Sabtu, 03 Desember 2011

MEMPERBAHARUI CINTA




Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke
Jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

“Pergilah,” katanya memandang mataku. “Ini belum waktunya. Kontraksinya
bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin … sakit biasa.”

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Dan, ia
pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan
itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman sekantor, jika
sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah
kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi,
tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya karena
sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah waktunya? Tanya batinku
mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?

Kulihat kini mata itu basah.

Sedetik kemudian aku putuskan, “Kayaknya lebih baik aku tak jadi pergi.”
Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

Ia terkesima. “Nggak papa, ta, Mas?” tanyanya, sembari mengusap sembab
matanya. “Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa.”

“Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok.”
Ia memelukku dalam isak.

“Coba kita lihat sampai besok, “ bisikku. “Jika sakit itu mereda, aku bisa
ke Jakarta petangnya.”
Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa
mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk
menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. “Mas,
jangan lama-lama, ya?” begitu isinya. Dari isteriku. Secepat kilat
kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. Aku segera
balik ke rumah.

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan
tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya
nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan merah atau coklat
aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya telah tiba.
Maju dari perkiraan.

Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. Tak
ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti
luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua kumasukkan asal-asalan
dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara aku
mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri
menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak ketika
lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara aku
katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang:
penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah buka 10!
Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, selimut, sarung
tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan. Celemek dipakaikan.
Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak pagi, meringis menahan sakit
di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya memegang-megang perut buncitnya.
Asistennya menyiapkan ember.

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya. Peluh bercucuran.
Dan kami semua menunggu detik-detik itu.

Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggenggam lebih
erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia mengejan lagi. Suaranya
seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya pias
bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap titik-titik air
yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan lagi!
Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara seperti karet yang
teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus
Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan
erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkannya untuk terus
mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan
dan akhirnya kaki keluar cepat diikuti … byoorrr! Ketuban mengalir laksana
air bah. Putih. Bening seperti air beras.

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai pucat-pasi
Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis
di luar terdengar jelas menusuki atap genting.

“Laki-laki, Mas,” Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang
gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika
hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum
padanya. Laki-laki, bisikku padanya mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

“Aku capek sekali, “ katanya.
Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku. 3,8 kg. Lahir per
vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.
Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

***

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan.
Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati.
Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa, melainkan seorang
wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode ini, Rasul
menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. Bidan
lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi ketika memeriksa,
ia seperti berteriak histeris, “Bu, ini bukan kepala! Bayinya sungsang! Saya
tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan dokter!”

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan seekor
anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, seorang
laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus berbuat apa
melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah Anda akan merasakan
betapa bayang kematian terasa di depan mata dan Anda betapapun perkasanya
seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran akan kehilangan seseorang, detik
itu, menghantui diri Anda.

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. Tetapi,
rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang pertama, kedua, dan
ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih bisa menjumpai
senyumnya setelah episode ini?

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan,
melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami,
sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, sehabis itu, cinta ini
seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan
titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di
saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya
lagi?

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada
peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak
akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. Sungguh, apa yang saya
sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan pulang petang untuk
mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita
perkasa itu.

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang
terbaik akhlaknya kepada isterinya.
Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya
Anda, para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang
anak-anak Anda memanggil padanya ibu.

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus
episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya
sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya mendampinginya
lagi untuk bersalin.

Ha ha ha. Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan satu
hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada saat
genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan genggaman
tangan Anda.
Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

Wa Allahu a’lam.

Tidak ada komentar: