Sabtu, 03 Desember 2011

Arti Cinta Dalam Islam


SUPARDI SAMINJA
MAHASISWA UNVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS EKONOMI,JURUSAN AKUNTANSI

Di dalam tasawuf, yang dimaksudkan dengan cinta (mahabbah) ialah cinta mutlak kepada Allah. Menurut Ibnu Arabi, basis timbulnya cinta itu disebabkan oleh keindahan. Di samping itu, "Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti ajaran Islam," demikian ungkap Seyyed Hossein Nasr.
Sementara itu, tentang cinta kepada Allah, Al Ghazali merumuskan lima sebab yang menimbulkannya. Pertama, orang mengenal dirinya dan Allah dengan makrifah yang benar, ia pasti akan mencintai Allah. Kedua, orang yang mencintai kepada yang berbuat baik kepadanya, dan ia mengerti bahwa yang berbuat baik sebab Allah. Ketiga, kecintaan terhadap seluruh makhluk sebab Allah pun mencintai seluruh makhluk. Keempat, mencintai kepada setiap keindahan sebab keindahan itu sendiri, bukan sebab keuntungan lain, di balik itu ada keindahan Allah. Dan, kelima, cinta yang timbul sebab saling menyesuaikan. Jika dilihat secara batiniah maka manusia menjadi baik sebab mempunyai kesesuaian dengan sifat Allah.
Pada sebab keempat yang disebutkan Al Ghazali itu bertemu dengan pandangan Ibnu Arabi bahwa semua cinta itu disebabkan oleh keindahan. Pada konteks keindahan pula, semua pengalaman spiritualitas digerakkan dan diekspresikan. Hal ini senada dengan hadis, Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan (HR Muslim). Karenanya, para sufi yang bergerak menuju kepada Yang Mahaindah (Al Jamal) itu dalam perjalanan spiritualitas dari maqam ke maqam, maupun mengungkap pengalaman religiusitasnya melalui keadaan mental (hal), mereka masuk ke pengalaman keindahan Yang Mahaindah sekaligus tergerak mengungkapkan pengalamannya itu melalui ungkapan bahasa (sastra) yang mampu mewadahinya.
Alquran itu sendiri sebagai sumber utama dari seluruh moralitas dalam Islam (tak terkecuali tasawuf) ditulis dengan ungkapan bahasa yang maha indah, kaya simbol dan imajinasi. Hal inilah, menurut Anniemarie Schimmel, yang kemudian menggerakkan pencinta Alquran untuk melakukan berbagai tafsir puitik, bahkan menulis puisi. Gagasan keagamaan tertentu, yang membangun teologi Islam yang sentral sifatnya, serta citraan tertentu dari Aquran dan Hadis, dengan mudah bisa dialihkan menjadi simbol yang benar-benar puitik, sebagaimana dilakukan oleh para sufi penyair seperti Rabiah Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Kedua sufi penyair ini memang mengembangkan maqamat cinta sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Sang Kekasih.
Selanjutnya, puisi dan ungkapan-ungkapan puitis dijadikan media ekspresi dari perjalanan spiritualitas, bahkan menjadi bagian dari ritus peribadatannya. Dilengkapi musik dan tari, puisi dijadikan sarana doa dan puji-pujian di dalam samak, yakni sejenis konser musik keruhanian disertai dzikir, tari-tarian, pembacaan serta penciptaan puisi. Hal tersebut seperti dalam tarikat Maulawiyah yang dikembangkan Jalaluddin Rumi, sampai hari ini masih dilestarikan di Konya, Turki.
Kegiatan serupa itu telah ditradisikan oleh para sufi sejak abad ke-10, atau mungkin satu abad sebelumnya. Menurut Abdul Hadi WM (2001:65), upacara samak dan penciptaan puisi sufistik dapat dilihat pada riwayat hidup Abu Said Al Khair (976-1049), yang mulanya tertarik menulis puisi untuk mengungkapkan pengalaman kerohaniannya setelah mendengar penyanyi membacakan puisi cinta Ilahi di sebuah upacara samak.
Sebagai media ekspresi dari pengalaman religius, puisi memiliki beberapa keuntungan. Sebagaimana mistisisme, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusia yang terdalam. Seperti halnya puisi, pengalaman mistik itu sangat personal, unik sekaligus universal. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa pengalaman mistik itu selalu mengandung kualitas puitik. Demikian pula sebaliknya, pengalaman puitik atau estetik yang dalam juga memiliki kualitas mistik. Oleh sebab itu, melalui puisi yang berhasil, kepersonalan, keunikan, dan keuniversalan dapat terpelihara dengan baik.
Mengapa pengalaman mistik itu mengandung pengalaman puitik, dan karenanya menuntut pengungkapannya melalui puisi agar bisa dibahasakan? Pengalaman religius demikian -- pinjam pengertian Ludwig Wittgenstein -- dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung, sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak.
Meskipun begitu, ada yang disebut bahasa religius, yang punya logika tersendiri, seperti pernah diungkapkan Peter L Berger, bahasa religius bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari.
Di samping itu, pengalaman religius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalam taraf tidak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi. Pengalaman religius dibahasakan dengan jalan analogi itu, yakni melalui bahasa puisi. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah mistisisme, banyak sufi besar, bahkan juga filosof, menuliskan pengalaman mistiknya melalui puisi.
Tanpa melebih-lebihkan, perpaduan pengalaman batin, empiris dan sejarah, sangat mungkin diekspresikan dengan kompleks dan sempurna melalui puisi. Apalagi, jika seorang sufi ingin menyajikan pengalaman mistiknya tersebut secara mempesona dan tahan terhadap hempasan jaman. Para sufi dengan ajaran yang dapat melampaui jamannya itu menyadari potensi bahasa puisi itu, terutama mereka yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair seperti Rabiah Adawiyah, Abu Said, Dzun Nun, Sanai, Anshari, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibnu Faried, Fariduddin Attar, Rumi, Hafiz, Jami, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As Sumatrani, Nuruddin Ar Raniri, dan Abdurrauf Singkel.
Walaupun susastra khususnya puisi menjadi media ekspresi intelektualitas mereka, bahkan menjadi bagian penting ritus peribadatan, namun para sufi yang menulis puisi itu tanpa ada niatan menjadi penyair. Para sufi tersebut menulis puisi didasarkan kepada alasan keruhanian, menyampaikan hikmah, dan mencari keberkahan hidup. Sebagaimana kata Imam Al Ghazali, sebagai pencinta keindahan sejati para sufi yakin bahwa karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tidur di dalam hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan inderawi, maupun cinta yang bersifat ketuhanan dan keruhanian.
Sementara itu, sampai ke jaman modern seperti halnya di Indonesia, substansi pemikiran tasawuf tersebut juga terus diungkapkan sebagai keyakinan atau sekadar wacana, yang hal itu tidak secara mendalam dipraktekkan dalam kehidupan penyairnya. Boleh jadi, hal itu hanya sebatas keterpesonaan terhadap paham pemikiran tasawuf, atau ketertarikan terhadap estetika puisi yang ditulis oleh para sufi jaman lampau itu sehingga dijadikan rujukan bagi karya para penyair modern itu sendiri.
Dengan demikian, fenomena tersebut lebih sebagai trend sebagaimana di era 1970-1980-an dengan munculnya kecenderungan sufistis dalam perpuisan Indonesia (lihat tiga jilid antologi Buku Puisi Indonesia 1987 yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta). Sekalipun demikian, tetap ada yang menempatkan tasawuf tidak cuma sebatas sebagai estetika, melainkan juga sebagai etika dalam karya sastranya, (bahkan, mungkin dalam perilaku kesehariannya). Untuk itu, para penyair yang menempatkan tasawuf tidak sebatas estetika, melainkan sekaligus etika, maka puisinya dapat digolongkan sebagai puisi sufisme.
Sementara itu, penyair yang hanya menempatkan tasawuf sebatas estetika bahasa, maka puisinya dapat digolongkan sebagai puisi yang terpengaruh estetika bahasa puisi para sufi (puisi sufistis). Kecenderungan yang pertama seperti halnya puisi yang ditulis Sanusi Pane dan Amir Hamzah (angkatan Pujangga Baru 1930-1940-an), Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Jamil Suherman, dan Kuntowijoyo (periode 1960-an), Emha Ainun Nadjib, D Zawawi Imron, Hamid Jabbar (periode 1970-an), KHA Mustofa Bisri, Ahmadun Yosi Herfanda, Ajamuddin Tifani, Acep Zamzam Noor, Ody's, Mathori A Elwa (periode 1980-an).
Sedangkan kecenderungan yang kedua, antara lain tampak pada puisi-puisi yang ditulis oleh Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdy Salad, Abidah el Khalieqy, dan Otto Soekatno Cr -- untuk menyebut beberapa contoh saja.

Tidak ada komentar: