BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam Islam investasi merupakan
kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan, karena dengan berinvestasi harta yang
dimiliki menjadi produktif dan juga mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Al-Quran dengan tegas melarang
aktivitas penimbunan (iktinaz) terhadap
harta yang dimiliki (9:33).
Untuk mengimplementasikan seruan
investasi tersebut, maka harus
diciptakan suatu sarana untuk berinvestasi. Banyak pilihan orang untuk
menanamkan modalnya dalam bentuk investasi. Salah satu bentuk investasi adalah
menanamkan hartanya di pasar modal. Pasar modal pada dasarnya merupakan pasar
untuk berbagai instrumen keuangan atau surat-surat berharga jangka panjang yang
bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri. Pasar
modal merupakan salah satu pilar penting
dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang
menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dan
media untuk memperkuat posisi keuangannya.
Dengan kehadiran pasar modal syariah,
memberikan kesempatan bagi kalangan muslim maupun non muslim yang ingin
menginvestasikan dananya sesuai dengan prinsip syariah yang memberikan
ketenangan dan keyakinan atas transaksi
yang halal. Dibukanya Jakarta Islamic
Indeks di Indonesia (JII) pada tahun 2000 sebagai pasar modal syariah
memberikan kesempatan para investor untuk menanamkan dananya pada perusahaan
yang sesuai prinsip syariah. Beragam
produk ditawarkan dalam indeks syariah dalam JII maupun ISSI seperti saham,
obligasi, sukuk , reksadana syariah, dsb.
Melalui makalah ini, penulis berusaha
untuk menjelaskan tentang gambaran pasar modal syariah yang ada di Indonesia,
berupa produk, manfaat, karateristik dan perkembangannya. Secara khusus
penulis membahas lebih dalam tentang saham syariah di Indonesia dan saham syariah di negara lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pasar modal syariah
Definisi pasar modal sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) adalah kegiatan
yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik
yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek. Berdasarkan definisi tersebut, terminologi pasar modal
syariah dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang
diatur dalam UUPM yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena
itu, pasar modal syariah bukanlah suatu sistem yang terpisah dari sistem pasar
modal secara keseluruhan. Secara umum kegiatan Pasar Modal Syariah tidak
memiliki perbedaan dengan pasar modal konvensional, namun terdapat beberapa
karakteristik khusus Pasar Modal Syariah yaitu bahwa produk dan mekanisme
transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pasar modal syariah merupakan kegiatan
yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik
yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah[1]. Saham merupakan surat
berharga bukti penyertaan modal kepada perusahaan dan dengan bukti penyertaan
tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha
perusahaan tersebut.
Menurut Soemitra, saham syariah
merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu
perusahaan. Penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak
melanggar prinsip-prinsip syariah. Akad yang berlangsung dalam saham syariah
dapat dilakukan dengan akad mudharabah dan musyarakah. Menurut Kurniawan
(2008), Saham Syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan
yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam.
Saham syariah adalah saham-saham yang
memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam atau yang lebih dikenal
dengan syariah compliant.
B. Landasan
Hukum
Dalam ajaran Islam, kegiatan investasi
dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang termasuk ke dalam kegiatan
muamalah, yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia dengan
manusia lainnya. Sementara itu dalam
kaidah fiqhiyah disebutkan bahwa hukum asal dari kegiatan muamalah adalah mubah
(boleh), kecuali yang jelas ada larangannya dalam al Qur’an dan Al Hadits. Ini berarti bahwa ketika suatu kegiatan
muamalah baru muncul dan belum dikenal, maka kegiatan tersebut dianggap dapat
diterima kecuali terdapat indikasi dari al Qur’an dan hadits yang melarangnya
secara implisit maupun eksplisit. Konsep inilah yang menjadi prinsip pasar
modal syariah di Indonesia.
Salah satu aktivitas bermuamalah
tersebut adalah melakukan investasi. Investasi sangat dianjurkan dalam rangka
mengembangkan karunia Allat SWT. Islam
tidak memperbolehkan harta kekayaan ditumpuk dan ditimbun. Karena hal-hal demikian adalah menyianyiakan
ciptaan Allah SWT dari fungsi sebenarnya harta dan secra ekonomi akan
membahayakan karena akan terjadi pemusatan kekayaan pada golongan tertentu
saja. Landasan lainnya yang mendorong
setiap musliim melakukan investasi yaitu perintah zakat yang akan dikenakan
terhadap semua bentuk aset yang kurang/tidak produktif (iddle asset). Kondisi demikian akan menyebabkan terkikisnya
kekayaan tersebut.
Dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor
IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah disebutkan bahwa Efek Syariah adalah
Efek sebagaimana dimaksud dalam UUPM dan peraturan pelaksanaannya yang akad,
cara, dan kegiatan usaha yang menjadi landasan pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan prinsip – prinsip syariah di Pasar Modal.
Berbeda dengan efek lainnya, selain
landasan hukum, baik berupa peraturan maupun Undang-Undang, perlu terdapat
landasan fatwa yang dapat dijadikan sebagai rujukan ditetapkannya efek syariah.
Landasan fatwa diperlukan sebagai dasar untuk menetapkan prinsip-prinsip
syariah yang dapat diterapkan di pasar modal.
Terdapat 14 fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang
berhubungan dengan pasar modal syariah Indonesia sejak tahun 2001, yang
meliputi antara lain[2]:
1. Fatwa No. 20/DSN-MUI/IX/2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah
2. Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah
3. Fatwa No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah Mudharabah
4. Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
5. Fatwa No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang
Obligasi Syariah Ijarah
6. Fatwa No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang
Obligasi Syariah Mudharabah Konversi
7. Fatwa No. 65/DSN-MUI/III/2008 tentang
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah
8. Fatwa No. 66/DSN-MUI/III/2008 tentang
Waran Syariah
9. Fatwa No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
10. Fatwa No. 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang
Metode Penerbitan SBSN
11. Fatwa No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang
Sale and Lease Back
12. Fatwa No. 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang
SBSN Ijarah Sale and Lease Back
13. Fatwa No. 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang
SBSN Ijarah Asset To Be Leased
14. Fatwa No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang
Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di
Pasar Reguler Bursa Efek.
Terdapat 3 (tiga) Peraturan Bapepam
& LK yang mengatur tentang efek syariah sejak tahun 2006, yaitu:
1. Peraturan Bapepam & LK No IX.A.13
tentang Penerbitan Efek Syariah
2. Peraturan Bapepam & LK No IX.A.14
tentang Akad-akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal
3. Peraturan Bapepam & LK No II.K.1
tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah
Terdapat 1 Undang-Undang yang mengatur
tentang SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yaitu: UU No. 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
C. Pola
Manajemen Pengelolaan Pasar Modal Syariah
Dalam pengelolaan pasar modal terdapat
para pemain utama serta lembaga penunjang yang terlibat langsung dalam proses
transaksi antara pemain utama sebagai berikut:
1)
Emiten.
Perusahaan yang akan melakukan
penjualan surat-surat berharga atau melakukan emisi di bursa (disebut emiten).
Dalam melakukan emisi, para emiten memiliki berbagai tujuan dan hal ini
biasanya sudah tertuang dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), antara lain :
a. Perluasan usaha, modal yang diperoleh
dari para investor akan digunakan untuk meluaskan bidang usaha, perluasan pasar
atau kapasitas produksi.
b. Memperbaiki struktur modal,
menyeimbangkan antara modal sendiri dengan modal asing.
c. Mengadakan pengalihan pemegang saham.
Pengalihan dari pemegang saham lama kepada pemegang saham baru.
2)
Investor.
Pemodal yang akan membeli atau
menanamkan modalnya di perusahaan yang melakukan emisi (disebut investor).
Sebelum membeli surat berharga yang ditawarkan, investor biasanya melakukan
penelitian dan analisis tertentu. Penelitian ini mencakup bonafiditas
perusahaan, prospek usaha emiten dan analisis lainnya.
Tujuan utama para investor dalam pasar
modal antara lain :
a. Memperoleh deviden. Ditujukan kepada
keuntungan yang akan diperolehnya berupa bunga yang dibayar oleh emiten dalam
bentuk deviden.
b. Kepemilikan perusahaan. Semakin banyak
saham yang dimiliki maka semakin besar pengusahaan (menguasai) perusahaan.
c. Berdagang. Saham dijual kembali pada
saat harga tinggi, pengharapannya adalah pada saham yang benar-benar dapat
menaikkan keuntungannya dari jual beli sahamnya.
Lembaga Penunjang
Fungsi lembaga penunjang ini antara
lain turut serta mendukung beroperasinya pasar modal, sehingga mempermudah baik
emiten maupun investor dalam melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pasar
modal.
D. Produk
Syariah di Pasar Modal
Perbedaan secara
umum antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat
pada instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks
saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria
saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Secara umum
konsep pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda
meskipun dalam konsep pasar modal syariah disebutkan bahwa saham yang
diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang
memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham
dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.
Langkah awal
perkembangan pasar modal syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya
Reksa Dana Syariah pada 25 Juni 1997 diikuti dengan diterbitkannya obligasi
syariah pada akhir 2002, kemudian diikuti pula dengan hadirnya Jakarta Islamic
Index (JII) pada Juli 2000. Instrumen-instrumen investasi syariah tersebut
kemudian mengalami perkembangan sejalan dengan maraknya pertumbuhan bank-bank
nasional yang membuka unit syariah[3].
Berikut ini
beberapa Produk efek syariah yang sudah diterbitkan di Pasar Modal Indonesia
(BEI)[4] :
1.
Saham Syariah
Secara konsep, saham merupakan surat
berharga bukti penyertaan modal kepada perusahaan dan dengan bukti penyertaan
tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha
perusahaan tersebut. Konsep penyertaan modal dengan hak bagian hasil usaha ini
merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Prinsip
syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau syirkah.
Berdasarkan analogi tersebut, maka secara konsep saham merupakan efek yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun demikian, tidak semua saham
yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik dapat disebut sebagai saham
syariah. Suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah jika saham
tersebut diterbitkan oleh:
Emiten dan Perusahaan Publik yang
secara jelas menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan
Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah. Emiten dan
Perusahaan Publik yang tidak menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan
usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip
syariah, namun memenuhi kriteria sebagai berikut: kegiatan usaha tidak
bertentangan dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam peraturan IX.A.13,
yaitu tidak melakukan kegiatan usaha:
·
perjudian
dan permainan yang tergolong judi;
·
perdagangan
yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
·
perdagangan
dengan penawaran/permintaan palsu;
·
bank
berbasis bunga;
·
perusahaan
pembiayaan berbasis bunga;
·
jual
beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian(gharar) dan/atau judi
(maisir), antara lain asuransi konvensional;
·
memproduksi,
mendistribusikan, memperdagangkan dan/atau menyediakan barang atau jasa haram
zatnya (haram li-dzatihi), barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram
li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau, barang atau jasa yang
merusak moral dan bersifat mudarat;
·
melakukan
transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);
·
rasio
total hutang berbasis bunga dibandingkan total ekuitas tidak lebih dari 82%,
dan
·
rasio
total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan
total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih dari 10%.
2.
Sukuk
Sukuk merupakan
istilah baru yang dikenalkan sebagai pengganti dari istilah obligasi syariah
(islamic bonds). Sukuk secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata
”sakk” dalam bahasa Arab yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan.
Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk
sebagai berikut :
“Efek Syariah berupa
sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang
tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share)
atas:
·
aset
berwujud tertentu (ayyan maujudat);
·
nilai
manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun
yang akan ada;
·
jasa
(al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada
·
aset
proyek tertentu (maujudat masyru’ muayyan); dan atau
·
kegiatan
investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”
Karakteristik
Sukuk
Sebagai salah satu
Efek Syariah sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk
bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu
aset/proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan
dasar penerbitan (underlying asset ). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan
pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk
kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan,
bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam
penerbitan sukuk.
Jenis
Sukuk
Jenis sukuk berdasarkan Standar Syariah
AAOIFI No.17 tentang Investment Sukuk, terdiri dari :
·
Sertifikat
kepemilikan dalam aset yang disewakan.
·
Sertifikat
kepemilikan atas manfaat, yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe : Sertifikat
kepemilikan atas manfaat aset yang telah ada, Sertifikat kepemilikan atas
manfaat aset di masa depan, sertifikat kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan
Sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.
·
Sertifikat
salam.
·
Sertifikat
istishna.
·
Sertifikat
murabahah.
·
Sertifikat
musyarakah.
·
Sertifikat
muzara’a.
·
Sertifikat
musaqa.
·
Sertifikat
mugharasa
3.
Reksa Dana Syariah
Dalam Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 Reksa Dana syariah didefinisikan sebagai reksa dana
sebagaimana dimaksud dalam UUPM dan peraturan pelaksanaannya yang
pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal.
Reksa Dana Syariah
sebagaimana reksa dana pada umumnya merupakan salah satu alternatif investasi
bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak
memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi
mereka. Reksa Dana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana dari
masyarakat yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi,
namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas.
Reksa Dana Syariah
dikenal pertama kali di Indonesia pada tahun 1997 ditandai dengan penerbitan
Reksa Dana Syariah Danareksa Saham pada bulan Juli 1997. Sebagai salah satu
instrumen investasi, Reksa Dana Syariah memiliki kriteria yang berbeda dengan
reksa dana konvensional pada umumnya. Perbedaan ini terletak pada pemilihan
instrumen investasi dan mekanisme investasi yang tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Perbedaan lainnya adalah keseluruhan proses
manajemen portofolio, screeninng (penyaringan), dan cleansing (pembersihan).
Seperti halnya
wahana investasi lainnya, disamping mendatangkan berbagai peluang keuntungan,
Reksa Dana pun mengandung berbagai peluang risiko, antara lain:
a. Risiko Berkurangnya Nilai Unit
Penyertaan.
Risiko
ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari Efek (saham, sukuk, dan surat berharga
syariah lainnya) yang masuk dalam portfolio Reksa Dana tersebut. Ini berkaitan
dengan kemampuan manajer investasi reksadana dalam mengelola dananya.
b. Risiko Likuiditas
Risiko
ini menyangkut kesulitan yang dihadapi oleh Manajer Investasi jika sebagian
besar pemegang unit melakukan penjualan kembali (redemption) atas sebagian
besar unit penyertaan yang dipegangnya kepada Manajer Investasi secara
bersamaan. dapat menyulitkan manajemen perusahaan dalam menyediakan dana tunai.
Risiko ini hanya terjadi pada perusahaan reksadana yang sifatnya terbuka
(open-end funds). Risiko ini dikenal juga sebagai redemption effect.
c. Risiko Wanprestasi
Risiko
ini merupakan risiko terburuk, dimana pada umumnya kekayaan reksa dana
diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Risiko ini dapat timbul ketika
perusahaan asuransi yang mengasuransikan kekayaan Reksa Dana tersebut tidak
segera membayar ganti rugi atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan
saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, wanprestasi
dimungkinkan akibat dari pihak-pihak yang terkait dengan Reksa Dana, pialang,
bank kustodian, agen pembayaran, atau bencana alam, yang dapat menyebabkan
penurunan NAB (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana.
d. Risiko politik dan ekonomi
Risiko
yang berasal dari perubahan kebijakan ekonomi dan politik yang berpengaruh pada
kinerja bursa dan perusahaan sekaligus, sehingga akhirnya membawa efek pada
portofolio yang dimiliki suatu reksadana.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Definisi
pasar modal sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(UUPM) adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan
Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. Berdasarkan definisi tersebut,
terminologi pasar modal syariah dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar
modal sebagaimana yang diatur dalam UUPM yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Terdapat 14 fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang
berhubungan dengan pasar modal syariah Indonesia sejak tahun 2001, yang
meliputi antara lain[5]:
1. Fatwa No. 20/DSN-MUI/IX/2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah
2. Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah
3. Fatwa No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah Mudharabah
4. Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
5. Fatwa No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang
Obligasi Syariah Ijarah
6. Fatwa No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang
Obligasi Syariah Mudharabah Konversi
7. Fatwa No. 65/DSN-MUI/III/2008 tentang
Hak Memesan Efek Terlebih
B. Saran
Semoga makalah ini menjadi bahan refensi
bagi kita semua tentang manejemen pasar modal syariah
DAFTAR PUSTAKA
Didownload pada pukul 18.00 tanggal
30-12-2012 di http//: supardisaminja.blogspot.com
[1] Sholihin, Ahmad Ifham.2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta:PT
Gramedia. Halaman 351
[2] BI dan Dewan Syariah Nasional, Kumpulan Fatwa DSN edisi revisi 2006
[3] Tim Studi Investasi Syariah
Depkeu RI, Studi tentang Investasi
Syariah dipasar modal Indonesia, 2004
[4] www.syariah.ojk.go.id, pengenalan Produk Syariah di Pasar Modal
[5] BI dan Dewan Syariah Nasional, Kumpulan Fatwa DSN edisi revisi 2006