Minggu, 16 Desember 2012

Pasar Ideologi


Ideologi sebagai peranakan ilmu sosial telah dinyatakan sebagai pemeran utama dalam stabilitas sosial politik sebuah negara. Lebih jauh lagi, ia dianggap sebagai penentu bagaimana seseorang atau sebuah komunitas dalam upayanya menghadapi persoalan dan kemudian menyikapinya. Istilah ideologi sudah tidak asing ditelinga masyarakat, khususnya mahasiswa. Terhitung sejak dipakainya istilah ideologi oleh Destutt de Tracy pada masa Napoleon Bonaparte akhir abad 18, wacana ini mulai pesat dikembangkan. Dalam perkembangannya ideologi justru banyak menimbulkan fakta-fakta non humanis. Terlebih ketika tiga ideologi raksasa dunia ( baca; sosialisme-komunisme, fasisme, dan kapitalisme) mulai menggaung besar di beberapa kawasan Eropa. Contoh paling tragis adalah fasisme Jerman dengan anti-semitisnya yang berhasil membantai ribuan warga Yahudi. Terlepas dari pemaknaan ideologi, serta keterpilihannya sebagai motor konstalasi sosial politik negri, keterlibatan aksi dan ideologi gerakan mahasiswa patut dipertimbangkan, terutama oleh mereka pemangku kebijakan negara. Tercatat, dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia mahasiswa terlihat sangat gesit dalam melakukan perubahan. Sebagai pengenyam pendidikan tertinggi, sudah sepatutnya kepekaan terhadap problematika masyarakat tertanam dalam diri seorang mahasiswa. Selain dari pada itu, kegiatan kampus yang banyak melatih untuk melakukan kajian, pengamatan, serta penelitian-penelitian fenomena sekitar cukup dijadikan alasan terhadap progresivitas mahasiswa yang semakin menggelora. Jika diamati, corak ideologi mahasiswa yang ramai bergaung di Indonesia adalah bernuansa Islam, hal ini wajar mengingat mayoritas warga Indonesia meyakini Islam sebagai agama mereka. Telah berjajar sederetan nama organisasi pergerakan mahasiswa Islam yang mengawali pusat kegiatannya di kampus maupun extra kampus, sebut saja PMII, HMI, KAMMI, IMM, HMI MPO dsb. Dan masing-masing dari pergerakan tersebut tak lepas dari ideologi yang melatar belakanginya, disertai dengan karakteristik yang berbeda. Ideologi tersebut tidak jauh beda dengan varian ideologi yang berkembang di masyarakat Indonesia atau yang biasa disebut ormas. Ideologi mahasiswa ini bisa dikatakan sebagai wadah lain yang dikhususkan untuk kaum muda. Tujuannya, agar kader mudanya dapat bebas bergerak, menuju langkah-langkah progresif, dinamis serta dapat menggagas hal-hal baru, dengan catatan tidak menyalahi aturan dari organisasi masyarakat yang dianutinya. Terlebih karena mahasiswa memiliki aura idealisme yang begitu kental, sehingga paradigma akan kebesarannya dianggap begitu nyata. Berbagai pengamatan yang dilakukan terhadap keberagaman ideologi mahasiswa rupanya telah menciptakan sebuah kesimpulan, bahwasanya pangkal dari perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam ranah teologi. Terlihat jelas dalam upaya sebagian dari mereka dengan menggodok kembali formulasi-formulasi aqidah ulama klasik dengan tujuan untuk merelevankan konsep-konsep keagamaan dengan kondisi kekinian. Beberapa diantaranya mengusung aliran neo modernisme yang mayoritas dikiblatkan kepada mendiang Nurcholis Madjid, ada juga yang bersikap lebih terbuka, toleran, bahkan radikal dengan berusaha mengubah tatanan teologi yang sudah mapan, katakanlah PMII yang mulai gencar mencari jawaban lain sebagai cadangan teologi Aswaja, dan terakhir adalah model-model puritan yang dengan serentak menggalakkan aksi-aksi anarkis. Biasanya teologi yang mereka pakai adalah konsep Islam kaffah, yang dipercayai mampu menjawab problematika masyarakat di era yang semakin plural. Selain berkutat dengan wacana pemikiran, ada beberapa diantaranya justru terjebak dalam aksi-aksi pergerakan serta amal. Sehingga krisis wacana mulai jelas terlihat. Hal ini disebabkan tradisi ilmiah yang berkembang serta para pakar dalam organisasi tersebut hanya mengulas sebatas persoalan-persoalan hukum Islam (fiqhiyyah), dan hal inipun diakui secara gamblang oleh Prof. Azyumardi Azra. Tak lupa, bidikan menonjol lainnya adalah gesekan-gesekan yang terjadi antara pergerakan mahasiswa dengan konstalasi politik domestik. Dapat dikatakan bahwa partai merupakan kendaraan utama guna menuju kursi pemerintahan yang sarat akan kepentingan. Dalam tubuh Islam sendiri terdapat dua corak utama dalam ber-ideologi, yaitu kubu tradisionalis dan modernis. Tumbuh kembangnya organisasi kemahasiswaan sejatinya tidak jauh dari bayang-bayang ideologi ini. Yang kemudian diambil alih oleh partai saat-saat menjelang pemilu. Misalnya, PMII yang banyak berafiliasi kepada PKB atau PPP, kemudian IMM dan HMI yang berafilisi kepada PAN, tak ketinggalan KAMMI yang mayoritas berafiliasi kepada PKS. Jika dibandingkan dengan wacana kemahasiswaan yang ada di Mesir, nampaknya geliat mahasiswa Indonesia Mesir tidak terlalu bergejolak. Karena beberapa alasan, mayoritas pergerakannya hanya berada di posisi mengekor kepada sang induk. Aktivitas mahasiswa banyak didominasi dengan kegiatan-kegiatan berbasis literatur. Bahkan jarang sekali yang mempropagandakan isu-isu partai, meskipun ada beberapa yang masih terlihat gagah mendengungkan isu ke-partai-an. Bisa jadi stereotip miring terhadap politik di kancah Masisir masih terelakan. Atau, mereka lebih sepakat bahwa kesempatan belajar di Mesir merupakan kesempatan emas, sehingga lebih elegan dan bermanfaat jika waktu yang diluangkan lebih dominan untuk melakukan pembacaan literatur keagamaan yang nantinya dapat menjadi kontribusi wacana untuk masyarakat Indonesia. Namun menariknya, meskipun perbedaan ideologi menjadi pembeda antara satu dan yang lainnya, perpecahan dan konflik antar pergerakan mahasiswa ini semakin jarang ditemukan. Justru yang sering ber-konflik adalah induk ideologi serta partai yang dikendarainya. Mungkin karena 'idealis' kaum muda yang sama-sama menginginkan perubahan ideal, sehingga mau tidak mau mereka pun harus tunduk terhadap sikap perdamaian. Tanpa berarti membeda-bedakan antara idealisme kaum muda dan tua.

Tidak ada komentar: