Senin, 19 Maret 2012

rumus akuntansi

Kata seorang teman kerja saya yang membuat saya menganggukkan kepala berulang kali. Kebetulan teman saya ini adalah seorang dosen, dan saya sangat mengagumi orang-orang yang berprofesi di bidang pendidikan. Kalau katanya sih, ada dua macam profesi yang bisa jadi awal perubahan dunia: pengajar dan penulis.
Itulah kenapa saat Jepang di bom atom oleh sekutu pada jaman perang dunia kedua, yang pertama kali ditanyakan oleh Kaisar Jepang adalah: “berapa banyak guru yang masih hidup?”. Saya sih ngga tahu apakah  jumlah penulis yang masih hidup juga ditanyain sama sang Kaisar, tapi ya sudahlah.. Pokoknya profesi pengajar itu keren.
Balik lagi ke pendapat teman saya bahwa “semua dalam hidup harus akuntabel”. Hal ini saya iyakan, seiya-iyanya. Emang.. banyak hal dalam hidup ini yang membutuhkan perhitungan, agar kita bisa lebih bijaksana menjalaninya.
Contohnya cinta. Kita selalu bilang cinta ya cinta. Tapi tunggu dulu… kalau  kita melihat cinta dari sudut pandang akuntansi, maka cinta bisa digolongkan menjadi sebuah revenue atau hasil. Kan cinta itu muncul “dari” pandangan mata, “dari” rasa nyaman dengan seseorang, “dari” kekaguman kita sama seseorang..
jadi cinta adalah hasil ‘dari”.
Hasil=pendapatan.
Pendapatan ada dua jenis : pendapatan kotor/bruto dan pendapatan bersih/netto.
Jadi cinta secsara akuntansi ada dua jenis juga. Cinta bruto dan cinta netto. yang mungkin rumusnya seperti ini.
Cinta netto = cinta bruto - beban
Cinta netto inilah yang mungkin sering disebut cinta sejati atau cinta yang sesungguhnya. Dan barangkali ada diantara para pembaca yang budiman ini  yang sempat mikir “apaan sih ni tulisan, apa juga gunanya dihitung-hitung seperti itu?”
Eits… banyak gunanya saudara. Ada yang bilang kalau “kamu boleh ragu dan bermasalah dengan pasanganmu, tapi kamu tidak boleh melepaskan seseorang yang benar-benar berarti untukmu”. Sebuah quotes yang indah bukan?
Itu dia. Gimana kamu bisa tahu seberapa berarti seseorang buatmu, kalau kamu ngga menghitungnya? kan pertanyaannya adalah “seberapa”?
Saat seseorang yang anda cintai, bisa istri anda, pacar anda, gebetan, atau seseorang yang anda taksir membuat hidup anda bermasalah. Dan anda merasa muak, pengen berbuat sesuatu. Coba test rumus ini.
Semua perasaan cinta anda sama dia dikurangi semua beban yang dia timbulkan dalam hidup anda.
Karena yang anda hitung adalah perasaan, rasakan perhitungan itu di hati anda. Lalu rasakan hasilnya, apakah masih tersisa cinta anda sama dia setelah dihantam beban-beban itu? atau malah minus? Cinta sudah lenyap, yang ada malah beban?
Kalau cinta yang tersisa, rasakan seberapa banyak. kalau beban yang tersisa, rasakan seberapa banyak juga. Dan akhirnya tentukan anda sedang rugi atau untung kalau tetap mempertahankannya di sisi anda. :)
Dan saya pikir, ngga cuma cinta, mungkin niat baik juga bisa dibedakan menjadi niat baik bruto dan niat baik netto.
Kalau ngomongin  niat, kita sedang ngomongin kualitas. Jadi menghitung sebuah niat baik, mari kita hitung kualitasnya.
Niat baik netto= 100% - beban
Nah, niat baik netto ini adalah yang sering kita kenal dengan sebutan ketulusan. Kalau berat diukur dengan kilogram, cairan dengan liter, maka mari kita  pakai persentase saja untuk ketulusan ini.
Kalau kata teman saya, “kalau ada orang yang bener-bener tulus dolf, berarti dia ga punya ego. kalau orang ga punya ego, gue ragu apakah dia manusia..”
“lalu apaan?”
“jangan-jangan malaikat..”
Nah, seperti itulah kenyataannya kan? Meskipun kita melakukan sesuatu yang baik dengan tulus, kadang-kadang kita susah banget memaksimalkan ketulusan itu sampai 100%. Yah, setulus-tulusnya paling cuma 99%. Masih ada ego di dalam diri yang pengen dihargai karena berbuat baik. Makanya sering ada yang bilang “gue capek jadi orang…”
Itu karena mungkin niat baik nettonya = 100% - keinginan dihargai yang ngga terlaksana 10%=90%
Jadi lain kali, karena modal niat baik nettonya sudah berkurang beban karena ngga dihargai, tinggal 90%. Kalau dia ngga dihargai lagi, maka akan terpotong 10% lagi. Sisa net 80%. Kalau masih ngga dihargai lagi, potong 10% lagi, tingga netto 70%.
Kalau… terus begitu, maka suatu saat mungkin yang tersisa hanya beberapa persen saja. Dan saat itu dia akan berkata “gue capek jadi orang baik.” Rasanya hati gue tekor… habis modal.
Dan lama-lama akan habislah orang baik di bumi kalau untuk menghargai ketulusan mereka aja, kita terlalu pelit melakukannya.
Untuk mencegah bencana itu, saya sarankan dua cara. Secara sudut pandang akuntansi juga tentunya.
Pertama :
Biasakan menghargai niat baik seseorang, untuk menjaga persentase ketulusan mereka. Kalau niat baik mereka 80%, hargai dengan penghargaan 30%. Jadi mereka akan punya netto niat baik 100% dan surplus 10%. jadi kalau lain kali niat baik 100% mereka ngga dihargai, malah berakibat buruk (misalnya malah dimaki) yang kadarnya sakitnya  40%, mereka masih bisa punya niat baik netto 70%.
Contohnya seperti itu..
Solusi kedua :
Tapi ini agak susah. Belajarlah menekan ego anda, sebesar mungkin. Dan kalau sudah bisa, ajarkan pada yang lain, inspirasi mereka. Misalnya ego anda 10%, tekan terus sampai jadi 1% atau 0,… %. Maka anda akan bisa meredam pengurangan ketulusan niat baik.
Para sufi contohnya, mereka meredam ego, dan berkata “kami berbuat baik untuk Tuhan, ngga ada hubungannya sama orang lain”. maka ketika perbuatan baik mereka dihina, ngga dihargai, persentase beban yang ditimbulkannya hanya sebesar 0,… %. Yah, ngga kerasa lah.. maka kita bisa tetap jadi orang yang tulus berbuat baik untuk waktu yang lama, kalau bisa sih sampai waktu kita di dunia habis.
Sebenarnya masih ada cara ketiga…
Kalau sebuah perusahaan bangkrut dan kehabisan modal, biasanya mereka melakukan pinjaman. Nah, kalau hati anda sudah capek dengan ketulusan, yang ngga dihargai, yang selalu malah dibalas dengan berbagai keburukan oleh sekitar anda. Rasanya sudah hampir habis ketulusan anda, sudah minim sekali.
Maka segeralah mengajukan permohonan pinjaman ketulusan ke Tuhan, Sang Pemberi Modal Kebaikan.
Seorang teman, mengajari saya doa seperti ini :
“Ya Tuhan, hati saya rasanya bangkrut dan tak berdaya lagi dengan semua keburukan ini..
saat saya tulus, saya dihina. Saya mencoba lagi dan saya ditindas, saya dimanfaatkan, saya disalahpahami.
Tidak ada orang yang cukup bijak disini untuk menghargai saya, dan membuat hati saya kuat kembali.
Dan saya terlalu bodoh untuk meredam ego saya sendiri. Maka terpaksa saya ajukan doa ini padaMU,
biarlah Engkau sendiri yang meminjami hati saya ketulusanMu, setiap hari.”

Tidak ada komentar: