya peluang sukses tersebut. Tipe struktur bisnis MLM sesungguhnya adalah berupa piramid hanya dapat menopang sejumlah sangat kecil pemenang. Jika seseorang memerlukan downline sejumlah 1000 orang agar dia memperoleh pendapatan seumur hidup, maka 1.000 orang downline tadi akan memerlukan 1.000.000 orang untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama. Jadi, berapa orang yang secara realistis bisa diajak bergabung ?
Syarwat (2009) menyatakan bila objeknya itu orang kurang mampu yang hidupnya sedang kurang mencukupi, maka semakin menjadilah mimpi tersebut berlebihan, sama dengan halnya dengan mimpi menjadi tokoh-tokoh dalam dunia sinetron TV yang tidak pernah menjadi kenyataan. Simbol-simbol kekayaan seperti memakai jas dan dasi, pertemuan di gedung mewah atau ke mana-mana naik mobil seringkali menjadi jurus pemasaran. Sebagai upaya pencitraan diri bahwa seorang distributor itu sudah makmur diduga terasa dipaksakan. Bahkan istilah yang digunakan pun bukan sales, tetapi manager atau general manager atau istilah-istilah lain yang punya citra bahwa dirinya adalah orang penting di dalam perusahaan besar.
Menurut analisis penulis sesungguhnya tidak ada yang salah dalam membeli mobil baru, apalagi itu digunakan untuk menunjang bisnisnya, baik pada perusahaan MLM atau non MLM. Namun yang menjadi masalah adalah bila nilainya dan cicilannya berlebihan, dan ia hanya berhitung pada masa jayanya, namun kurang berhitung tepat pada keadaan yang tidak menguntungkan. Ingatlah sesungguhnya Allah tidak suka orang yang berlebihan lagi membanggakan diri (At Takaatsur 1):

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
Ada kecenderungan bahwa masyarakat awam yang kurang luas wawasannya, dapat terlena. Sering pula penggunaan dalil yang tidak pada tempatnya untuk melegalkan MLM. Seperti sering kita dengar banyak orang yang membuat keterangan yang kurang tepat. Misalnya bahwa Rasulullah SAW itu profesinya adalah pedagang. Sesungguhnya yang benar adalah beliau memang pernah berdagang dan ketika masih kecil memang pernah diajak berdagang. Keadaan ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi oleh Allah SWT pada usia 40 tahun. Namun setelah menjadi nabi, beliau tidak lagi menjadi pedagang. Pemasukan (ma`isyah) beliau adalah dari harta rampasan perang / ghanimah, bukan dari hasil jualan atau menawarkan barang dagangan, juga bukan dengan sistem MLM. Lagi pula kalaulah sebelum jadi nabi beliau pernah berdagang, jelas-jelas sistemnya bukan sistem seperti perusahaan MLM, karena memang tidak ada perusahaan tersebut di masa rasulullah.

Masih ada pembahasan berikutnya yang akan kami tayangkan di artikel berikutnya, nantikan.
Artikel Terkait:

* Syariah Membuat MLM Bebas Eksploitasi
* MLM Menurut Fiqh Muammalah
* Analisis tambahan Tentang MLM: Mengenai Samsarah dan Dua akad dalam satu akad
* Hukum Dasar dari sistem MLM
* MLM Syariah Dapat Sertifikasi MUI

Pencarian yang terkait :
cara menghindari makanan haram, fiqhul hadits, hadits tentang produksi, fiqih mengenai bisnis, MAKALAH TENTANG MAKANAN DAN MINUMAN MENURUT FIQIH, makalah fiqih, analisis produk makanan, produk makanan yang haram, produk yg bagus untuk menunjang MLM, mlm analisis
lg share en Analisis Fiqh mengenai Produk yang digunakan MLM
← Next post Previous post →
Subscribe / Share
Article by Choir
Authors bio is coming up shortly. Choir tagged this post with: Analisis Fiqh, analisis produk MLM, Fiqh Muammalah, Hukum Dasar MLM, hukum MLM, Menurut Fiqh, MLM, MLM haram, MLM Menurut Fiqh, Muammalah, Produk MLM, sistem MLM Read Choir articles by Choir
It's very calm over here, why not leave a comment?
Leave a Reply
Click here to cancel reply.

Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website

CAPTCHA Image
CAPTCHA Audio
Refresh Image
CAPTCHA Code *

Recent Posts

* BWI: Potensi Wakaf Sangat Besar
* Ingin Kembangkan Perbankan Syariah, Filipina Undang Investor Timur Tengah
* BWI Optimis Atas Pencapaian Wakaf Perbankan Syariah
* Biayai Sektor Mikro, BNI Syariah Bersinergi Dengan PINBUK
* Inggris Tawarkan Kerjasama Syariah
* London Pusat Penghubung Transaksi Syariah Dunia
* Bank Syariah Bukopin Relokasi KCP di Sumbar
* IDB Intensifkan Pembiayaan Mikro
* Pengusaha Minta Sertifikasi Standar Wisata Halal Dipermudah
* Amanah Finance Genjot Pembiayaan

Terbanyak Dilihat

* sistem ekonomi campuran
* sistem ekonomi sosialis
* sistem ekonomi kapitalis
* EKONOMI ISLAM
* pengertian produksi

Terakhir Dilihat

* contoh kerangka makalah
* keuntungan produksi
* artikel etika dan bisnis
* artikel permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia
* pengaruh zakat terhadap penawaran

Follow @Zona Ekonomi Islam
TopOfBlogs
Copyright © Ekonomi Islam | Entries (RSS) and Comments (RSS) Theme by Anxiety Disorder
2010-2011 Created by Muhammad Ibawa [Back to top ↑ ]