Di alam ini, segala hal berubah dan tak ada yang tak
berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Pada masa kita sekarang, perubahan
berjalan sangat cepat, bahkan dahsyat dan dramatis. Kita semua, tak bisa tidak,
berjalan bersama atau seiring dengan perubahan itu. Tak berlebihan bila Alan
Deutschman pernah menulis buku—untuk mengingatkan kita semua—dengan judul agak
ekstrem, Change or Die (Berubah atau Mati).
Perubahan pada hakikatnya adalah ketetapan Allah
(sunatullah) yang berlangsung konstan (ajek), tidak pernah berubah, serta tidak
bisa dilawan sebagai bukti dari wujud dan kuasa-Nya (QS Ali Imran [3]:
190-191). Namun, perubahan yang dikehendaki, yaitu perubahan menuju kemajuan,
tidak datang dari langit (given) atau datang secara cuma-cuma (taken for
granted). Hal ini karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali
kaum itu sendiri mengubah diri mereka sendiri (QS Al-Ra`d [13]: 11).
Untuk mencapai kemajuan, setiap orang harus
merencanakan perubahan. Dan, perubahan itu harus datang dan dimulai dari diri
sendiri. Perubahan sejatinya tidak dapat dipaksakan dari luar, tetapi merupakan
revolusi kesadaran yang lahir dari dalam. Itu sebabnya, kepada orang yang
bertanya soal hijrah dan jihad, Nabi berpesan. “Ibda’ bi nafsik, faghzuha”
(mulailah dari dirimu sendiri, lalu berperanglah!). (HR al-Thayalisi dari
Abdullah Ibn `Umar).
Perubahan dari dalam dan dari diri sendiri, seperti
diharapkan Nabi SAW dalam riwayat di atas, merupakan pangkal segala perubahan
dan sekaligus merupakan kepemimpinan dalam arti yang sebenarnya. Hakikat
kepemimpinan adalah kepemimpinan atas diri sendiri. Dikatakan demikian, karena
seorang tak mungkin memimpin dan mengubah orang lain, bila ia tak sanggup
memimpin dan mengubah dirinya sendiri.
Perubahan dalam diri manusia dimulai dari perubahan
cara pandang atau perubahan paradigma pikir (mindset). Manusia tak mungkin
mengubah hidupnya, bilamana ia tak mampu mengubah paradigma pikirnya. Karena
itu, kita disuruh mengubah pikiran kita agar dapat mengubah hidup kita (change
our thinking change our life).
Selanjutnya, perubahan paradigma harus disertai dengan
perubahan dalam penguasaan ilmu dan keterampilan. Perubahan yang satu ini
memerlukan pembelajaran dan pembiasaan (learning habits) yang perlu terus
diasah.
Akhirnya, perubahan diri itu, menurut Imam al-Ghazali, membutuhkan tindakan nyata (al-Af`al). Ilmu hanya menjadi kekuatan jika ia benar-benar dikelola menjadi program dan tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pada tahap ini, tindakan menjadi faktor pamungkas dan menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah cita-cita (harapan) menjadi realita (kenyataan). Wallahu a`lam!
Akhirnya, perubahan diri itu, menurut Imam al-Ghazali, membutuhkan tindakan nyata (al-Af`al). Ilmu hanya menjadi kekuatan jika ia benar-benar dikelola menjadi program dan tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pada tahap ini, tindakan menjadi faktor pamungkas dan menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah cita-cita (harapan) menjadi realita (kenyataan). Wallahu a`lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar